Kunjungan Kerja DPR

Badan Pemeriksa Keuangan pada awal Mei 2016 melansir temuan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 945 miliar dalam kunjungan kerja perorangan yang dilakukan anggota DPR selama 2015.
 
Banyak ditemukan laporan kunjungan kerja anggota Dewan yang tidak memenuhi persyaratan atau susah diverifikasi dan bahkan fiktif.
 
Temuan BPK soal dana kunjungan kerja DPR sungguh memalukan dan ironis. Penyimpangan justru dilakukan wakil rakyat di Senayan yang katanya terhormat dan seharusnya bisa menjadi panutan bagi seluruh rakyat di Indonesia. Kunjungan kerja fiktif DPR tidak saja memperburuk citra DPR di mata publik, tetapi juga dapat menjadi cerminan buruknya integritas sebagian anggota Parlemen.
 
Selain itu besaran uang kunjungan kerja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sungguh luar biasa, yaitu Rp 945 miliar. Dengan nilai anggaran kunjungan kerja DPR tahun 2015 sebesar Rp 1,24 triliun, potensi penyimpangan yang terjadi adalah lebih dari 75 persen. Padahal, uang negara sebesar ini dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti membuka lapangan kerja baru, beasiswa pendidikan, dan mengurangi kemiskinan.
 
Kunjungan kerja DPR fiktif pada dasarnya bukan cerita baru dan kontroversi ini selalu muncul setiap tahun. Dalam pengamatan Indonesia Corruption Watch, modus kunjungan kerja fiktif anggota DPR juga beragam. Misalnya, menyuruh staf dari anggota DPR untuk menggantikan kunjungan kerja, menggunakan foto-foto kunjungan kerja yang lama atau mengambil dari internet, memanipulasi hari kerja, membuat daftar kehadiran kegiatan kunjungan kerja secara palsu, hingga memalsukan bukti tiket perjalanan dan akomodasi.
 
Setelah selesai kunjungan kerja, laporan kunjungan dan pertanggungjawaban anggaran juga tidak pernah dibuat oleh mayoritas anggota Dewan. Publik juga tidak pernah mengetahui dan merasakan manfaat hasil kunjungan kerja yang dilakukan anggota DPR.
 
Adanya kunjungan kerja DPR fiktif juga diperkuat dari penelitian yang dilakukan Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) pada 2014 lalu. Hasil penelitian menyebutkan, sebanyak 70 persen anggota DPR periode 2009-2014 tidak pernah melakukan kunjungan kerja. Namun, Formappi mencatat keanehan bahwa jumlah anggota DPR yang memiliki laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja bukan 30 persen, melainkan sebesar 49 persen dari seluruh anggota Dewan. Artinya, hampir 20 persen anggota Dewan melakukan kunjungan kerja fiktif.
 
Meski selalu ditemukan banyak penyimpangan, ajaibnya anggaran kunjungan kerja DPR selalu meningkat tiap tahun. Anggaran kunjungan kerja DPR pada 2014 berjumlah Rp 763 miliar, tahun 2015 naik drastis menjadi Rp 1,24 triliun, dan pada 2016 meningkat menjadi sebesar Rp 1,4 triliun.
 
Khusus pada 2016, setiap masa reses anggota Dewan akan menerima uang Rp 225 juta untuk melakukan kunjungan kerja. Jika setahun ada lima kali reses, besar uang yang diterima setiap anggota DPR Rp 1,125 miliar. Jumlah tersebut masih ditambah dana kunjungan kerja di luar masa reses Rp 420 juta per tahun.
 
Pembiaran
Munculnya kunjungan kerja DPR fiktif tidak saja terjadi karena masalah integritas anggota Dewan, tetapi juga akibat lemahnya pengawasan—bahkan pembiaran—dari internal DPR dan setiap parpol. Jika ada temuan anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja fiktif, sudah menjadi kebiasaan masalah ini diselesaikan secara ”adat” dan kekeluargaan. Selama dana kunjungan kerja fiktif dikembalikan, tidak akan dilakukan pengusutan atau penjatuhan sanksi. Hingga saat ini belum pernah terdengar adanya sanksi yang dijatuhkan pimpinan parpol atau Majelis Kehormatan Dewan (MKD) terhadap anggota DPR yang diketahui melakukan kunjungan kerja secara fiktif.
 
Agar polemik soal kunjungan kerja DPR tidak terus-menerus terjadi dan tanpa ada solusi, hasil audit BPK seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk membenahi diri. Hal ini penting supaya citra dan kepercayaan DPR di mata masyarakat tidak semakin luntur. Langkah pencegahan dan penindakan perlu dilakukan agar masalah kunjungan kerja fiktif DPR tidak kembali terulang di masa mendatang.
 
Sebagai langkah pencegahan, sebaiknya DPR atau parpol tak hanya sekadar memberikan surat teguran, tetapi juga perlu membuat pelatihan singkat atau asistensi kepada anggota DPR dalam membuat laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja. Pelaksanaan kunjungan kerja anggota DPR harus dilakukan secara efektif, efisien, dan akuntabel. Kunjungan kerja DPR perlu menekankan pada urgensi kunjungan, ketepatan sasaran, penghematan, dan pertanggungjawaban anggaran. Sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang rakyat, laporan hasil kunjungan kerja setiap anggota DPR wajib diumumkan secara terbuka agar dapat diakses publik.
 
Sekjen DPR juga perlu melakukan reformasi terhadap mekanisme pencairan dan pertanggungjawaban anggaran kunjungan kerja anggota DPR. Misalnya, dana kunjungan kerja tidak diberikan kepada anggota DPR secara langsung (lump sum), tetapi hanya dibayar untuk kegiatan yang benar-benar dilakukan (actual cost). Selain itu dana kunjungan kerja hanya dapat dicairkan jika para anggota DPR telah memberikan laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja periode sebelumnya.
 
Pada sisi penindakan dan untuk memberikan efek jera, pimpinan parpol dan MKD DPR dapat saja melakukan upaya pro aktif menindaklanjuti atau melakukan investigasi berdasarkan hasil audit BPK. Anggota DPR yang nakal dan terbukti melakukan kunjungan kerja fiktif perlu diberikan sanksi yang tegas, bahkan jika diperlukan sebaiknya dicopot dari jabatannya.
 
Untuk menghindari penyelesaian secara ”adat”, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya juga dilibatkan dalam mengusut adanya kerugian negara dari kunjungan kerja fiktif para anggota DPR ini. Jika ditemukan bukti korupsi dana kunjungan kerja, sebaiknya KPK tidak perlu segan untuk memproses oknum anggota Dewan ini hingga ke pengadilan.
 
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
 
Sumber: KOMPAS, 27 Mei 2016

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan