KPK Temukan Indikasi Korupsi Penempatan Tenaga Kerja

Pengawasan belum optimal dan harus ditingkatkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 11 penyimpangan sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia, di antaranya indikasi korupsi melalui praktek suap dalam pengurusan dokumen calon tenaga kerja.

Nilainya tidak cukup signifikan, tapi tergolong korupsi, kata Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam jumpa pers di kantor KPK, Kuningan, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, jumlah uang suap yang mengalir untuk mengurus dokumen calon tenaga kerja Indonesia besarnya mencapai Rp 20-40 ribu per dokumen atau berkas. Bila ditotal, kata Ruki, jumlahnya tidak dapat diprediksi. Jadi tergantung berapa jumlah (berkas) TKI yang dilayani, katanya.

Ruki memaparkan, selain menemukan praktek suap, KPK menemukan maraknya praktek percaloan dalam proses perekrutan calon pekerja. Bahkan pelayanan pengurusan dokumen calon tenaga kerja kurang profesional, meliputi tidak digunakannya sistem antrean serta Balai Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia dan dinas tenaga kerja tidak punya loket pelayanan.

Selain itu, juga terjadi kontak langsung antara pengguna jasa dan petugas serta pejabat back office, tidak ada tanda terima berkas, serta informasi dan sarana pelayanan yang kurang memadai. Ditambah lagi belum adanya standar pelayanan baku yang mengatur prosedur, persyaratan biaya, dan waktu penyelesaian pelayanan.

Masalah lainnya, kata Ruki, belum ada standardisasi pelatihan prapenempatan calon tenaga kerja, belum ada standardisasi biaya penempatan pekerja, pengawasan terhadap lembaga penempatan kurang memadai, serta belum ada pemeriksaan substansi perjanjian penempatan dan perjanjian kerja.

Belum sempurnanya terminal III untuk tenaga kerja di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan sumber daya manusia di instansi yang kurang memadai juga menjadi kendala.

Kami melihat ini semua sebagai kelemahan dari sistem serta meminta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi segera memperbaiki, kata Ruki.

Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI Jumhur Hidayat mengatakan rata-rata berkas yang diproses oleh departemen dan instansi sebanyak 58-60 ribu per bulannya. Ia mengatakan banyak dinas yang memungut biaya per tenaga kerja sebesar Rp 100-250 ribu.

Biaya paspor resmi itu sebesar Rp 110 ribu. Tapi di lapangan bisa lebih dari itu, katanya.

Adapun Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Soeparno mengakui pengawasan dan pembenahan sistem belum optimal dilakukan. Saat ini, kata dia, pembenahan sistem penempatan dan perlindungan pekerja sedang dilakukan.

Memang betul pengawasan belum optimal dan harus ditingkatkan. Saat ini pembenahan sistem sedang dilakukan. Yang belum dioptimalkan adalah sosialisasi ke daerah, katanya. Ninin Damayanti | Bayu Pamungkas

BNP2TKI Dilaporkan
Himpunan Pengusaha Tenaga Kerja Indonesia melaporkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

BNP2TKI diduga bekerja sama dengan GCC Approved Medical Center Association melakukan pungutan terhadap input data calon tenaga kerja melalui Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri (Sisko TKLN).

BNP2TKI mengeluarkan surat edaran yang memberikan wewenang kepada kumpulan medical tenaga kerja Indonesia untuk mengkoordinasi sistem input data. Masak input data dipungut Rp 50 ribu per orang, kata Ketua Himpunan Pengusaha Tenaga Kerja Indonesia Yunus Yamani dihubungi Tempo kemarin.

Padahal, menurut dia, keberadaan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri dibentuk berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara dengan biaya sekitar Rp 6 miliar dan operasionalnya ditangani pemerintah.

Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat membantah jika disebut ada dana Rp 6 miliar dari APBN untuk pengembangan Sistem Komputerisasi Tenaga Kerja Luar Negeri. Mengenai Sisko TKLN, dana Rp 6 miliar itu tidak pernah ada, kata Jumhur.

Menurut dia, sistem itu dibangun secara build, operating, and transfer dikelola oleh swasta selama lima tahun kemudian dikembalikan ke negara. Ini berdasarkan perjanjian pada 2003 dan berakhir pada 2008, kata dia.

Dalam perjanjian itu, kata Jumhur, setiap input data calon tenaga kerja yang dimasukkan ke sistem boleh mengutip biaya sekitar Rp 19 ribu, tapi hanya berlaku untuk penempatan tenaga kerja ke Timur Tengah. NININ DAMAYANTI

Sumber: Koran Tempo, 29 Agustus 2007
-----------------------
KPK Beber 11 Potensi Korupsi Urusan TKI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menguatkan dugaan masyarakat atas adanya ketidakberesan sistem pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI). Hasil monitoring lembaga antikorupsi tersebut menemukan 11 kelemahan yang ujung-ujungnya bakal merugikan para TKI.

Ternyata, dalam pelaksanaannya (sistem TKI, Red), terjadi korupsi yang, walaupun nilainya tidak cukup signifikan, sudah termasuk kategori korupsi, ujar Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam keterangan pers di gedung KPK Kuningan kemarin (28/8).

Temuan KPK tersebut, antara lain, masih adanya praktik suap dalam pengurusan dokumen TKI dan belum adanya standar baku pelayanan terhadap TKI (selengkapnya lihat grafis, Red).

Dia menyatakan, selain melaksanakan tugas yang diamanatkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, kejadian tragis yang menimpa TKI akhir-akhir ini menjadi alasan bagi KPK untuk menguliti sistem pelayanan serta perlindungan TKI. KPK menganggap permasalahan TKI merupakan akibat lemahnya sistem. Mengapa KPK menaruh pehatian terhadap masalah tersebut? Terus terang, ini menyangkut harga diri bangsa. Sangat banyak ekses (akibat, Red) yang timbul akibat sistem pelayanan tenaga kerja yang kurang baik, tegas Ruki.

Temuan tersebut, kata dia, dipaparkan secara langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno serta Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (PNP2TKI) Jumhur Hidayat.

Dia mengungkapkan, KPK juga merekomendasikan perbaikan. Yakni, pembenahan sistem yang meliputi manajemen SDM pemberi pelayanan, business process, infrastruktur, anggaran, serta peningkatan pengawasan dan penindakan. Jangan lantas apa-apa minta direpresi, ujar pria kelahiran Rangkasbitung, Banten, tersebut.

Bukan hanya kepada dua lembaga yang paling bertanggung jawab atas nasib TKI tersebut, hasil kajian KPK itu juga akan dikirimkan ke Depkum HAM terkait dengan soal keimigrasian, Departemen Luar Negeri, kepolisian, serta Departemen Perhubungan.

Menanggapi temuan KPK tersebut, Menakertrans Erman Suparno berdalih bahwa pihaknya telah mereformasi sistem penempatan dan perlindungan TKI yang bahkan pencanangannya dihadiri presiden. Bahkan, terbit Inpres No 6 Tahun 2006 (kebijakan reformasi sistem penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia) dalam rangka pembenahan sistem, jelasnya.

Selain itu, kata dia, pihaknya telah melakukan desentralisasi pengurusan dokumen ke daerah-daerah TKI agar bisa didapatkan secara murah, mudah, dan cepat.

Meski demikian, menteri yang juga kader PKB itu mengakui adanya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan. Masih banyak yang perlu diperbaiki. Misalnya, masih ada suap kepada aparat-aparat yang sebetulnya (seharusnya, Red) melayani, juga pengawasan, katanya.

Soal perlindungan TKI dari majikan, menurut Erman, sudah ada persetujuan dengan negara-negara tujuan TKI. Dalam konteks perlindungan, attitude (sifat, Red) majikan sulit diprediksi. Siapa yang tahu kalau majikannya jahat, ungkapnya.

Perlindungan TKI dari kekerasan majikan masih seperti pemadam kebakaran. Menurut Erman, yang penting, kalau terjadi suatu kasus, pemerintah bisa cepat dan tegas menangani, bekerja sama.

Untuk pencegahan, dia mengungkapkan bahwa perlindungan bergantung masing-masing TKI. Kalau mau jadi calon TKI, daftarlah sesuai prosedur yang benar, berbiaya murah, kemudian didaftarkan di KBRI, sehingga tahu majikannya di mana, tegasnya.

Masih sebatas wacana, Kepala PNP2TKI Jumhur Hidayat mengungkapkan, pihaknya berencana membentuk lembaga monitoring, konseling, serta home visit bagi para TKI, khususnya di sektor informal atau rumah tangga. Itu membebankan majikan agar TKI bisa dikunjungi atau ditelepon. Tapi, masih dibicarakan dengan Deplu dan Depnakertrans soal bentuk lembaganya, katanya. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 29 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan