KY dan Evaluasi Kinerja Hakim
Pendekatan elitis akan diterapkan Komisi Yudisial dalam reformasi hukum dan peradilan (justice sector reform), yaitu seleksi ulang hakim agung untuk membenahi kelemahan manajemen dan kepemimpinan di Mahkamah Agung (Kompas, 5/1/2006).
Presiden mendukung Komisi Yudisial (KY) dan akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Perpu itu harus memiliki bobot konseptual saat diterapkan atas hakim agung yang belum purnatugas (sekitar dua pertiga), sekaligus mengandung tolok ukur lebih baik. Atas dua hal ini, KY seharusnya mengevaluasi kinerja hakim.
Reformasi terbatas
Reformasi hukum dan peradilan merupakan salah satu agenda dalam transisi kekuasaan otoriter. Kini reformasi politik menghasilkan konfigurasi baru kepartaian, dari Pemilu 1999 dan 2004, serta pasangan presiden-wapres melalui pemilihan langsung tahun 2004.
Di lain pihak, MA berhasil memberdayakan diri melalui sentralisasi administrasi peradilan di tangan MA. Beberapa hakim agung non- karier berhasil dipilih DPR tahun 2001. Reformasi lain adalah kapling kekuasaan baru melalui aneka peradilan khusus dan berbagai agenda dalam Cetak Biru Pembaruan MA (2003).
Harus diakui, keterbatasan jangkauan reformasi MA menunjukkan kelemahan gerakan reformasi dalam mendesain dan mendesakkan pembaruan hukum dan peradilan. Transisi kekuasaan otoriter pasca-Orde Baru seharusnya mencakup hukum dan instrumen negara yang memiliki kekuatan pemaksa, seperti yang berlangsung atas TNI. Dalam perspektif keadilan, khususnya pada ranah projustisia, reformasi hukum harus menjangkau instrumen pemaksa dalam lalu lintas orang (imigrasi), barang (bea cukai), pungutan uang (pajak), dan lain-lain.
Gagasan KY dapat menjadi terapi kejut reformasi peradilan, meski tak seradikal gagasan