KPK Versus MA; MA dan KPK Sangat Dipengaruhi Suasana Ketatanegaraan

Kontroversi antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif bukan monopoli semata kehidupan hukum di Indonesia.

Institusi kenegaraan independen penegakan hukum mengalami hal serupa manakala pembersihan terhadap institusi kenegaraan merupakan awal siklus rutin dari masyarakat yang responsif atas buruknya penegakan hukum.

Menjamurnya korupsi kelembagaan merupakan arah penegakan hukum yang perspektif. Korupsi kelembagaan ini tidak diartikan sebagai bentuk legitimasi lembaga terhadap perbuatan koruptif, tetapi lebih kepada penyimpangan tindakan kolektif terhadap aneka kebijakan negara yang merugikan keuangan atau perekonomian negara sehingga memberi beban kontaminasi terhadap kelembagaan negara itu. Korupsi sudah menyebar dan merata di kalangan institusi pemerintahan, kenegaraan maupun swasta. Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Individual corruption sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal.

Perkara dugaan korupsi Probosutedjo merupakan cerminan arah baru penegakan hukum yang menimbulkan pro-kontra dalam menyikapi kehendak solusi hukum yang baik, khususnya sewaktu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap beberapa dokumen yang berada di ruang kerja Ketua Mahkamah Agung (MA). Di satu sisi, tindakan KPK dianggap sebagai momentum baru pembersihan MA sebagai hulu tertinggi institusi penegakan hukum terhadap lembaga yudisial secara komprehensif atas praktik suap-menyuap yang menjadi karakteristik kultur penegakan hukum itu sendiri, tetapi di sisi lain tindakan KPK dianggap melecehkan lembaga tertinggi yudikatif sebagai lembaga independensi peradilan yang harus dijaga kehormatan dan karismatisnya.

Independensi dalam proses penegakan hukum merupakan suatu wacara yang imperatif sifatnya. Lord Elwyn-Jones (mantan Labour Lord Chancellor) mengkritisi intervensi secara proses dan substansial terhadap independency of judiciary dengan menyatakan bahwa in Nazi Europe and the Fascist countries before the War, the authoritarian regime’s first victims were the independence of the judiciary and the independence of the legal profession.

Bahkan, Lord Dening, seorang hakim Court of Appeal Inggris yang karismatis, menegaskan bahwa melewati 30 tahun integritas para Hakim have become increasingly cautious about what they have seen as assaults on their privileges and positions. The assaults were on the institution of the judiciary.

Intervensi
Gangguan, serangan, dan intervensi terhadap institusi peradilan itu begitu menguatnya sehingga pola intervensi dikemas dalam bentuk tahapan-tahapan secara proses pra-ajudikasi yang meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain, kesemua ini memberikan arah seolah adanya suatu justifikasi yang berlindung di balik prinsip legalitas.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sarana pembentukan hukum itu sendiri, khususnya yang berhasil melakukan pola minimalisasi terhadap perkembangan korupsi sebagai penyakit akut dalam sistem ketatanegaraan, pula kajian sosiologis atas menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum yang ada (Polri dan Kejaksaan Agung), lahirlah KPK sebagai trigger mechanism dari institusi independen yang dapat memberdaya atas skeptisme publik terhadap lemahnya institusi penegakan hukum yang sudah ada. Sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan sangat luar biasa atau extraordinary power yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.

Karena itu, menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan yang luar biasa dari KPK tersebut. Dengan kewenangan sangat luar biasa yang dimiliki KPK, diharapkan pula segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat dijadikan suatu bagian tatanan pemberantasan korupsi. Namun, kewenangan sangat luar biasa yang dimiliki KPK haruslah diselaraskan dengan tata cara norma legislasi mengingat kedua lembaga Negara ini memiliki hubungan esensial sebagai institusi penegak hukum dari Sistem Peradilan Pidana. MA dan KPK merupakan lembaga negara penegak hukum, sangat dipengaruhi dengan suasana ketatanegaraan. Menurut CF Strong dalam A History of Modern Political Constitution, separation of power dalam bentuk asli dan interpretasi ekstrem telah lama ditinggalkan. Bahkan, International Commission of Jurist dalam menyikapi hubungan antara lembaga negara penegak hukum menekankan bahwa there is some degree of co-operation (or at least: consultation) between the Judiciary and the authority actually making the appointment. Terlihat upaya paksa (dwang middelen) berupa penangkapan, penahanan, dan termasuk penggeledahan dan penyitaan secara doktrinal, dari penegak hukum terhadap MA harus mendapat persetujuan presiden sebagai kepala negara.

Ini adalah bentuk penghargaan dan penghormatan MA sebagai top function dari independence of judiciary. Pandangan ini mendekatkan diri atas introdusi dari distribution of power, ada suatu bentuk kerja sama kelembagaan penegak hukum, dan tidak diterjemahkan secara ekstrem sebagai kekuasaan yang absolut, meski KPK memiliki kewenangan sangat luar biasa sehingga interpretasi kewenangan ini tidak disikapi dengan melanggar norma legislasi, seperti penyitaan dokumen bersifat rahasia atau tata secara proses lainnya, yang akan berakibat menjadi tindakan nonvaliditas KPK. Sikap keterbukaan Ketua MA tidaklah diartikan sebagai implementasi atas interpretasi ekstrem kewenangan yang terkesan eksesif sifatnya.

Pengamat praktisi
Perbedaan pendapat di kalangan pengamat praktisi, akademisi maupun kelembagaan peradilan, baik yang pro dan kontra mengenai penggeledahan ruang kerja Ketua MA haruslah dianggap sebagai wacara demokratisasi yang menghargai perbedaan opini. Akan menjadi bijak apabila KPK tidak memahami kewenangannya dalam konsep kekuasaan, karena opini yang demikian akan menimbulkan kekuasaan otoriter yang permisif. Sikap nonsinergitas KPK terhadap lembaga kenegaraan lainnya dalam melakukan pemberantasan korupsi, khususnya perkara Probosutedjo, adalah voorportaal (gerbang terdepan) membuka tabir segala kompleksitas korupsi kelembagaan, sepanjang dalam konsepsi benar dari Due Process of Law.

Indriyanto Seno Adji Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum

Tulisan ini diambil dari Kompas,14 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan