KPPU dan Temuan Persekongkolan dalam Penjualan Tanker Pertamina
Penjualan tanker raksasa (very large crude carriers/VLCC) milik Pertamina nyaris terlupakan setelah Direksi Pertamina menegaskan tak ada jalan lain karena perusahaan sedang krisis keuangan. Semua kritik terhadap keputusan penjualan tanker tersebut, baik dari aspek ekonomi maupun aspek hukum, terpaksa dikesampingkan.
KPPU menyimpulkan bahwa Pertamina, Goldmand Sachs sebagai financial advisor (penasihat keuangan) dan arranger (pengatur) tender, Frontline sebagai pemenang tender, serta PT Perusahaan Pelayaran Equinox yang bertindak sebagai perantara (broker) dari Frontline telah bersekongkol memengaruhi proses tender. Tujuannya adalah untuk memenangkan Frontline dari dua peserta tender yang masuk shortlisted, yakni Essar dan OSG.
Sesuai hasil pemeriksaan KPPU, sampai tanggal 8 Juni 2004 menunjukkan proposal Essar merupakan penawaran tertinggi, tetapi dengan total skor peringkat kedua di bawah Frontline. Hal itu sempat meragukan Direksi Pertamina untuk memutuskan Frontline sebagai pemenang mengingat selisih harga penawaran yang cukup signifikan di antara kedua perusahaan tersebut, yakni sebesar 5,5 juta dollar AS.
Kemudian, dari hasil pemeriksaan KKPU, sampai tanggal 9 Juni 2004, Equinox melaporkan melalui e-mail kepada Frontline bahwa pihaknya masih melakukan negosiasi harga dengan Goldman Sachs. Frontline kemudian melalui Equinox menyerahkan penawaran ketiga kepada Goldman Sachs dengan selisih 500.000 dollar AS dari penawaran Essar.
Penyerahan penawaran ketiga tersebut dilakukan di luar batas waktu yang telah ditentukan. Selain itu, penawaran ketiga tersebut dibuka sendiri oleh pihak Goldman Sachs di Jakarta, tidak di hadapan notaris dan juga tidak di Singapura sebagaimana pembukaan penawaran sebelumnya.
Pihak Pertamina sendiri mengetahui perihal penyerahan penawaran ketiga oleh Frontline, tetapi membiarkan dan tak mengambil tindakan apa pun, meskipun dalam pemeriksaan KPPU, pihak Pertamina mengetahui bahwa tindakan itu tak sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam proses tender.
KPPU dalam keputusannya menyebutkan bahwa penawaran ketiga tersebut membuka peluang bagi Direksi Pertamina untuk memutuskan Frontline sebagai pemenang. Dengan demikian, Goldman Sachs dinilai telah memfasilitasi dan Pertamina menyetujui suatu tindakan, meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tertentu.
Empat pihak, yakni Pertamina, Goldman Sachs, Frontline, dan Equinox, disebut sebagai pihak yang mengatur atau menentukan pemenang tender divestasi tanker raksasa milik Pertamina. Akibatnya, keempat pihak tersebut menciptakan persaingan tidak sehat sesuai dengan Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 karena tidak dilaksanakan secara jujur.
Pasal 1 Ayat (6) UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi, Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Dalam keputusan KPPU disebutkan bahwa pelanggaran Pasal 1 Ayat (6) UU No 5/1999 dibuktikan dari penyerahan penawaran ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sendiri oleh Pertamina dan Goldman Sachs. Ketentuan itu juga telah disepakati oleh peserta tender sehingga tindakan penyerahan penawaran ketiga tersebut dilakukan secara melawan hukum.
Tindakan-tindakan yang dilakukan empat terlapor telah menghambat secara melawan hukum terhadap peserta tender lainnya untuk memenangi tender penjualan tanker raksasa milik Pertamina. Hal itu karena Essar dan OSG tidak diberi kesempatan yang sama untuk memasukkan penawaran ketiga.
Sebenarnya, Direktur Utama Pertamina menanyakan kemungkinan memberikan kesempatan kepada Essar dan OSG untuk memasukkan penawaran ketiga. Namun, Goldman Sachs memberikan jawaban, apabila hal tersebut dilakukan, maka tidak cukup waktu untuk menyelesaikan tender ini sampai pertengahan Juni 2004. Goldman Sachs juga menyatakan, penawaran ketiga dari Frontline adalah penawaran optimal yang dapat diterima Pertamina.
Tindakan tersebut juga telah menghilangkan kesempatan untuk memperoleh harga penjualan yang lebih tinggi sehingga tindakan itu menghambat persaingan usaha, yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
KEPUTUSAN KPPU ternyata tidak diterima begitu saja oleh mereka yang divonis telah bersekongkol. Pihak Pertamina sendiri masih mengumpulkan informasi untuk menentukan tindakan yang akan diambil sesuai dengan keputusan KPPU.
Frontline secara tegas menyatakan menolak keputusan KPPU. Menurut Frontline, dokumen penawaran yang mereka lakukan merefleksikan harga pasar tanker raksasa saat itu.
Pada awal Juni 2004, Goldman Sachs sudah menyatakan bahwa Frontline masuk dalam kategori shortlisted bidder berdasarkan kajian dari dokumen penawaran yang ada. Frontline melakukan finalisasi pembelian sesuai dengan kesepakatan yang disiapkan Goldman Sachs akhir Juni 2004. Dan, Pertamina menerima penawaran itu sebagai penawaran tertinggi.
Frontline juga membantah adanya pernyataan bahwa pihaknya memiliki kontak langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan Pertamina dalam hal penjualan tanker. Perusahaan yang berbasis di Bermuda itu juga menegaskan bahwa proses tender yang mereka ikuti bersih dan profesional.
Penolakan atas keputusan KPPU juga dilayangkan pihak Goldman Sachs, yang mengatakan keputusan tersebut tidak berdasar dan tidak konsisten dengan fakta yang terjadi selama proses penjualan serta konsep hukum yang mengaturnya. Dalam siaran persnya, Goldman Sachs menyebutkan, penjualan tanker itu telah dilakukan secara adil, transparan, dan konsisten dengan standar bisnis internasional.
Sebagai penasihat keuangan Pertamina, evaluasi yang dilakukan menunjukkan penawaran Frontline merupakan pilihan terbaik. Tidak ada dasar untuk menyatakan adanya kolusi oleh Goldman Sachs dengan para penawar, sehingga secepatnya akan melakukan banding.
Ketua KPPU Sutrisno Iwantono menganggap wajar jika pihak terhukum menolak. Namun, ia mengingatkan bahwa keputusan tersebut dibuat berdasarkan fakta dan informasi yang sebagian diperoleh dari para terhukum.
Keputusan KKPU antara lain mempertimbangkan kerugian negara, di mana harga pasar tanker pada saat dijual berkisar 90 juta dollar AS, tetapi waktu pembuatannya berkisar dua sampai tiga tahun. Oleh karena itu, harga tanker yang bisa langsung dipergunakan itu lebih tinggi lagi.
Harga saat itu (present value) dari tanker raksasa berdasarkan return on investment hasil kajian Japan Marine adalah sebesar 11,83 persen atau sekitar 20 juta dollar AS sehingga harga pasar per tanker raksasa milik Pertamina adalah sekitar 110 juta dollar AS. Akan tetapi, berdasarkan artikel dari TradeWinds (http://www.tradewinds.no per tanggal 14 Juni 2004), harga pasar VLCC saat itu adalah 102 juta dollar AS.
Menurut ahli yang dimintai keterangan, harga VLCC pada saat itu berkisar 105 juta dollar AS hingga 120 juta dollar AS, sehingga dengan penjualan dua unit milik Pertamina sebesar 184 juta dollar AS, terdapat potensi kerugian negara sekitar 20 juta dollar AS hingga 56 juta dollar AS.
Selain itu, dalam pemeriksaan, KPPU juga menemukan bukti bahwa Pertamina melakukan diskriminasi dengan menunjuk langsung Goldman Sachs sebagai financial advisor dan arranger untuk proses penjualan tanker tersebut. Proses penunjukan Goldman Sachs disebut tidak lazim.
Alasan KPPU, dilakukan dalam waktu relatif singkat hanya dua minggu. Penunjukan juga tanpa melalui beauty contest sebagaimana lazimnya dijalankan Pertamina dalam upayanya untuk mencari jasa konsultan selama ini.
Dalam penyelidikan, KPPU juga menemukan fakta bahwa Frontline belum membayar secara penuh kepada Pertamina sebesar 184 juta dollar AS. Frontline baru membayar sebesar 170,863 juta dollar AS. Dengan demikian, terdapat selisih 13,137 juta dollar AS atau sekitar Rp 118,233 miliar.
Akan tetapi, lepas dari keputusan KPPU dan penolakan dari yang tertuduh, perlu disadari bahwa KPPU menjalankan tugasnya berlandaskan UU No 5/1999. KPPU diberikan wewenang besar untuk mengeliminasi praktik usaha tidak sehat, yang menghambat persaingan efektif, sebab melemahnya persaingan akan mengganggu ekonomi pasar dan memasung kebebasan konsumen untuk memilih.
Namun, pelaksanaan UU No 5/1999 bukan semata menguntungkan kalangan konsumen saja, tetapi juga menguntungkan para pelaku usaha karena memungkinkan mereka menikmati ekonomi pasar bebas. (BUYUNG WIJAYA KUSUMA)
Sumber: Kompas, 7 Maret 2005