KPK Tak Mau Diintervensi, Tolak Permintaan FPDIP

Untuk Bebaskan Tersangka dari Kasus Cek Miranda Goeltom

PDIP benar-benar berkeberatan atas penetapan 14 kadernya sebagai tersangka suap cek perjalanan dalam pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia. Karena itu, enam anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP (FPDIP) kemarin (3/9) mendatangi gedung KPK untuk menemui pimpinan KPK.

''Kami mempertanyakan penetapan 14 tersangka itu. Kami tidak bermaksud untuk intervensi. Bahkan, kami mendukung proses penegakan hukum di KPK,'' ujar Trimedya Pandjaitan, salah seorang anggota FPDIP, sebelum memasuki gedung KPK.

Dia menyatakan, pihaknya juga meminta KPK mengusut tuntas kasus cek perjalanan tersebut. Selain itu, mereka memastikan bahwa 14 tersangka yang merupakan anggota aktif dan nonaktif FPDIP akan selalu hadir dalam setiap agenda pemeriksaan di KPK.

Meski tak mengintervensi, kedatangan anggota FPDIP tersebut juga ingin memberikan pandangan hukum atas penetapan status tersangka tersebut. Hal itu terungkap dari surat pernyataan setebal tiga halaman yang ditandatangani Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo dan Sekretaris FPDIP Bambang Wuryanto. ''Kami juga ingin serahkan ini (surat pernyataan dari PDIP) kepada KPK,'' ujar Trimedya.

Dalam surat pernyataan tersebut, termuat sejumlah poin yang memaparkan bahwa keputusan penetapan status tersangka terhadap 14 politikus PDIP perlu dipertimbangkan kembali. Mereka menganggap temuan adanya penyuapan kepada politisi PDIP itu tidak beralasan. Alasannya, pemilihan Miranda sebagai DGS BI dilakukan berdasar kebijakan fraksi, bukan oleh masing-masing anggota fraksi.

Mereka juga mengkritik penetapan status tersangka yang kala itu masih aktif sebagai anggota dewan terkait posisinya sebagai pejabat negara. Mereka menyinggung asas repertoar dalam hukum administrasi negara yang menyebutkan: seorang pejabat yang menerima uang yang tidak diketahuinya dan pemberian tersebut tidak menimbulkan kerugian negara tidak dapat dipersoalkan secara pidana. Pejabat tersebut juga dapat memperbaiki keadaan itu dengan cara mengembalikan kerugian keuangan negara.

PDIP juga mendesak KPK untuk tidak hanya menjerat penerima, melainkan juga pemberi cek perjalanan tersebut. Karena itu, mereka meminta KPK memperhatikan seluruh undang-undang, baik KUHAP maupun KUHP, selain UU Pemberantasan Korupsi dan UU KPK.

Ditanya soal tanggapan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengenai penetapan 14 kadernya sebagai tersangka, Trimedya mengungkapkan bahwa suami Taufik Kiemas tersebut hanya tersenyum. ''Ibu Mega, begitu kami sampaikan ada tersangka, hanya tersenyum. Ibu Mega mengatakan agar (kader) tawakal. Partai akan memberikan bantuan hukum,'' ungkapnya.

Sementara itu, merespons kedatangan anggota FPDIP tersebut, KPK menolak segala bentuk intervensi. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto menegaskan bahwa KPK tetap mengapresiasi kedatangan Trimedya dkk tersebut. ''Saya berterima kasih kepada mereka (Trimedya dkk), tapi tidak bicarakan kasus sama sekali. KPK memang tidak mau. Saya katakan KPK tidak akan mau diintervensi siapa pun,'' tegasnya di gedung KPK.

Dia menyatakan, pihaknya yakin anggota dewan tidak akan mengintervensi penyidikan KPK terkait kasus cek perjalanan tersebut. Dia menguraikan, peraturan perundang-undangan dibuat oleh DPR, sehingga mereka juga tahu persis proses hukum yang dilakukan di KPK. ''Jadi, mereka juga tidak mau intervensi,'' imbuhnya.

Sebelumnya, 39 anggota DPR periode 1999-2004 disebut menerima duit suap terkait upaya pemenangan Miranda. Di antara jumlah tersebut, baru empat orang yang ditahan dan 26 tersangka baru ditetapkan. Rinciannya, 14 tersangka politikus PDIP, 10 politikus Golkar, dan dua politikus PPP.

Empat belas tersangka baru dari FPDIP itu adalah Panda Nababan (diduga menerima Rp 1,45 miliar), Agus Condro Prayitno (Rp 500 juta), Max Moein (Rp 500 juta), Rusman Lumbantoruan (Rp 500 juta), Poltak Sitorus (Rp 500 juta), Williem Tutuarima (Rp 500 juta), Engelina Pattiasina (Rp 500 juta), Muhammad Iqbal (Rp 500 juta), Budiningsih (Rp 500 juta), Jeffrey Tongas Lumban (Rp 500 juta), Ni Luh Mariani Tirtasari (Rp 500 juta), Sutanto Pranoto (Rp 600 juta), Soewarno (Rp 500 juta), dan Matheos Pormes (Rp 350 juta).

Dari Golkar, antara lain, Paskah Suzetta, Baharudin Aritonang, dan T.M. Nurlif (kini pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan/BPK).

Di luar 26 tersangka baru itu, KPK sedang mendalami tiga nama yang bisa menjadi tersangka. Mereka berasal dari pemberi suap. Namun, KPK tidak menyebutkan secara detail nama calon tersangka tersebut. KPK juga disebut-sebut mendalami peran Miranda dan Nunun Nurbaeti, istri anggota DPR Adang Darajatun, yang diduga memfasilitasi pemberian suap.

Status tersangka pada Nurlif memengaruhi kedudukannya sebagai salah seorang pimpinan BPK. Badan yang diketuai Hadi Poernomo itu akan mengadakan sidang internal untuk menentukan nasib Nurlif. Sidang tersebut akan dilaksanakan setelah BPK menerima surat resmi dari KPK.

Hadi menyatakan, saat ini dirinya masih menunggu surat resmi itu. ''Setelah ada surat resmi, baru kami nanti rapat sidang badan,'' katanya setelah rapat tim penilai akhir (TPA) calon pejabat eselon I yang dipimpin Wapres Boediono di Istana Presiden kemarin.

Saat pemilihan DGS BI pada 2004, Nurlif masih menjadi anggota Fraksi Partai Golkar. Hadi mengungkapkan bahwa Nurlif akan diundang dalam sidang badan. Apakah akan dinonaktifkan sebagai pimpinan BPK? ''Nanti kita lihat ya. Suratnya kan belum ada. Tunggu dong,'' ujarnya.

Di tempat yang sama, Menko Kesra yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menuturkan, partainya akan memberikan bantuan hukum kepada kader yang menjadi tersangka. ''Setiap orang itu ada hak hukumnya, hak pembelaan. Kami menyediakan lembaga bantuan hukum supaya kalau dijumpai tindakan semena-mena tidak keluar dari jalur hukum, tapi ke jalur politik,'' ungkapnya.

Dia menyatakan, tim pembela dari Partai Golkar dipimpin Muladi yang kini menjabat gubernur Lemhanas. Dia menegaskan, setiap kader juga bisa memilih sendiri tim pembela. ''Tapi, sebagai partai, ya tentu harus memperhatikan anggotanya yang sekarang sedang terbelit masalah hukum. Kami menyediakan. Kalau tidak dipakai, tidak apa-apa,'' tegasnya.

Agung menyatakan, penerimaan uang dalam pemilihan DGS bukan kebijakan Fraksi Partai Golkar. Namun, dia mengakui, fraksi memang memiliki kebijakan untuk memilih Miranda. ''Kalau dari situ ada sampingannya, itu fraksi tidak tahu-menahu,'' ujarnya. (ken/sof/c5/agm)
Sumber: Jawa Pos, 4 September 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan