Kubu Bibit dan Chandra Siapkan Pembelaan dan Alat Bukti
Muncul Wacana SKPP Jilid II
Kejaksaan Agung hingga kini belum menentukan sikap atas pembatalan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) terhadap Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah. Namun, tim kuasa hukum dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sudah berancang-ancang menghadapi kemungkinan terburuk jika Kejagung memilih melanjutkan perkara dugaan pemerasan tersebut ke meja pengadilan.
Saat ini tim kuasa hukum yang terdiri atas enam orang, yakni Taufik Basari, Bambang Widjojanto, Iskandar Sonhaji, Alexander Lay, Ahmad Rifai, dan Abdul Fikar Fajar, tersebut menyiapkan bahan untuk pembelaan. "Saat ini kami mempersiapkan berkas pembelaan dan alat bukti," papar Ahmad saat dihubungi kemarin (5/6).
Meski bola kemenangan masih berada di kubu Anggodo Widjojo, menurut Ahmad, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab, ada beberapa kejanggalan dalam perkara yang menjerat Bibit-Chandra itu. Salah satunya, Bibit maupun Chandra tidak pernah diperiksa penyidik Polri atau dijadikan sebagai tersangka upaya pemerasan. "Sehingga, itu janggal. Kenapa tiba-tiba hal tersebut dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh Anggodo?"ujarnya.
Karena itu, Ahmad menilai, hakim yang memutus perkara banding SKPP tersebut telah melampaui batas kewenangan ketika memeriksa perkara praperadilan Anggodo. "Itu adalah salah satu kesalahannya," imbuhnya.
Ahmad optimistis terhadap alasan sosiologis yang digunakan sebagai dasar untuk mengeluarkan SKPP. Alasan itu memungkinkan dilakukannya deponering. "Alasan tersebut memungkinkan jaksa untuk melakukan deponering. Itulah kenapa saya bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan," tegasnya.
Sebelumnya, Chandra menyatakan menunggu putusan atau sikap lain presiden. Dia juga menuturkan bahwa dirinya bukanlah pihak yang harus membuktikan kebenaran perkara tersebut. "Itu adalah tugas kejaksaan. Tugas saya adalah membantah dakwaan yang diajukan jaksa," paparnya di gedung KPK kemarin (5/6).
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Rudy Satrio Mukantardjo mempuyai pemikiran lain soal kasus itu. Jika beberapa kalangan meminta kejaksaan menempuh deponering, Rudi malah mengimbau korps adhyaksa itu mengeluarkan SKPP jilid II. "Itu sah, diatur dalam undang-undang," ucapnya saat dihubungi.
Dia menerangkan, SKPP jilid II tersebut bisa diajukan dengan pertimbangan kurang bukti. "Kan sampai sekarang belum ada bukti bahwa Ari Muladi menyerahkan uang itu dengan perantara Yulianto," papar dia. Jadi, selama tidak ada alat bukti yang kuat, SKPP jilid II "aman" meski juga dipraperadilankan.
Bila deponering ditempuh, di mata kejaksaan justru Bibit-Chandra bersalah. Selain itu, tidak mudah mengeluarkan deponering. Sebab, sebelumnya kejaksaan harus membuktikan bahwa kasus tersebut benar-benar berdampak pada aspek sosial masyarakat. Jika begitu, harus ada penentuan terlebih dulu. "Itulah yang tidak mudah. DPR pun punya kewenangan untuk menggali, apakah kasus tersebut memang berdampak atau tidak," terang dia.
Sementara itu, Eggy Sudjana, salah seorang kuasa pemohon praperadilan SKPP yang ditolak PN Jaksel, mendesak agar kejaksaan melimpahkan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. "Putusan itu sudah final. SKPP ditolak," tegasnya kemarin.
Soal wacana mengeluarkan deponering, menurut Eggy, hal tersebut tidak bisa dilakukan. Alasannya, SKPP dan deponering merupakan pilihan hukum. "Dulu yang dipilih adalah SKPP. Kalau mau deponering, kenapa tidak sejak dulu?" urai pengacara yang mewakili tiga LSM saat menggugat praperadilan SKPP Bibit-Chandra itu. (ken/kuh/fal/c11/iro)
Sumber: Jawa Pos, 7 Juni 2010