KPK VS POLRI; Nama Baik Presiden Dipertaruhkan

Kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung dinilai bisa mencoreng nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kisruh ini tidak lagi sekadar masalah hukum, tetapi sudah menjadi masalah politik.

Hal itu disampaikan profesor politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris; Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy; dan guru besar kajian ilmu kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar.

”Masalah ini tidak lagi masalah hukum karena fakta-faktanya sudah sangat terang benderang. Mestinya pada kesempatan pertama Presiden mencopot Jaksa Agung dan Kapolri. Ini bukan hanya soal tuntutan mundurnya Susno, Wisnu, dan Ritonga,” kata Syamsudin.

Sahetapy juga mengatakan hal senada. ”Fakta hukum dalam rekayasa kasus Bibit dan Chandra dan pelemahan KPK sudah merupakan hal yang tak bisa dibantah lagi,” katanya.

Menurut Syamsudin, Kejagung dan Polri adalah lembaga di bawah Presiden. ”Presiden menjadi kunci dari semua masalah ini. Kepolisian dan kejaksaan tak mungkin bertindak seperti sekarang jika ada komitmen yang sungguh-sungguh dari Presiden,” katanya.

Sahetapy mengatakan, nama Presiden dipertaruhkan dalam kisruh ini. ”Sejak awal saya sudah menyampaikan Presiden tak perlu membentuk Tim Independen. Semua sudah jelas, sekarang tinggal ketegasan sikap,” ucapnya.

Ambil alih
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Petrus Selestinus meminta KPK mengambil alih penanganan kasus Anggodo Widjojo dari Polri karena polisi dan kejaksaan dinilai tidak cukup memiliki legitimasi dan kredibilitas. Selain itu, KPK juga diminta mengusut keterlibatan Susno Duadji dan AH Ritonga.

Anggodo, Susno, dan Ritonga, lanjutnya, dapat disidik dalam sebuah perkara sendiri. Mereka dapat saja diduga berada dalam rangkaian upaya penggagalan penyidikan kasus korupsi KPK.

Sementara itu, Kepala Divisi Korupsi dan Peradilan Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Hasrul Halili mengkritisi sikap Polri yang enggan menetapkan Anggodo sebagai tersangka dengan alasan belum cukup bukti. Langkah itu mengundang kecurigaan. Polisi bersikap konservatif dalam menangani Anggodo, tetapi terkesan sangat progresif dalam menangani kasus Chandra dan Bibit. Ia menduga ada nilai strategis yang cukup signifikan sehingga Anggodo tidak ditetapkan sebagai tersangka.

Oleh karena itu, Hasrul meminta agar kasus ini tidak dilokalisasi hanya terkait rekaman pembicaraan telepon. Kasus itu dapat merembet ke mana-mana.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, lembaganya tengah mempertimbangkan untuk melakukan supervisi dan koordinasi terhadap penanganan kasus Anggodo. Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. ”Kami tak bisa begitu saja masuk ke kasus yang tengah ditangani kepolisian. Yang bisa kami lakukan adalah memberi supervisi dan koordinasi,” katanya.

Febri Diansyah, peneliti hukum Indonesian Corruption Watch, mengatakan, KPK harus didorong untuk menangkap Anggodo dengan pasal percobaan penyuapan. ”Pasal 5 Ayat 1 jo Pasal 15 UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 bisa digunakan KPK untuk menjerat Anggodo,” katanya.

Sementara hakim konstitusi Akil Mochtar menilai Presiden seharusnya secara resmi mengadukan pencatutan namanya oleh Anggodo ke kepolisian sehingga polisi punya cukup bukti untuk menahan Anggodo. ”Presiden dapat mengadukan Anggodo dengan sangkaan telah melakukan penipuan, perbuatan tidak menyenangkan, atau pencemaran nama baik,” kata Akil.

Berantas mafia
Presiden Yudhoyono menetapkan pemberantasan mafia hukum sebagai salah satu dari 15 program pilihan yang akan dilakukan pemerintah dalam 100 hari pertama pemerintahannya.

”Yang saya sebut dengan mafia berkaitan dengan hukum adalah mereka yang melakukan berbagai kegiatan yang merugikan, misalnya makelar kasus, suap-menyuap, pemerasan, jual-beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan yang tidak semestinya, dan sebagainya. Di samping merusak rasa keadilan dan kepastian hukum, juga menimbulkan kerugian material bagi mereka yang menjadi korban dan mendatangkan keuntungan yang tidak halal, yang tidak legal, bagi mereka yang menjalankan kegiatan mafia itu,” ujar Presiden.

Presiden menyerukan kepada rakyat Indonesia yang merasa menjadi korban mafia untuk melaporkan melalui PO Box 9949 Jakarta 10000. (AIK/ANA/NWO/DAY/DWA/HAR)

Sumber: Kompas, 6 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan