Lagi-lagi Korupsi

Hampir tiap hari koran memuat berita tentang anggota DPRD atau kepala daerah yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Beritanya bervariasi, namun tidak keluar dari tema korupsi itu. Ada yang dinyatakan ditahan, ada yang dinyatakan diinterogasi. Ada pula yang diberitakan dihujani pertanyaan oleh pihak Kejari, ada juga yang diberitakan sedang menunggu izin dari Presiden untuk diperiksa.

Banyak pula koran yang memberitakan para pejabat itu dalam status sebagai tersangka, tertuduh, atau masih disebutkan sebagai saksi. Banyak pula di antara mereka disangkut-pautkan dengan kasus korupsi APBD, terkait dengan manipulasi Perda tentang anggaran rumah tangga Dewan. Kadangkala disebutkan kasus korupsi itu berkaitan dengan dana purnabakti, namun banyak pula yang berkaitan dengan dana asuransi ganda. Banyak pula yang dilaporkan sudah lunas mengembalikan dana purnabakti itu, dan ada pula yang masih mencicil. Besar dana yang dikembalikan itu pun sangat bervariasi.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa yang terlibat kasus-kasus itu adalah para warga terhormat masyarakat, bahkan tak sedikit yang selama itu menjadi tokoh, ulama, atau panutan. Rasa-rasanya seperti tidak percaya membaca berita-berita itu. Terbersit dugaan bahwa tentunya para wartawan yang salah mencatat, atau pihak media massa yang salah menuliskan nama-nama tokoh itu.

Keheranan kita belum terjawab, muncul kembali keheranan berikutnya, yaitu para tokoh yang disebut-sebut terkait dengan tindak culika itu hampir-hampir tidak pernah menunjukkan kesan malu atau tersipu-sipu. Atau mundur dari pergaulan masyarakat, atau menyepi dari berbagai pergaulan ramai. Hal tersebut membuat dugaan bahwa barangkali memang ada kekeliruan dalam pemberitaan. Atau barangkali karena secara hukum berlaku adagium 'praduga tak bersalah'. Artinya, seseorang masih tetap tidak bersalah sebelum ada keputusan final dari pengadilan, bahwa dirinya bersalah.

Yang lebih mengherankan lagi adalah mengapa mereka yang terlibat itu hanya yang berada di daerah. Artinya, mengapa tidak pernah diberitakan kasus-kasus itu melibatkan para wakil rakyat ataupun pejabat di tingkat pusat. Syukur, kalau kenyataan itu menunjukkan bahwa para wakil rakyat di tingkat pusat lebih bersih. Alangkah membanggakan. Ataukah karena mereka memiliki penangkal yang lebih ampuh?

Berbagai kasus besar yang pernah dituduhkan kepada sejumlah tokoh besar di kalangan pimpinan DPR ataupun ekskutif, seperti Akbar Tandjung, Arifin Panigoro, Ginandjar Kartasasmita, dan lainnya sudah dinyatakan tak terbukti. Akhir-akhir ini bahkan disiarkan oleh media massa berpuluh pejabat di daerah yang dinyatakan bebas oleh hakim dari tuduhan jaksa penuntut umum dari berbagai tindak korupsi. Kalau begitu, barangkali jaksa yang terlalu cepat membuat tuduhan.

Apatisme

Korupsi atau yang pada umumnya juga dikenal dengan istilah KKN secara hukum maupun rasa keadilan merupakan perilaku melanggar hukum maupun etika. Tidak seorang pun beranggapan bahwa perilaku itu boleh ditolerir, karena merupakan tindak kriminal, sehingga harus mendapat hukuman berat.

Kalau kita mendengar betapa sulitnya para pelaku tindak korupsi itu dapat dibuktikan secara hukum, berbagai dugaan bisa muncul. Barangkali memang mereka itu tidak melakukan tindak korupsi apa pun. Barangkali para jaksa itu yang kurang lihai menyusun dakwaan, sehingga mudah disanggah. Barangkali pula hati nurani para hakim itu betul-betul masih murni, sehingga tidak boleh gegabah untuk menghukum mereka yang tidak bersalah. Atau barangkali proses pengadilan itu hanya sekadar arisan atau pergelaran mengikuti skenario tertentu. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan kalau dalam masyarakat timbul gejala apatisme, sinisme, bahkan sarkasme dalam menanggapi berbagai proses penyidikan sampai ke proses pengadilan kasus-kasus korupsi.

Ungkapan yang dikemukakan oleh Nono Anwar Makarim ketika tampil bersama Jaksa Agung tentang kondisi itu amat kena. Dia katakan, ada suatu kasus seseorang menodongkan pistol presis di kepala seseorang. Lalu pistol itu meledak, dan korban terjungkal, berlumuran darah dengan peluru menembus kepalanya. Lima orang menyaksikan dengan jelas kejadian pembunuhan itu, dan bersaksi dengan sumpah di depan pengadilan. Pada akhir sidang, hakim ketua menjatuhkan vonis bebas pada terdakwa. Alasannya. Karena pistol itu tidak terdaftar, sehingga pistol itu tidak bernomor. Oleh karena pistol itu tidak terdaftar, maka pistol itu dianggap tidak pernah ada. Oleh karena itu pula, tidak mungkin ada pembunuhan itu. Keputusannya, tidak terbukti terdakwa melakukan pembunuhan.

Demikian juga kalau seseorang pejabat menyatakan bahwa dia telah mendapat hibah dari orang tuanya berupa uang dan bangunan yang dimilikinya, maka bebaslah seseorang koruptor dari tuduhan korupsi pada akhir masa jabatannya.

Permisif dan Rendah Diri

Pernah saya mengikuti seminar mengenai hasil kajian tentang berbagai cara dan kiat melakukan korupsi. Ada sekitar duapuluh buku laporan mengenai korupsi yang dilakukan oleh berbagai segmen masyarakat. Dan setiap saat kita justru terlibat dalam praktik korupsi itu. Contoh yang paling sering kita terlibat dalam praktik korupsi itu adalah ketika memarkir mobil. Ada semacam suka sama suka ketika kita hanya menyerahkan uang parkir sekadarnya, dengan konsekuensi tukang parkir tidak memberi kita karcis parkir. Itu namanya juga korupsi, namun kita sama sekali tidak menganggap sebagai korupsi.

Dalam satu sesi, saya menyampaikan makalah untuk menanggapi hasil kajian tentang korupsi. Saya katakan, bahwa saya menangis membaca seluruh hasil kajian itu. Bukan saja karena kajian itu dibiayai sumber asing, sehingga semua informasi itu bebas beredar di negeri lain, melainkan juga efek psikologisnya yang ditimbulkannya. Kesadaran betapa makin banyaknya jumlah koruptor, sehingga menduduki peringkat tinggi bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di negeri asing, membuat kita sadar bahwa korupsi merupakan suatu yang lazim. Perasaan semacam itu membuat kita tidak peduli terhadap setiap kasus korupsi yang terjadi. Pada sisi lain anggapan semacam itu mendorong masing-masing orang berkeinginan untuk melakukan hal yang sama, karena tidak menganggapnya sebagai perilaku tercela.

Sikap permisif itu bila dimiliki oleh pihak penegak hukum akan melemahkan kemauan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Lebih-lebih bila dengan sikap seperti itu mereka memiliki peluang untuk mendapatkan imbalan atau keuntungan materiil yang ditawarkan oleh yang berkepentingan. Dan begitu banyaknya jumlah orang yang memiliki tradisi memberikan sogokan, sampai-sampai praktik itu bukan lagi dianggap sebagai sogokan.

Kemungkinan selanjutnya yang bakal terjadi dengan makin besarnya jumlah praktik korupsi, berkembanglah perasaan rendah diri, kalau orang masih memiliki kadar moralitas tinggi. Timbul kesadaran betapa hancurnya moral masyarakat. Perasaan rendah diri yang berkepanjangan pada suatu bangsa melahirkan pribadi-pribadi yang pasif, yang pada gilirannya membangkitkan apatisme. Lalu lingkaran setan pun menjadi makin tak terkendalikan lagi. Lalu berita-berita tentang praktik korupsi tidak memiliki lagi efek memperingatkan kita. Ibarat berita-berita tentang banjir dan tanah longsor akibat hujan. Begitu pula mewabahnya penyakit DB dan tumbuhnya jamur di musim hujan. Hanya sebuah berita, seperti anjing menggigit orang. Berita-berita itu tidak lagi membangkitkan keprihatinan. Masyarakat menjadi amat masa bodoh.

Memang benar para intelektual selalu melakukan diskusi maupun melontarkan pernyataan keprihatinan, namun tidak lanjut yang diharapkan dari pihak-pihak petugas hukum tidak menunjukkan kemajuan yang berarti. Demikian pula sikap mahasiswa-mahasiswa yang gencar melakukan demonstrasi sebagai sikap kepedulian terhadap kondisi yang memprihatinkan itu, berakhir pada kekecewaan pula. Entah apa yang bakal terjadi bila kondisi yang demikian itu berlangsung dalam masa yang lama. (Prof Dr Abu Su'ud, Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 25 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan