KPK Tahan Bekas Sekretaris Jenderal Kelautan

Komisi Pemberantasan Korupsi kemarin malam resmi menahan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H. Tartoyo. Andin menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengumpulan dana taktis nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan selama periode 18 April 2002 hingga 23 Maret 2005.

Andin diperintah lisan oleh mantan Menteri Rokhmin Dahuri untuk mengumpulkan dana itu, kata Direktur Penyidikan KPK Ade Raharja di kantor KPK, Jakarta, kemarin. Total dana yang dikumpulkan, menurut Ade, lebih dari Rp 15 miliar. Sisa dana yang disita KPK sebesar Rp 739 juta.

Andin ditahan setelah menjalani pemeriksaan dari pukul 08.00 hingga pukul 17.30 WIB di kantor KPK. Andin dibawa ke Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Jakarta sekitar pukul 18.15 WIB. KPK masih terus mengembangkan kasus ini dengan memeriksa beberapa saksi lainnya.

Ade menjelaskan dana itu berasal dari potongan sebesar 1 persen dari anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan. Dana itu juga berasal dari anggaran dana dekonsentrasi daerah. Dana itu meliputi dinas dan unit kerja di 30 provinsi, ujarnya. Andin, menurut Ade, menyampaikan perintah kepada semua kepala dinas di sela-sela Rapat Kerja Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan pada medio 2002.

Ade mengatakan Andin diduga melanggar Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, khususnya pasal 12 ayat f, mengenai pemotongan pembayaran oleh pegawai negeri. Seharusnya anggaran negara tidak boleh dipotong, ujarnya. Ade memastikan ada pihak yang menikmati fasilitas dari dana yang dikumpulkan tersebut. Menurut Ade, dana itu digunakan untuk kebutuhan yang tidak dianggarkan, seperti kegiatan sosial dan kegiatan menteri.

Berdasarkan data yang sempat dilihat Tempo, salah satunya kegiatan itu adalah orasi ilmiah sebesar Rp 356 juta pada 18 Januari 2003. Dalam kasus ini, Rokhmin sendiri sudah pernah diperiksa KPK pada 2 Agustus lalu. Ia mengakui adanya pengumpulan dana itu. Tapi asalnya dari mana, saya tidak tahu. Tanya saja kepada Sekjen atau Kepala Biro, ujarnya ketika itu. Tito Sianipar

Sumber: Koran Tempo, 28 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan