KPK Tak Perlu Mengeluh

Komisi Pemberantasan Korupsi mengaku kesulitan menangani 5.500 kasus korupsi di tangannya. Bukan keluhan besar, tapi jika tak segera diatasi, akibatnya bisa berabe.

Kesulitan yang dialami KPK bukan soal anggaran. Komisi khusus ini dibiayai sepenuhnya dengan uang rakyat melalui APBN. Penyebab kesulitan, menurut anggota KPK Tumpak Hamorangan Panggabean, kantornya tak punya penyidik dalam jumlah yang memadai.

Tumpak punya usul menarik. KPK diperbolehkan punya tim penyidik tersendiri, tim independen, di luar personel yang diajukan jaksa ataupun kepolisian. Ini sebuah terobosan. Sayup-sayup terdengar selama ini bahwa dua instansi yang mengirimkan penyidik itu, selain jumlahnya tak memadai, tidak mengirimkan personel yang kualifikasinya hebat. Agak susah dibayangkan jika para penyidik kiriman tadi bisa bekerja maksimal, sedangkan korps asalnya belakangan seperti kalah pamor dengan KPK. Pendek kata, ada kendala psikologis yang susah dihindari.

Kendala psikologis itu makin terasa dengan mengalirnya pujian untuk kinerja KPK. Lembaga ini terasa bisa memberikan atmosfer baru bagi upaya pemberantasan korupsi. Kita tahu, bekas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh akhirnya bisa dijebloskan ke sel berkat keberanian KPK membongkar kasus korupsinya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga ketar-ketir, apalagi setelah ketuanya, Prof Nazaruddin Syamsuddin, dan sejumlah pejabat lainnya ditahan.

Kita pun menunggu keberanian itu berkelanjutan. KPK harus menjadi sebuah lembaga pemberantasan korupsi yang ampuh di antara sekian lembaga lain dengan tugas serupa. Memang sudah ada Direktorat Tindak Pidana Korupsi Polri, Kejaksaan Agung, dan yang paling baru, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji. Tapi KPK, dengan kewenangan dan posisi yang lebih super daripada semua lembaga itu, diharapkan mampu membongkar semua kasus korupsi, tak peduli pejabat mana pun yang terlibat. Dengan kewenangan yang dimiliki, seperti diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30/2002, KPK boleh dibilang seperti kunci Inggris yang bisa membuka pintu mana saja.

Maka, kalau mau tak tertimbun begitu banyak kasus dengan jumlah personel terbatas, KPK mesti membuat prioritas kasus yang ditanganinya. Kalau mau membantu meningkatkan kredibilitas pemerintah, usut dan tangkap saja some big fishes alias koruptor kelas kakap. Kasus selebihnya bisa diberikan kepada lembaga lain. Soalnya tinggal, mampu (dan maukah) KPK memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya dengan maksimal.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana, Koran Tempo, 7 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan