KPK+Jaksa+Polisi= Mampukah Berantas Korupsi? [05/08/04]

Skandal-skandal korupsi yang berkepanjangan mengecewakan hati rakyat. Perlawanan rakyat atau kudeta dapat saja muncul kembali di beberapa negara. Partai-partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya dan kian dikutuk oleh warga yang ingin menjauhkan diri dari pengambilan keputusan politik. Tatkala partai politik-partai politik ditinggalkan, demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh.

Kalimat-kalimat keras di atas merupakan peringatan Dr Oscar Arias Sanchez, penerima hadiah Nobel dari Kosta Rika yang tertuang pada catatan pengantarnya dalam buku Pembangunan Sistem Integritas Nasional yang ditulis Jeremy Pope.

Peringatan pedas Sanchez itu rasanya sangat tepat dengan suasana pemberantasan korupsi di Indonesia. Rezim Soeharto yang dituduh telah melakukan korupsi besar-besaran dan membangkrutkan negara ini berhasil ditumbangkan oleh gerakan reformasi. Namun, kenyataannya, meski rezim telah berganti dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri, toh korupsi malah semakin mengakar. Bahkan, di era otonomi daerah, korupsi telah menjalar ke hampir seluruh lini kehidupan negeri ini. Transparency International tetap menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup.

Elite Indonesia di era reformasi ini bukannya tidak menyadari akan bahaya dari virus korupsi ini. Kesadaran akan bahaya korupsi itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Di bawah ini, sedikit kutipan soal spirit elite politik Indonesia dalam memberantas korupsi.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara maupun dari segi kualitas.... Maka, tindak pidana korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Begitu pula dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Kalau melihat kalimat-kalimat itu, harapan akan munculnya Indonesia yang bersih tidak lagi sebuah utopia. Kalimat demi kalimat yang tertuang di dalam UU KPK itu menunjukkan adanya semangat keras untuk memerangi korupsi. Namun, betapa pun indahnya kalimat yang memberi harapan itu, toh pada realitasnya korupsi tetap saja terjadi di mana-mana.

Di era reformasi ini telah terjadi demokratisasi korupsi. Korupsi yang semula tersentralisasi pada elite-elite kekuasaan di era Orde Baru kini telah merata dari pusat hingga ke daerah, dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Praktik korupsi menjadi pemandangan umum, tak cuma dilakukan oleh pejabat, melainkan oleh para pegawai di level bawah. Korupsi kini telah menjadi perbuatan biasa yang jamak dilakukan semua orang.

KEJAHATAN luar biasa itu harus diatasi secara luar biasa. Sepenggal kalimat yang memberikan harapan akan munculnya Indonesia yang bersih terasa janggal ketika menyaksikan kelahiran KPK, yang justru baru dibentuk satu satu tahun kemudian. Sebuah logika yang sangat janggal.

Kejanggalan soal komitmen elite politik terhadap pemberantasan korupsi semakin terlihat. Kalau secara seksama diperhatikan, lembaga pemberantas korupsi yang punya segudang kewenangan besar ini tak bisa berkutik saat penguasa tak bergeming dengan perintah KPK.

Sebutlah perintah penonaktifan yang dikeluarkan oleh KPK agar Presiden selaku atasan memberhentikan sementara Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh. Puteh kini sedang diperiksa KPK terkait dengan dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian helikopter MI-2 buatan Rostov Rusia. Perintah penonaktifan telah dilayangkan KPK sesuai dengan kewenangan yang dimiliki KPK dalam Pasal 12 Huruf e UU Nomor 30 Tahun 2002. Namun, kejanggalan komitmen elite politik terlihat dengan tidak adanya sanksi jika perintah tersebut tidak jalankan.

Dan, kejanggalan komitmen penguasa itu semakin terlihat ketika Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak menjawab soal perintah KPK untuk memberhentikan sementara Puteh. Instruksi Presiden itu hanya mengatur soal pengalihan tugas Puteh sebagai Gubernur NAD saat diperiksa KPK dan pengalihan tugas Puteh sebagai PDSD. Sama sekali tidak disinggung soal penonaktifan.

Jika kilas balik kelahiran KPK, saat itu diharapkan lahir sebuah lembaga baru yang bisa menjadi darah segar dari pemberantasan korupsi di negeri ini. Harapan baru ini lahir karena adanya kekecewaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum konvensional, kejaksaan dan kepolisian, dalam menangani kasus-kasus korupsi. Kedua lembaga penegak hukum konvensional ini telah mendapat cap sebagai lembaga penegak hukum yang mudah dibeli. Praktik perdagangan perkara menjadi pemandangan umum yang kerap terjadi di kedua lembaga itu.

Cap ini bukanlah slogan kosong. Sepanjang tahun 2003, sejumlah perkara korupsi yang telah disidik kejaksaan bukannya dilimpahkan ke pengadilan, melainkan justru dihentikan penyidikannya. Terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) menjadi sebuah kebiasaan yang sebenarnya amat mengganggu rasa keadilan. SP3 yang terakhir dikeluarkan Kejaksaan Agung dan dirasakan telah merobek rasa keadilan masyarakat adalah SP3 Sjamsul Nursalim.

Banyak kalangan mengecam tindakan Kejaksaan Agung yang justru memberi kado bagi Sjamsul Nursalim pada peringatan HUT Adhyaksa ke-44 pertengahan Juli 2004. Namun, toh, Kejaksaan Agung tetap tak menggubris. Jaksa Agung MA Rachman berargumen Syamsul Nursalim telah mengantongi surat keterangan lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kebijakan yang dikeluarkan dengan dasar Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Wajah kepolisian pun sama juga. Dalam sebuah seminar di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) awal Maret 2004 (Kompas, 4/3) mencuat hasil penelitian 147 mahasiswa PTIK yang dilakukan di 19 wilayah Kepolisian Daerah se-Indonesia yang dipaparkan dalam seminar itu. Rangkuman hasil penelitian itu menyebutkan, ada dua klasifikasi korupsi di lingkungan Polri, yakni korupsi internal dan eksternal.

Korupsi internal terjadi ketika jual beli jabatan, korupsi pada penerimaan polisi, serta menyangkut pendistribusian dana kepolisian. Korupsi eksternal yang dilakukan instansi kepolisian mulai terlihat dari praktik polisi jalanan hingga praktik dalam penanganan perkara.

Tak heran kelahiran KPK sungguh-sungguh diharapkan menjadi darah segar dan menjadi lembaga pendorong/pemicu (trigger institution) bagi kejaksaan dan kepolisian untuk serius memberantas korupsi. Dengan KPK diharapkan diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi tidak terjadi lagi.

Gary Spencer dan Robert Spiro (advokat terkenal yang membela kasus OJ Simpson) dalam buku yang berjudul With Justice for None secara sinis mengkritik ketidakadilan hukum di AS, yang ternyata tidak mampu menjerat kalangan tertentu di AS termasuk pejabat publik dan konglomerat.

Bahkan, Prof Dr Marc Galanter menyatakan, pada akhirnya dalam menghadapi perkara di pengadilan selalu saja terjadi the haves come out ahead karena hanya the haves (yang juga memiliki kekuasaan dan materi) yang dapat bertindak selaku repeat player yang mampu bermain dengan peraturan dan membuat sengketa sebagai suatu test-case yang dapat membantu mereka.

Keberadaan KPK membuat penanganan kasus-kasus korupsi tidak lagi terpusat di lembaga-lembaga penegak hukum konvensional, kejaksaan dan kepolisian. Kini ada tiga lembaga yang menangani kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi, yakni KPK, kejaksaan, dan kepolisian.

Jika mengacu pada UU No 30/2002, perkara-perkara yang dapat ditangani KPK adalah perkara-perkara di atas Rp 1 miliar. Selanjutnya, perkara yang diselidiki, disidik, dan dituntut oleh KPK ini akan diadili di pengadilan khusus, pengadilan ad hoc korupsi.

Namun, pada realitasnya, toh tak semua kasus Rp 1 miliar ditangani oleh KPK. Masih banyak kasus-kasus lain yang ditangani oleh kedua lembaga penegak hukum konvensional tersebut. Bahkan, terkesan kuat kedua lembaga penegak hukum konvensional ini enggan menyerahkan kasus-kasus korupsi di atas Rp 1 miliar yang sedang ditanganinya.

Guru besar hukum pidana Universitas Krisnadwipayana Dr Indriyanto Seno Adji mencontohkan penanganan kasus-kasus dugaan korupsi yang melibatkan Gubernur NAD Abdullah Puteh. Perkara Puteh ada yang ditangani oleh KPK, Mabes Polri untuk kasus pengadaan genset, dan beberapa perkara ditangani Kejaksaan Tinggi NAD.

Selaku lembaga pemberantas korupsi yang sangat diharapkan masyarakat, KPK seharusnya bersikap tegas dan menghilangkan rasa ewuh pakewuh, termasuk mengambil alih semua kasus yang subyek hukum dan pelakunya sama. Memang kendala penegakan hukum yang dilakukan oleh tiga lembaga ini telah mengakibatkan munculnya arogansi institusional, masing-masing merasa punya kewenangan. Lembaga penegak hukum konvensional merasa tersaingi dengan kehadiran KPK ini, jelas Indriyanto.

Implikasi dari penanganan korupsi oleh ketiga lembaga ini adalah adanya disparitas dalam penanganan kasus korupsi. Jika penanganan korupsi di KPK tidak mengenal istilah terbitnya SP3, tetapi penanganan korupsi di kedua lembaga penegak hukum konvensional bisa saja terjadi praktik main mata yang berujung dengan terbitnya SP3. Argumen pun dibuat sedemikian rupa sehingga seolah mengesahkan kebijakan SP3 itu. Praktik main mata pun bisa terjadi ketika perkara itu dilimpahkan ke pengadilan.

Jika perkara-perkara korupsi yang ditangani KPK dilimpahkan ke pengadilan ad hoc korupsi dan harus diselesaikan dalam waktu 90 hari, penanganan perkara-perkara korupsi yang ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian dilimpahkan ke pengadilan biasa.

Artinya, meski perkara yang ditangani KPK memiliki nilai kerugian negara jauh lebih kecil, pelaku tindak pidana korupsi harus bersiap-siap menghadapi persidangan di pengadilan ad hoc korupsi yang sudah pasti mendapat perhatian lebih besar dari masyarakat.

Adapun perkara yang ditangani oleh lembaga penegak hukum konvensional boleh jadi memiliki kerugian negara jauh lebih besar, tetapi pelaku tindak pidana korupsi akan disidangkan di pengadilan umum. Dan, dengan praktik perdagangan perkara yang kerap terjadi, bisa jadi para pelaku tindak pidana korupsi bisa lolos dari jeratan hukum.

Indriyanto menambahkan, meski KPK memiliki kewenangan supervisi dan koordinasi terhadap kasus-kasus yang ditangani kejaksaan dan kepolisian, hal itu tidaklah efektif karena munculnya sikap arogansi institusi.

Kedua lembaga penegak hukum itu bisa jadi merasa bukan subordinasi KPK sehingga penanganan kasus korupsi tetap menggunakan pola lama. Solusinya, untuk kasus-kasus yang subyek hukum dan pelakunya sama, KPK harus berani ambil alih. Karena supervisi itu cuma menjadi kewenangan simbolik KPK, atau bisa dibilang kewenangan macan ompong, tegas Indriyanto.

Supervisi bisa menjadi sebuah kewenangan yang tidak efektif bila dari pihak-pihak lain, terutama kejaksaan dan kepolisian, tidak memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi. Kewenangan KPK yang lain untuk melakukan upaya penguatan kelembagaan mustahil bisa dilakukan jika arogansi institusi muncul.

Upaya yang kerap luput dari perhatian adalah pemberdayaan masyarakat (empowering community). Keberhasilan masyarakat dalam mengungkap kasus-kasus korupsi terlihat jelas ketika masyarakat Sumatera Barat berhasil menyeret ke penjara para anggota DPRD Sumatera Barat yang akhirnya dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Sumatera Barat.

Keberhasilan masyarakat ini dilakukan bersama-sama dengan komitmen yang kuat dari aparat penegak hukum setempat, seperti Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat.

Kejati Sumatera Barat menjadi barometer pemberantasan korupsi terhadap korupsi kelembagaan yang terjadi. Kalau kasus Sumatera Barat ini bisa menjadi bola salju dan diikuti oleh daerah-daerah lain, maka masyarakat setempat tidak perlu membawa kasus korupsi di daerah ke KPK. Kondisi sekarang persoalannya, masyarakat sering kali merasa sudah kecewa terhadap penanganan kejaksaan dan kepolisian setempat, jelas Indriyanto.

Pemberantasan korupsi di Indonesia selalu ditangani secara parsial, terutama dengan membentuk sebuah lembaga baru yang punya kewenangan super. Kerap kali jika lembaga yang dibentuk ini telah menunjukkan prestasinya, cepat atau lambat kebijakan untuk memberangus lembaga tersebut akan muncul.

Mengutip kritik dari Prof Stephen Rosoff dari University of Houston-Clear Lake dalam bukunya Profit Without Honor tentang korupsi, all illegal acts are not necessarily corrupt and all corrupt acts are not necessarily illegal. Tak semua perbuatan korupsi itu adalah perbuatan ilegal. (VINCENTIA HANNI S)

Tulisan ini diambil dari Kompas 5 Agustus 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan