Kurikulum 2013, Untuk Siapa?
Nelson Mandela pernah berujar: “Pendidikan adalah senjata terkuat yang bisa Anda gunakan untuk mengubah dunia.” Tapi tidak demikian di Indonesia. Kebijakan pendidikan yang amburadul, selalu mengorbankan dua pelaku penting pendidikan: guru dan murid. Namun sepertinya ini bukan masalah bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dengan asyiknya tengah merancang Kurikulum 2013.
Di penghujung tahun 2012, pemerintah melalui Kemdikbud membuat keputusan mengagetkan, yaitu mengubah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dengan Kurikulum 2013 yang dianggap dapat memecahkan masalah pendidikan di Indonesia.
Pemerintah meyakini Kurikulum 2013 dapat menyiapkan anak didik yang memiliki kompetensi mumpuni, menjawab tantangan zaman, mendorong kreatifitas, meningkatkan kemampuan matematika, mengakrabkan anak didik dengan data, hingga mengajarkan budi pekerti.
Pemerintah juga kerap mengatakan, rendahnya hasil riset internasional tentang kualitas siwa di Indonesia, membuat Kurikulum 2013 “penting dan genting”. Kemdikbud juga pernah menyatakan bahwa kurikulum 2013 adalah yang terbaik di dunia, dirancang oleh para profesor, jadi tidak mungkin salah. Bagi yang menolak kurikulum 2013, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, bukanlah pemain inti dalam pendidikan nasional (Kompascom, 30/03). Nuh menegaskan, pemain inti Kurikulum 2013, adalah penyelenggara dan pemilik sekolah. “Yang ramai nolak itu yang enggak punya sekolahan dan bukan pengelola sekolahan," demikian seperti dilansir media.
Padahal, Koalisi Tolak Kurikulum 2013 bukan tak pernah mengajak Kemdikbud bicarakan kurikulum 2013. Tapi Kemdikbud tetap ngotot. Koalisi juga selalu siap diajak debat terbuka, bahkan aktif mengajak. Tapi Kemdikbud tidak mau. Bahkan, hari Minggu lalu (7/4), di Universitas Negeri Jakarta, tempat kuliah para calon guru, berlangsung diskusi Kurikulum 2013. Namun Wamendikbud Musliar Kasim tidak hadir.
Akhirnya, Kurikulum 2013 hanya menjadi satu lagi rancangan tambal sulam di tengah lautan persoalan pendidikan.
Karena riset internasional
Kemdikbud selalu mengatakan bahwa alasan perubahan kurikulum karena rendahnya hasil riset internasional yang mengukur kualitas murid, yaitu PISA, TIMSS, dan PIRLS.
Programme for International Student Assessment atau PISA, adalah evaluasi sistem pendidikan negara-negara di dunia. PISA menilai kemampuan kognitif dan keahlian membaca, matematika dan sains. Pada tahun 2009, PISA memperlihatkan rata-rata siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 dari 6 level. Dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat 57, matematika di peringkat 61, dan sains di peringkat 60, dari 65 negara.
Kemudian, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), studi internasional untuk mengukur prestasi matematika dan sains siswa SMP. TIMSS membagi penilaian dalam empat kategori, yaitu rendah, menengah, tinggi, dan lanjutan. Hasil penelitian TIMSS memperlihatkan 95% siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan soal hingga tingkat menengah atau intermediate.
Riset berikutnya, Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) adalah studi internasional tentang literasi membaca (melek huruf) untuk siswa Sekolah Dasar. PIRLS diselenggarakan lima tahun sekali. Pada tahun 2011, PIRLS diikuti oleh 45 negara. Hasilnya memperlihatkan bahwa peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke 41 dari 45 negara dalam literasi membaca.
Pemerintah mengartikan hasil ketiga penelitian di atas bahwa kurikulum yang ada sekarang, berbeda dengan tuntutan zaman global. Sehingga obat mujarabnya adalah Kurikulum 2013. Setidaknya ada tiga sisi yang bisa kita gali soal sengkarut Kurikulum 2013, yaitu: menabrak dasar hukum, anggarannya yang meroket, serta isi kurikulum yang membuat geleng-geleng kepala.
Menabrak dasar hukum
Dalam merancang program apapun, termasuk kurikulum, pemerintah harus berpatokan pada Undang-undang. Pasal 36 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), jelas menyebut bahwa pengembangan kurikulum mengacu pada standar nasional pendidikan.
Tapi, Kemdikbud tidak mengacu pada standar pendidikan nasional dalam membuat Kurikulum 2013. Yang ada, Kemdikbud membuat Kurikulum 2013 terlebih dahulu duluan, baru kemudian meralat standar nasional pendidikan. Jadi, setelah kurikulum 2013 diganti, baru kemudian Kemdikbud ramai-ramai berusaha merevisi PP tentang Standar Nasional Pendidikan. Dari dasar hukummya saja, Kurikulum 2013 sudah bermasalah. Bukannya memulai dari Undang-undang, Kemdikbud malah menabraknya.
Kurikulum 2013 juga dibuat tanpa perencanaan matang. Dalam waktu singkat enam bulan, cling! Kurikulum langsung jadi. Masyarakat juga berhak mencatat, Kemdikbud tidak pernah mengevaluasi kurikulum sebelumnya (KTSP 2006). Tanpa evaluasi, Kemdikbud gagah berani tetap merancang Kurikulum 2013. Padahal, KTSP 2006 saja masih belum bisa diterapkan secara menyeluruh. Sekarang, sudah mau ganti lagi.
UU Sisdiknas pasal 36 ayat (2) juga menyebutkan bahwa kurikulum di semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Tapi saat ini, seluruh buku disusun secara terpusat. Buku panduan untuk guru juga dibuat di pusat. Bagaimana mau mengembangkan potensi daerah?
Kemudian, di PP No. 17 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang disebut kurikulum adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan. Jadi harusnya, kalau Kemdikbud mau mengubah kurikulum, UU dan PP-nya yang harus dibereskan dahulu, baru mengubah kurikulum. Bukan asal mengubah, tapi menabrak macam-macam peraturan.
Anggaran yang meroket
Proses penyusunan Kurikulum 2013 rawan korupsi. Indikasinya terlihat dari proses penganggaran yang tidak terencana dengan baik. Kemdikbud awalnya mengajukan anggaran 684 miliar—yang kemudian disetujui DPR sebesar 631 miliar. Kemudian naik jadi 1,4 triliun. Lalu melesat lagi jadi 2,49 triliun.
Ketika dana meroket jadi 2,49 triliun, Kemdikbud akan mencomot Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 748 miliar dan dari APBN 2013 yang relevan seperti pelatihan guru, sebesar 1,1 triliun, untuk menambal kekurangna.
Mencomot DAK juga bukan perkara gampang. Sebenarnya, DAK dipergunakan untuk membiayai pengadaan sarana, prasarana sekolah, dan buku. Mencomot DAK untuk mendanai Kurikulum 2013, jelas dapat mengganggu perencanaan sekolah yang berbasis kebutuhan riil. Sekolah boleh jadi harus membatalkan kebutuhan riilnya, demi DAK dipakai untuk menalangi biaya Kurikulum 2013.
Saat ini, yang masih jadi masalah di DPR adalah proses perubahan mata anggaran di APBN 2013 yang mau digunakan untuk Kurikulum 2013. Karena APBN 2013 sudah disahkan, otomatis perubahan mata anggaran tidak bisa dengan mudah dilakukan. Pemerintah tidak bisa seenaknya tergesa mengubah-ubah penggunaan anggaran untuk Kurikulum 2013.
DPR masih belum menyetujui anggaran Kurikulum 2013 selain yang 631 miliar. Saat ini, DPR punya peranan penting untuk menyetujui atau menolak anggaran ini. Semoga DPR berpikir jernih, dan lagipula DPR harus bertindak sesuai UU No. 17 Tahun 2003 yang mengamanatkan perubahan mata anggaran dalam APBN harus disetujui dahulu oleh DPR.
Namun, kalau kita tengok, waktu pencairan anggaran dan masa reses DPR yang dimulai sekitar 12 April 2013, merupakan waktu yang sempit. Sedangkan kurikulum 2013 harus diterapkan pada tahun ajaran baru Bulan Juli 2013. Belum lagi masalah buku dan pelatihan guru. Waktu yang sempit ini menimbulkan potensi pengadaan buku dan pelatihan guru yang tidak sesuai aturan. Sirine tanda bahaya harus dinyalakan.
Kemdikbud, mana dokumen resmi Kurikulum 2013?
Kemdikbud sampai saat ini juga belum memberikan dokumen resmi Kurikulum 2013. Masyarakat, bahkan Panitia Kerja (Panja) Kurikulum DPR RI juga belum pernah melihat dokumen kurikulum yang resmi dan final. Ibaratnya, kita seperti meributkan barang abstrak yang tak jelas rimbanya. Selama ini, yang beredar di masyarakat hanyalah sekumpulan lembaran (slide) power point berisi Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Kurikulum 2013. Profesor bidang Sosiologi Universitas Indonesia Thamrin Tomagola mengatakan, “Kurikulum 2013 sarat dengan dua muatan dogmatis-ideologis: nasionalisme sempit dan religiusitas artifisial/ kulit.”
Empat Kompetensi Inti (KI) dalam Kurikulum 2013 adalah: semangat religius; sikap sosial sebagai anggota masyarakat dan sebagai bangsa; ketiga, pengetahuan baik yg faktual, konseptual, prosedural, meta kognitif; dan keempat, aplikasi KI 1 sampai dengan 3 merupakan satu kesatuan. KI 1 dan 2 tidak diajarkan langsung (indirect teaching). Kompetensi Inti mengikat semua Kompetensi Dasar semua mata pelajaran, dan Kompetensi Inti 1 mengutamakan semangat religius.
Kurikulum 2013 juga akan menghapus Bahasa Inggris dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Ini tentu bertentangan dengan semangat yang sering diutarakan Kemdikbud, bahwa pendidikan nasional harus mampu berkompetisi di tingkat global. Bagaimana caranya, jika Bahasa Inggris dan TIK dihapus? Bagaimana dengan para guru yang mengajar Bahasa Inggris dan TIK? Mereka akan kehilangan pekerjaan. Apakah ini sudah dipikirkan matang-matang oleh Kemdikbud?
Selain itu, metode pembelajaran tematik integratif adalah salah satu aspek yang diunggulkan dalam Kurikulum 2013. Padahal, Kurikulum 2006 pun selalu mempromosikan metode tematik integratif. Sehingga, metode ini bukan barang baru lagi yang perlu disanjung-sanjung.
Untuk kelas 1 sampai 3 Sekolah Dasar, pemerintah mencoba menyatukan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Para penyusun kurikulum tampaknya mengambil salah satu kalimat yang ada pada Kompetensi Inti, kemudian dikait-kaitkan dengan materi-materi yang akan diajarkan.
Dalam dokumen Kompetensi Inti dan Kompetensi yang berhasil kami dapatkan, beginilah contoh penyatuan tersebut dalam mata pelajaran Matematika Kelas X, yaitu: disiplin, konsisten dan jujur dan aturan eksponen dan logaritma. Kedua, perbedaan di dalam masyarakat majemuk dan persamaan dan pertidaksamaan linier. Ketiga, mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. Itulah kompetensi kurikulum yang disebut-sebut terhebat di dunia.
Kebijakan pendidikan juga seringkali tak pikirkan nasib guru. Sekarang, Kurikulum 2013 hanya kembali akan menjadikan guru sebagai korban. Penyediaan silabus untuk perlengkapan ajar bagi guru juga kerap disebut-sebut pemerintah untuk mencari dukungan masyarakat. Padahal, ini mematikan kreatifitas guru dalam mengajar. Pokoknya mengacu pada buku yang dititahkan pusat.
Dari data Uji Kompetensi Guru (UKG) yang juga merupakan proyek Kemdikbud, terlihat bahwa mutu guru di Indonesia rendah. Dengan mutu guru yang masih rendah, apakah guru dapat mengajar Kurikulum 2013 dengan baik? Pelatihan juga tidak lantas bisa menjadi obat manjur untuk meningkatkan mutu guru. Mutu guru tak bisa sekonyong-konyong naik dengan pelatihan beberapa hari.
Akhir Maret lalu, kami juga mendapat kabar bahwa penulisan buku induk (buku yang akan menjadi standar penulisan buku bagi penerbit), belum selesai ditulis. Bahkan buku induk untuk SMA/ SMK sama sekali belum dikerjakan, alias masih nol. Tapi, bagaimana buku induk mau cepat selesai, kalau dokumennya saja masih berganti-ganti mengikuti maunya Kemdikbud?
Bahkan, Desember 2012 lalu, ketika dokumen kurikulum belum jadi dan uji publik baru akan dijalankan, Kemdikbud sudah pernah mengumpulkan penerbit-penerbit untuk membahas buku. Bagaimana bisa?
Sekarang, kita sudah memasuki Bulan April, sementara Bulan Juli semua buku harus sudah selesai dan terdistribusi. Apakah sempat?
Pengadaan, akankah mengada-ada?
Bukan hanya segi isi buku, proses pengadaan buku juga rawan korupsi. Ini sudah rahasia umum. Tahun 2007, terjadi kasus korupsi di Kemdikbud dalam lelang pencetakan buku keterampilan fungsional. Pelaku korupsinya tak lain adalah pejabat Kemdikbud sebagai panitia lelang dengan modus mark up (penggelembungan). Pengadaan buku Kurikulum 2013 tidak menutup kemungkinan terjadi korupsi. Ingat, anggaran buku Kurikulum 2103 adalah 1,1 triliun rupiah.
Jangan lupa, 77% kasus korupsi yang ditangani KPK adalah soal pengadaan. Di kurikulum 2013, pengadaan buku dianggarkan 1,1 triliun. Bukan uang kecil. Namun, diskusi yang terjadi di masyarakat, turut menentukan arah keputusan anggaran di DPR. Bersuaralah menolak Kurikulum 2013, mumpung masih bisa.
Jangan tumbalkan guru dan murid!
Kurikulum 2013 yang tak matang dan masih dipaksa jalan, sungguh membuat heran. Kurikulum yang compang-camping baik dari segi isi, menabrak aturan hukum, ketiadaan dokumen resmi yang bisa diakses baik masyarakat dan DPR, serta dana yang angkanya tak main-main, membuat banyak pihak khawatir: sebenarnya untuk siapa kurikulum ini dibuat? Kurikulum tak bisa hanya jadi ambisi segelintir pejabat. Yang akan terkena dampaknya, jutaan anak Indonesia, jutaan guru. Sebaiknya Kemdikbud merenungkan itu baik-baik.
Jangan jadikan masa depan anak Indonesia sebagai tumbal proyek. Andai kurikulum ini baik adanya: direncanakan dengan matang, substansinya mantap, anggaran tak bermasalah, tentu dukungan akan mengalir. Kenyataannya tidak begitu. Kemdikbud perlu berkaca: apakah kurikulum ini sesuai Undang-undang? Baik untuk murid dan guru? Untuk masyarakat?
Kemdikbud harusnya fokus membenahi kemampuan guru, memperbaiki fasilitas sekolah dan mekanisme penyaluran dana pendidikan yang rawan korupsi. Itu saja dulu.
Carut marut pendidikan nasional bukan hanya soal uang triliunan, tapi menyandera masa depan generasi pembaharu, yang nantinya harus memotong tradisi korup bangsa ini. Tapi bagaimana generasi ini mau memotong tradisi korup, kalau kurikulum yang akan diajarkan pada mereka saja kacau? Guru juga akan kembali menjadi korban bila kurikulum ini jadi diterapkan.
Jika kurikulum yang menjadi landasan belajar anak-anak bangsa begitu kacau dan keliru, bagaimana lagi kita mau mengharapkan perubahan kualitas pendidikan?
Petisi untuk menolak Kurikulum 2013 bisa ditandatangani di http://www.change.org/id/petisi/tolak-kurikulum-2013. Petisi ini dialamatkan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Siti Juliantari
Peneliti Indonesia Corruption Watch