KPK Usut Aspek Korupsi Pembalakan Liar
Komisi Pemberantasan Korupsi sedang mengusut aspek korupsi di balik kasus pembalakan liar (illegal logging) yang marak, khususnya di Kalimantan dan Papua.
Petunjuk korupsinya sudah ada, kata Ketua Komisi Taufiequrachman Ruki di Jakarta, Rabu (22/2).
Ruki mengaku, dirinya sudah bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membahas soal korupsi di balik pembalakan liar ini pada Selasa (22/2). Presiden sendiri, menurut dia, sudah membentuk gugus tugas khusus yang melibatkan berbagai instansi untuk mengusut tindak pidana pembalakan liar.
Kami mengurus dugaan aspek korupsinya, kata Ruki. Namun, dia mengaku belum bisa menjelaskan panjang-lebar sejauh mana Komisi telah mengusut aspek ini. Kami baru mengumpulkan datanya. Pembalakan liar kini sudah bergeser dari Kalimantan ke Papua.
Indikasi kasus korupsi dalam kasus illegal logging terkait dengan adanya kerugian negara. Akibat penebangan kayu dilakukan secara ilegal, pemerintah tidak mendapat pemasukan dari dana provisi sumber daya hutan, dana reboisasi, dan iuran hasil hutan. Selain itu, pemerintah tak mendapatkan pajak dari perusahaan pengelola hutan, termasuk ketika kayu tersebut diselundupkan ke luar negeri.
Kerugian lain yang harus ditanggung adalah kerusakan lingkungan karena gundulnya hutan. Menurut LSM Telapak, hilangnya hutan langsung mempengaruhi sumber penghidupan bagi penduduk di lingkungan sekitarnya. Hilangnya hutan juga diikuti maraknya kebakaran, tanah longsor, dan banjir. Penebangan liar juga mengancam eksistensi banyak spesies hewan dan tumbuhan yang terancam punah.
Menurut Menteri Kehutanan M.S. Kaban, Indonesia mengalami kerugian Rp 30-45 triliun per tahun akibat penebangan kayu secara ilegal. Kalkulasi kerugian dengan perkiraan hilangnya kayu akibat pencurian 50-60 juta meter kubik per tahun. Dalam kasus penebangan liar dan penyelundupan kayu di Papua saja, menurut hasil investigasi Environmental Investigation Agency (IEA) dan Telapak, pemerintah menderita kerugian hingga triliunan rupiah per tahun akibat penyelundupan kayu merbau 300 ribu meter kubik setiap bulan.
Dari Papua, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Marthen Kayoi mengakui, kemampuannya masih sangat terbatas dalam menangani kasus penyelundupan kayu, khususnya jenis merbau di Papua. Menurut dia, luasnya wilayah Papua menyulitkan pihaknya melakukan pengawasan terhadap berbagai aksi penyelundupan dan pembalakan liar. Apalagi ada kesenjangan ekonomi yang menjadi pendorong masyarakat pemilik hak ulayat adat menjual kayu ke pengusaha.
Di sisi lain, kata Marthen, terjadinya penyelundupan kayu dan pembalakan liar di Papua disebabkan adanya peluang pasar, baik di Indonesia maupun luar negeri. Kayu jenis merbau yang berharga mahal dan banyak tumbuh di hutan Papua menarik bagi para pengusaha. Dengan berbagai cara, mereka masuk Papua, baik secara ilegal maupun legal.
Marthen mengakui, hingga saat ini belum ada evaluasi berapa luas hutan Papua setelah adanya pembalakan liar tersebut. Menurut dia, berdasarkan data yang ada, luas hutan Papua seluruhnya mencapai 40,5 juta hektare setelah dikurangi wilayah perairan. Sebelum saya sekolah kehutanan sampai saya lulus dan menjadi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi, bahkan sampai saat ini, data luas hutan Papua masih seperti itu, kata Marthen.
Untuk itu, pihaknya akan melakukan perhitungan kembali berapa sesungguhnya luas hutan Papua saat ini. Selain itu, pihaknya akan memperbaiki dokumen pengelolaan hutan, termasuk membuat perencanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan, pengembangan industri perkayuan, mendesain ulang hak pengelolaan hutan. Dokumen ini penting untuk pengendalian.
Mengapa Kayu Merbau Diburu?
Tren pembalakan liar telah beralih ke Papua. Itu tak mengherankan karena di provinsi paling timur Indonesia itu ada satu jenis kayu yang berharga, karena itu amat diburu: merbau. Di Indonesia, jenis ini hanya ditemui di Papua dan sedikit di Sumatera.
Di dunia, kayu yang hidup di dataran rendah ini hanya ditemukan di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Merbau olahan yang diperdagangkan di dunia berasal dari Papua.
Ini kayu mahal yang diolah sebagai bahan bangunan mewah, jalan penghubung, lantai, perabotan luar ruang, balok, dan lemari. Harganya berkisar US$ 200 per meter kubik untuk kayu bulat dan US$ 450-600 untuk kayu gergajian ekspor.
Mahalnya harga kayu ini telah mendorong para pembalak menggasaknya. Data yang dihimpun Telapak menunjukkan volume ekspor kayu ini mengalami peningkatan besar-besaran. Jika pada 1998 cuma 50 ribu meter kubik, pada 2001 naik menjadi 660 ribu meter kubik.
Akibat eksploitasi tak terkendali, merbau Indonesia digolongkan spesies yang terancam punah oleh Pusat Monitoring Konservasi Dunia (WCMC). bagja hidayat/cunding levi/lita oetomo
Sumber: Koran Tempo, 25 Februari 2005