KPK Terima Laporan Dugaan Korupsi Proyek Ladia Galaska [30/06/04]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), terkait dengan dugaan korupsi yang terjadi dalam kasus proyek pembangunan jalan Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka (Ladia Galaska).

Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengungkapkan hal tersebut usai berbicara dalam diskusi bertema Aceh, Ladia Galaska, dan Korupsi, di Jakarta, kemarin.

Informasi masukan kepada KPK, diterima setelah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada 23 Juni lalu mengadakan pertemuan dengan KPK. Dalam pertemuan tersebut, diungkapkan berbagai kecurangan yang terjadi pada proyek Ladia Galaska.

Beberapa indikasi korupsi tersebut, menurut Erry, berupa anggaran yang saling tumpang tindih dalam pembiayaan Ladia Galaska. Dalam laporan Walhi itu, disebutkan ada anggaran yang diambil dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) secara bersamaan, paparnya.

Namun begitu, hingga kini KPK belum dapat membuktikan kemungkinan dugaan tersebut. Sekarang, proses yang dilakukan KPK antara lain adalah menerima sebanyak mungkin masukan dari masyarakat terkait pembangunan Ladia Galaska.

Menurut Erry, masih diperlukan bukti yang kuat dan mendukung kesimpulan dugaan korupsi tersebut. Sebab, terangnya, yang baru terlihat dalam dokumen itu adalah pelanggaran masalah lingkungan hidup. Kita akan meneliti dengan cermat, katanya.

Proses penelusuran yang akan dilakukan KPK, terangnya, akan membuka peluang bagi masukan masyarakat. Partisipasi dan kontrol publik, sambungnya, menjadi bagian dalam pengawasan kasus korupsi.

Kontroversi
Sementara itu, kontroversi pembangunan jalan Ladia Galaska yang melintasi Kawasan Ekosistem Gunung Leuser masih terus berlanjut. Posisi pemerintah hingga kini belum satu suara, bahkan terbagi dalam dua sikap berbeda.

Direncanakan, keputusan final atas keberlanjutan pembangunan jalan itu akan diambil pada sidang kabinet terbatas. Pertemuan lintas sektoral tersebut akan melibatkan Menteri Kehutanan, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), Menteri Lingkungan Hidup (LH), dan Presiden.

Menteri LH Nabiel Makarim mengatakan hal tersebut dalam acara yang sama di Jakarta, kemarin. Wacana pro dan kontra juga terjadi di kabinet dan akan dibicarakan komprehensif, katanya.

Meski tidak dapat mengatakan kapan jadwal tersebut akan dilaksanakan, namun Nabiel mengharapkan resolusi yang dihasilkan akan membawa solusi yang terbaik bagi kepentingan ekologi dan masyarakat Aceh.

Kendati begitu, lanjut Nabiel, pembangunan Ladia Galaska sebenarnya memiliki dampak dalam dua level yang berbeda. Pertama, bila proyek tersebut dilanjutkan maka masa depan orang Aceh akan suram, sebab mereka terpinggirkan dari kedudukannya.

Selain itu, jika jalan yang semula ditujukan untuk membuka isolasi masyarakat tersebut dilaksanakan tanpa mendengar tanggapan publik, akan menjadi sebuah preseden buruk terhadap persoalan lingkungan secara nasional di masa mendatang.

Lebih lanjut, Nabiel mengungkapkan melalui ratifikasi Protokol Kyoto yang baru disahkan DPR, sebenarnya pembangunan jalan Ladia Galaska akan mempersulit kepentingan pemerintah untuk mendapat dana kompensasi nonutang atas carbon trading.

Menyoal tanggapan pihak kepolisian yang mengaku kesulitan meneruskan sanksi pidana masalah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek Ladia Galaska (Media, 23/6), Nabiel berpendapat hal itu telah jelas terbukti salah.

Keberadaan Amdal bagi proyek Ladia Galaska, sebutnya, melanggar UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Banyak yang tidak benar dalam penerbitan Amdal itu, tukasnya. Kerancuan itu, jelasnya, Amdal yang ada dikeluarkan sesudah proyek berjalan, selain itu tidak sesuai peruntukan dan berada di kawasan lindung.

Berdasarkan kajian pihaknya, ungkap Nabiel, dasar rancangan jalan itu dikonstruksikan tanpa konsep yang jelas dan terencana. Studi kelayakan proyeknya sendiri tidak ada, imbuhnya. Karena itu, dia menolak diteruskannya pembangunan jalan tersebut. (YD/V-2)

Sumber: Media Indonesia, 30 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan