Kriminalisasi Mengancam Kita

ISTILAH kriminalisasi sedang mencuat di ranah hukum negara kita belakangan ini. Banyak pengamat menilai usaha Polri untuk menyeret mantan petinggi KPK ke pengadilan (baca: Bibit S. dan Chandra Hamzah) merupakan sebuah kriminalisasi terhadap keduanya. Publik bersikap simpati atas kriminalisasi yang mereka alami.

Saking populernya, dalam pertemuan dengan kepala Polri, entah mengerti atau tidak, seorang anggota Komisi III DPR juga latah menggunakan kata itu dengan menyatakan bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap polisi atas perseteruan berkepanjangan antara KPK dengan kepolisian.

Tapi, tidak ada publik yang simpati pada pernyataan itu dan malah menimpali bahwa DPR telah kehilangan fungsi kontrolnya atas sikapnya yang dianggap mendukung penguasa. Apakah kriminalisasi itu?

Terminologi Kriminalisasi
Terminologi kriminalisasi perlu diteropong dalam konteks hukum. Penjelasan Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam sebuah jumpa pers bisa dipakai acuan. Menurut dia, sebuah kasus dapat dikatakan sebagai kriminalisasi jika ada perbuatan yang bukan termasuk tindak pidana, kemudian dikriminalkan. Penjelasan tersebut memberi kesimpulan penting. Yakni, kriminalisasi adalah sebuah pemaksaan terhadap status hukum seseorang.

Sejatinya, tidak terdapat pelanggaran pidana yang dilakukan. Tapi, karena alasan-alasan tertentu (yang bahkan tidak masuk akal dan melanggar nurani), seseorang bisa saja dikriminalkan. Bagaimana caranya?

Jika hukum sudah tidak berpijak pada landasan keadilan, kebenaran menjadi sangat relatif. Hukum tidak lagi netral, tapi memihak pada kepentingan. Contohnya, memihak pada kepentingan penguasa atau pemilik modal atau pribadi tertentu yang memiliki pengaruh sosial-politik di tengah masyarakat. Penguasa bukan lagi menjadi alat hukum, tapi berubah menjadi hukum itu sendiri dan mempraktikan sekehendak-hatinya. Dalam level ini, hukum bisa dibeli dan diatur menurut selera.

Karena itu, sebuah kriminalisasi justru merupakan tindakan kriminal yang mencederai kebenaran dan perjuangan penegakan hukum karena dilakukan untuk memidanakan seseorang yang tidak melanggar pidana. Muncul pertanyaan, mengapa harus dipaksakan?

Sebagaimana manusia, kekuasaan juga memiliki natur, yakni kepentingan. Terlebih jika kekuasaan itu dijalankan dalam ranah politik, siapa pun tidak boleh melawan penguasa. Siapa yang berkuasa atau yang memegang hukum, demikianlah hukum dijalankan dan diatur menurut gaya dan kepentingan penguasa.

Contohnya, para pemimpin yang baru saja melepas kekuasaan politiknya bisa dituntut oleh penggantinya dengan berbagai alasan, bahkan terkesan dicari-cari untuk tujuan kriminalisasi. Kasus aktual adalah sejumlah alasan yang dikemukakan junta militer Burma untuk tetap mempertahankan Aung San Suu Kyi sebagai tahanan rumah.

Demikian pula kasus hukum yang melanda Thaksin, sehingga dirinya dihukum in absentia dan paspornya dicabut. Intinya, kriminalisasi adalah tindakan sepihak yang dilegitimasikan oleh kekuasaan tanpa memedulikan asas kebenaran, apalagi keadilan.

Penuh Rekayasa
Ciri khas sebuah kriminalisasi adalah rekayasa. Di mana pun kriminalisasi dijalankan, sebuah skenario mendahului pelaksanaannya. Dalam skenario itu tentu saja terdapat rekayasa. Misalnya, kesalahan yang dicari-cari atau aturan hukum yang dipaksakan penggunaannya.

Standar ganda penerapan hukum juga termasuk dalam tindakan ini. Bukan hanya itu, perluasan substansi masalah bisa saja dilakukan untuk menemukan satu celah yang dapat menjadi alasan pelanggaran, sehingga seseorang tetap saja dipidanakan.

Misalnya, seseorang semula dituduh mencuri dan ternyata tidak cukup bukti untuk tuduhan itu. Dengan demikian, seharusnya dia dibebaskan. Tapi, penahanan tetap dikenakan dan menjadikannya target pidana dengan cara sengaja mencari-cari celah hukum yang dapat menjeratnya.

Jika upaya tersebut masih gagal, hukum dapat dibelokkan atau direkayasa untuk tetap menghukumnya. Misalnya, merekayasa kasus serta merekayasa alat bukti, saksi, atau menekannya atau menggunakan pasal yang diterjemahkan secara paksa. Artinya, kriminalisasi sesungguhnya bukan proses, tapi target. Seseorang yang berada dalam target semacam ini tidak punya pilihan lain.

Rekayasa yang paling terkenal dalam sejarah kriminalisasi pernah terjadi di Roma. Waktu itu, Kaisar Nero yang menjadi penguasa Romawi memutuskan membakar Kota Roma. Kaisar ''gila'' itu nekat melakukan itu dan menonton kebakaran hebat di seluruh penjuru Roma dari atas istananya sambil bermain musik.

Siapa yang disalahkan? Segera setelah Kota Roma rata dengan tanah, Nero memerintahkan penangkapan orang Kristen di seluruh negeri, membunuh mereka dengan sadis, dan menuduh mereka sebagai pelaku kriminal yang mengakibatkan kebakaran tersebut.

Di manakah nurani? Kriminalisasi tidaklah mengenal nurani ataupun moralitas, juga etika. Pelaku tindakan itu bahkan tidak takut terhadap hukum agama yang mengikat setiap tindakannya kelak di akhirat. Karena itu, jika dipraktikkan dalam sebuah negara yang asas role of law-nya masih lemah, kriminalisasi bisa menjadi tren penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya, menakuti lawan politiknya, bahkan membungkam perbedaan pendapat. Juga, bisa menjadi tren para aparat penegak hukum untuk memeras orang lain memenuhi kepentingannya yang korup.

Kalau sampai kriminalisasi seperti itu terjadi di Indonesia dalam kasus-kasus yang sedang marak antara KPK dan Polri, kita perlu mawas diri. Sebab, tindakan tersebut sedang menghancurkan bangsa ini secara keseluruhan. (*)

Sonny Eli Zaluchu , kolumnis dan teolog; sedang menempuh program S-3 DTh di STBI Semarang

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan