Kualitas versus Biaya

Persoalan pendidikan sepanjang 2004 diwarnai gejolak dan kritik masyarakat tentang mahalnya biaya pendidikan. Menurut Mohammad Nuh, guru besar dan rektor ITS, Surabaya, gejolak itu menandakan pergulatan antara tuntutan memperoleh pendidikan murah dan pendidikan bermutu.

Protes terhadap biaya pendidikan yang dianggap mahal dan dirasakan memberatkan masyarakat diperlihatkan oleh banyaknya demonstrasi mahasiswa sepanjang 2004. Persoalan itu, tampaknya, akan terus menggelinding pada 2005. Mengapa? Sebab, tingginya biaya itu memang merupakan akibat logis dari keinginan masyarakat yang juga menginginkan kualitas pendidikan yang lebih baik.

Tuntutan terhadap kualitas pendidikan memang merupakan taruhan besar bagi kita untuk bisa bersaing, tidak hanya di lingkup domestik, tetapi juga di tingkat global. Bisa dibayangkan sangat sulitnya para lulusan sebuah lembaga pendidikan akan bersaing jika mereka tidak berkualitas.

Semua orang menyadari, pendidikan sangat penting, bukan semata-mata untuk mencerdaskan diri, bangsa, dan masyarakat serta meningkatkan martabat dan kesejahteraan. Tapi, lebih dari itu, pendidikan merupakan salah satu cara yang paling elegan untuk memotong mata rantai kemiskinan. Persoalannya, bagaimana mungkin kemiskinan akan makin berkurang jika sementara ini biaya pendidikan terus melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau orang-orang yang mau mencoba melepaskan diri dari ikatan kemiskinan melalui pendidikan?

Tampaknya, fakta itulah yang harus mulai dipikirkan ke depan. Sehingga, gejolak terhadap tuntutan masyarakat dan mahasiswa soal mahalnya biaya pendidikan bisa menemukan jalan keluar.

Apakah Harus Biaya?
Memang ada banyak faktor yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sehingga, biaya bukanlah salah satu jawaban yang mesti dilakukan dan ditentukan lebih awal.
Setidaknya, ada tiga hal penting selain biaya yang bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pertama, berkaitan dengan pendekatan dan cara penyampaian yang memang harus dilakukan dalam proses belajar mengajar. Di situ, faktor guru atau dosen menjadi paling dominan. Sebab, masing-masing guru atau dosen mempunyai pengalaman dan memiliki cara penyampaian yang berbeda.

Kedua, terkait kurikulum. Dalam sistem pendidikan, kurikulum merupakan pencerminan kehendak tentang gambaran lulusan yang dicitakan sekaligus sebagai gambaran tentang proses serta sumber daya (resources) yang dimiliki.

Karena itu, kurikulum sebagai academic plan setidaknya memuat purpose, content, sequence, learner, instructional process, instructional resources, evaluation, dan adjustment. Ketujuh muatan kurikulum terakhir didasarkan pada purpose (tujuan) pendidikan yang dicitakan. Secara falsafati, tujuan tersebut diharapkan selalu memiliki tiga aspek penting, yakni knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), dan attitude (perilaku).

Persoalannya, meski kurikulum yang telah dibuat sudah mendekati sempurna dan baik, kembali saja kepada guru atau dosen yang akan menyampaikannya. Dan, hal tersebut sangat berkaitan dengan hal ketiga yang bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kualitas. Yakni, fasilitas yang di dalamnya menyangkut, antara lain, operasional laboratorium serta kebutuhan pembiayaan lainnya.

Menyimak tiga persoalan tersebut, rasa-rasanya, masalahnya memang tetap berakhir pada pembiayaan yang harus dikeluarkan dan ditanggung lembaga pendidikan yang ujung-ujungnya dibebankan kepada masyarakat. Meski demikian, kiranya, tidaklah pantas jika sejak awal para pengelola pendidikan memastikan jalan satu-satunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah mematok biaya yang mahal. Tidak, sekali lagi tidak. Para pengelola lembaga pendidikan harus bisa menunjukkan dulu langkah efisiensi yang dilakukan serta akuntabilitas dalam pengelolaan dana.

Sebab, tanpa didukung langkah efisiensi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, berapa pun dana yang diperlukan, hal itu tidak akan setimpal dengan keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Karena itu, pengelola pendidikan dituntut melakukan efisiensi serta akuntabilitas.

Di sisi itu, bisa dikatakan bahwa dana bukanlah satu-satunya yang harus dijadikan prasyarat untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tapi, dana merupakan kesempurnaan syarat atau dalam agama dibahasakan sebagai syarat rukun yang memang harus terpenuhi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.

Pada titik tersebut, bisa disampaikan bahwa biaya jangan ditonjolkan sebagai faktor penentu. Sebab, jika biaya atau dana ditonjolkan, hilanglah nilai-nilai idealisme sebuah lembaga pendidikan.

Empat Kuadran
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mungkin tanpa biaya, kualitas pendidikan akan meningkat? Memang, sebagai sebuah syarat rukun, dana tetap penting. Persoalannya, bagaimana dana-dana yang dibutuhkan sedemikian besar itu bisa proporsional dibebankan kepada masyarakat?

Melihat fakta di lapangan, sesungguhnya ada empat kuadran di masyarakat kita yang ingin menikmati pendidikan. Kuadran pertama adalah mereka yang memang berasal dari masyarakat kaya dan pandai. Mereka yang berada di kuadran itu tentu tidak ada persoalan dalam memilih lembaga pendidikan.

Kedua, mereka dari golongan masyarakat kaya tetapi tidak pandai. Hal itu juga tidak masalah. Sebab, dengan finansial yang dimiliki, mereka bisa leluasa memilih lembaga pendidikan yang memang khusus disiapkan untuk meningkatkan local genius pada diri tiap-tiap individu yang biasanya memang membutuhkan biaya besar.

Kuadran ketiga, mereka yang pandai tetapi tidak memiliki finansial yang memadai. Pada kuadran ini, muncul persoalan. Sebab, secara keilmuan, mereka mampu. Tetapi, secara finansial, mereka menemui kendala. Itulah yang harus diperhatikan lembaga-lembaga pendidikan untuk memberikan alokasi dana secara khusus yang bukan bersifat program insidental, tapi harus menjadi program yang menjadi satu kesatuan (built-in) dalam pengelolaan manajemen pendanaan lembaga pendidikan.

Di situlah sesungguhnya gejolak serta kritik masyarakat tentang tingginya biaya pendidikan seharusnya mendapatkan jawaban. Persoalannya, dari mana lembaga pendidikan menyiapkan bantuan-bantuan tersebut?

Tentu, jawabnya adalah dari upaya penggalangan dana-dana masyarakat yang dilakukan secara proporsional. Artinya, mereka yang mampu memang sudah sewajarnya membayar lebih tinggi, sedangkan yang nyata-nyata memang tidak mampu harus benar-benar diberi dispensasi khusus. Sangat tidak adil mereka yang kecukupan secara finansial harus membayar sama dengan mereka yang nyata-nyata tidak mampu secara finansial tetapi punya kepandaian.

Keempat, mereka yang miskin dan tidak pandai. Bagaimana menjawabnya? Pemerintah harus memberikan perhatian secara khusus dan maksimal. Sebab, hal itu memang merupakan tanggung jawab pemerintah seperti yang diamanatkan dalam undang-undang dasar.

Tiga Kelompok
Secara garis besar, ada tiga kelompok yang memang harus bertanggung jawab sekaligus dilibatkan dalam pembiayaan pendidikan. Kelompok pertama, pemerintah yang melalui tekanan komitmen politiknya secara bertahap harus memenuhi 20 persen dari APBN dan APBD untuk anggaran bidang pendidikan.

Kedua, perusahaan atau institusi yang diminta untuk menyisihkan hasil keuntungannya di bidang pendidikan. Dan, hal tersebut bisa dilakukan jika perusahaan atau institusi telah menyisihkan sebagian keuntungannya itu dengan memberikan insentif terhadap pemotongan pajak (tax deduction).

Ketiga, kelompok masyarakat yang memang melalui kesadaran penuh harus bisa menerima pentingnya kontribusi pembiayaan pendidikan melalui skema proporsional.

Jika ketiga kelompok tersebut berfungsi secara harmonis, tingginya biaya pendidikan tak perlu dipersoalkan lagi. Sebab, hal itu secara proporsional memang harus diterapkan semata-mata untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Tentu saja dibutuhkan kesadaran semua pihak, baik pemerintah, perusahaan atau institusi, maupun masyarakat. Melalui kesadaran terhadap posisi serta fungsi yang harus dikerjakan dan peran yang harus dimainkan, kiranya, persoalan tingginya biaya pendidikan akibat tuntutan untuk meningkatkan kaulitas pendidikan akan menemukan jawaban.(Mohammad Nuh, Rektor ITS Surabaya)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 30 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan