KPTPK Dan Moratorium Korupsi

Fajar ekspektasi masyarakat Indonesia yang sekian lama memendam rindu akan perwujudan clean goverment, kembali merekah. Ini setelah Presiden Megawati menandatangani Keppres No 73 Tahun 2003 tentang pembentukan panitia seleksi calon pimpinan KPTPK (Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) atau KAK (Komisi Anti Korupsi), yang dipimpin oleh Prof Romli Atmasasmita.

Semestinya KPTPK (dulunya bernama TGPTPK) sudah harus terbentuk pada tahun 2001 sebagaimana amanat UU No 31 Tahun 1999 juncto UU No 20 Tahun 2001, yang merupakan derivasi Tap MPR No XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Tetapi alih-alih melegalisasi lembaga tersebut, pemerintah justru membubarkan TGPTPK yang diketuai Adi Andojo tanpa argumentasi yang valid. Akibatnya, masyarakat semakin skeptis akan keseriusan pemerintah untuk memberantas KKN.

Pertanyaannya kemudian, akankah ekspektasi masyarakat itu berbanding lurus dengan artikulasi kerja KPTPK nantinya? Terlalu dini memang, pertanyaan ini dikemukakan sekaligus dijawab, sebab sekarang proses yang sementara akan berlangsung adalah penjaringan keanggotaan lembaga. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa pertanyaan di atas merupakan gambaran skeptisisme yang masih mengganjal di ruang pikiran-hati masyarakat. Bukankah dalam ornamen sejarah politik Indonesia modern, peng-institusionalisasi-an instrumen pemberantasan KKN sudah berkali-kali dilaksanakan?

Operasi Tertib, Komisi Empat, Tim Walisongo, TGPTPK, KPKPN merupakan institusi yang mendahului kelahiran KPTPK. Dan, walhasil, lembaga tersebut bagaikan tak bertaring-gigi (berkutik) dan gagal menyeret pelaku KKN. Jangankan menyeret, mengerem praktik KKN saja tidak bisa, bahkan sebaliknya tindakan KKN semakin subur, bagai cendawan di musim hujan.
Jika sebelum kejatuhan rezim pemerintahan masa lalu, praktik KKN dilakukan secara sembunyi, sekarang dilakukan secara vulgar tanpa merasa malu dan spektrumnya semakin luas mulai dari level kekuasaan terendah sampai yang tertinggi, mulai dari pemilihan kepala RT-RW sampai Presiden. Money politics merupakan keniscayaan. Anehnya, mereka yang menentang praktik seperti itu dituduh tidak realistis, tidak modern dan sok suci. Maka, wajar, dalam indeks persepsi korupsi (IPK) yang diumumkan pada tahun 2002, Indonesia menempati urutan 96 dari 102 negara terkorup.

Seleksi KPTPK!
Terlepas dari selubung skeptisisme, pembentukan KPTPK telah memancarkan sejuta harapan untuk mengakhiri segala perilaku korup, kebiasaan yang terkristal menjadi budaya, seperti yang pernah diungkapkan oleh Bung Hatta sekitar tahun 1950-an. Karena itu, praktik korupsi sangat sulit untuk diberantas, terlebih dengan ambiguitas yang diperlihatkan oleh elit-elit politik.

Artinya, untuk konteks Indonesia, lingkungan politik memiliki faktor determinan dalam mengkonsolidasi-mengkristalisasi praktik KKN. Mereka (preman-preman politik) tidak memiliki keseriusan dan memang tidak memiliki keinginan untuk memberantas KKN.

Mereka bertimbang (pikiran picik) jangan sampai regulasi tentang pemberantasan KKN akan mencederai kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sehingga, proses penjaringan keanggotaan KPTPK pun rawan disusupi oleh kepentingan politik, dan hal ini diakui oleh Dr Indryanto Seno Adji (anggota seleksi calon pimpinan KPTPK). Terlebih, pada akhirnya, anggota KPTPK akan dipilih oleh anggota DPR. Untuk itu, diperlukan langkah pengawasan -- pressure masyarakat -- kepada DPR untuk memilih anggota KPTPK secara transparan dengan variabel yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan, bukan lewat politik dagang sapi. Ini penting, agar nantinya KPTPK beranggotakan orang-orang independen yang terjamin integritas moral sekaligus intelektualitasnya.

Kredibilitas atau integritas, perlu menjadi cacatan penting anggota KPTPK. Sebab, apalah artinya sebuah lembaga seperti KPTPK yang memiliki tugas dan wewenang yang demikian besar sebagaimana termaktub dalam pasal 8 UU No 30 Tahun 2002 (koordinasi dan supervisi, termasuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), jika diisi oleh orang-orang yang tidak kredibel dan partisan.

Darurat Korupsi
Frase di atas ingin menegaskan kembali bahwa KKN merupakan penyakit yang sudah demikian akut-kronis-endemik, yang tanpa disadari sedikit demi sedikit melumpuhkan dan meruntuhkan fondasi atau pilar eksistensial nation-state Indonesia. Asumsi ini semakin dikuatkan dengan ketidakmampuan kita keluar dari pusaran multikrisis yang terjadi sejak 1997, ketika di saat bersamaan negara-negara jiran telah berhasil keluar dari krisis yang dialami, bahkan derap pembangunan di negeri mereka melaju demikian cepat meninggalkan kita.

Patutkah serpihan perahu yang bernama Indonesia yang hampir karam ini menjadi kebanggaan? Cukupkah rasa nasionalisme (sempit) menjadi modal untuk kembali menegakkan martabat kebangsaan kita di tengah pergaulan dunia?

Penulis sengaja melontarkan pertanyaan-pertanyaan di atas untuk merangsang nalar kita (khususnya para elit) yang sudah beku oleh nikmatnya kuasa. Nalar yang bisa membangunkan dan menyadarkan mereka dari kantuk-tidur yang teramat panjang, bahwa negara, jika tidak segera diantisipasi akan lenyap dari poros garis edar peradaban manusia.

Indonesia memang negara aneh bin ajaib sekaligus surga bagi para koruptor. Betapa tidak, dari sekian banyak orang yang terindikasi dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi, mereka masih dapat seenaknya berkeliaran ke sana-ke mari, bahkan memimpin lembaga publik. Dan, pemerintah termasuk DPR seakan menutup mata dengan fakta-fakta tersebut.

Moratorium Korupsi
Perang melawan KKN merupakan keniscayaan untuk mewujudkan tatanan negara yang beradab dan berkesejahteraan. Sebab, korupsi, menyitir pernyataan Frans Magnis Suseno, merupakan sumber kekerasan, eksklusivisme dan pengkhianatan terhadap rakyat. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah sistematis dan radikal untuk memberantas KKN yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime.

Paling tidak, ada dua pendekatan (approach) yang dapat ditempuh untuk meretas jalan pemberantasan KKN di Indonesia. Pertama, pendekatan represif. Oleh karena korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan telah berurat-akar, maka diperlukan terapi ekstrem dalam penanggulangannya. Institusi hukum, termasuk KPTPK, harus berani menjatuhkan hukuman mati terhadap terpidana korupsi. Langkah ini akan menjadi therapi kejut kepada siapa pun untuk tidak main-main dan berani melakukan korupsi. Pengalaman di negara Cina, Thailand dan Korea Selatan membuktikan signifikansi pendekatan represif dalam melawan korupsi. Cara lain adalah dengan memberikan sanksi sosial kepada pelaku pidana korupsi. Artinya, terpidana (termasuk keluarganya) dijauhi, dikucilkan atau dilokalisir dari interaksi sosial-kemasyarakatan.

Kedua, pendekatan preventif. Pendekatan ini berorientasi pada penyempurnaan sistem perundang-undangan, pembinaan terhadap aparatus hukum (hakim, jaksa dan polisi), dan penyuluhan kepada masyarakat umum. Dengan demikian, terjadi sinergisitas antara infrastruktur dan suprastruktur hukum, yang akhirnya akan membangun budaya hukum (law of enforcement). Penegakkan hukum diharapkan akan memperkokoh moralitas masyarakat, moralitas yang dieksplorasi-diderivasikan dari sumber nilai (agama dan budaya), sehingga dengan perspektif moralitas dan tertib hukum, masyarakat merasa malu untuk melakukan tindakan/praktik korupsi.

Akhirnya, sekali lagi, pemerintah (elit-elit politik) sudah harus menunjukkan keseriusannya untuk menyatakan perang terhadap korupsi, dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar retorika. Masyarakat sudah sangat muak melihat perilaku para elit politik pamer kekayaan di tengah derita rakyatnya. Mereka berkhotbah tentang moralitas dalam jubah kemunafikan dan mendendangkan lagu solidaritas pada ritme hidup yang hedonistik-individualistik. Harus dihindari, jangan sampai, kemuakan dan apatisme masyarakat berubah menjadi tindakan-gelombang irasionalitas yang akan menyapu bersih para bad politician yang tak lagi memiliki rasa malu. Wallahu `alam Bissawab.(Muzakkir Djabir, adalah seorang peneliti, editor buku dan pengamat politik-hukum, tinggal di Makassar).

Tulisan ini diambil dari Suara Karya, Senin, 13 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan