KPK Sukses = KPK Bubar
Fajar baru pemberantasan korupsi di Indonesia ditandai dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2003. Sebagai sebuah bentuk tindak pidana, pendekatan hukum dalam pemberantasan korupsi melalui KPK merupakan ujung tombak dalam menanggulangi problem korupsi di Indonesia.
Penampilan paling kontemporer KPK adalah ketika membongkar skandal korupsi di Bank Indonesia yang diduga melibatkan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah ini dapat dilihat sebagai sebuah langkah maju dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
Bagi saya, masih ada persoalan di tubuh KPK yang membuat pemberantasan korupsi di Indonesia akan tetap berjalan di tempat, atau bahkan akan semakin mundur ke belakang. Kalaupun ada kasus besar yang terungkap, tidak lebih merupakan akrobat politik saja. Hal tersebut disebabkan oleh dua hal pokok yang kurang disadari oleh negara, termasuk juga para pemimpin KPK dalam agenda pemberantasan korupsi mereka.
Pertama, mengenai korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi pada dasarnya merupakan tindak pidana yang tidak berbeda dengan pencurian dan penggelapan. Namun, ada dua hal yang membedakan: status pelaku dan korban tindak pidana tersebut.
Sebagai contoh sederhana, dua tindakan yang sama, yaitu markup dalam pengadaan barang/jasa, akan berimplikasi berbeda bila pelaku pertama bekerja di perusahaan swasta, sedangkan pelaku kedua merupakan pegawai di sebuah departemen pemerintah. Pelaku pertama merupakan pegawai swasta, dan korban dari tindakannya adalah pemilik perusahaan tersebut. Berbeda dengan pelaku kedua, yang merupakan pegawai negeri (pejabat negara); dan akibat tindakannya, yang dirugikan adalah negara. Dengan bentuk tindakan yang sama, keduanya akan dikenai pasal yang berbeda. Pasal KUHP tentang penggelapan untuk pelaku pertama, dan Undang-Undang Antikorupsi untuk pelaku kedua. Aspek pelaku dan korban inilah yang membuat korupsi menjadi lebih dari sekadar tindak kejahatan biasa.
Dalam konteks Indonesia, dan juga beberapa negara lainnya, ada satu aspek lagi yang memperkuat keluarbiasaan tindak pidana korupsi, yaitu keterlibatan aparat penegak hukum dalam tindak pidana korupsi. Sebagai sebuah tindak pidana, tentunya korupsi merupakan yurisdiksi dari sistem peradilan pidana. Namun, bagaimana bisa melakukan penindakan terhadap korupsi jika aparat sistem peradilan pidananya sendiri juga korup?
Pertanyaan itulah yang mendasari raison d'etre KPK. KPK diperlukan sebagai sebuah institusi khusus pemberantasan korupsi bukan semata-mata karena adanya keterlibatan pejabat publik dalam tindak pidana korupsi. Lebih dari itu, KPK lahir dengan satu asumsi bahwa sistem peradilan pidana biasa tidak berfungsi sebagaimana mestinya dalam pemberantasan korupsi. Karena itulah diperlukan sebuah institusi draconian yang mampu mengatasi institusi peradilan pidana biasa dalam memberantas korupsi.
Hal pokok kedua yang tidak disadari selama ini dalam pemberantasan korupsi adalah, dengan raison d'etre semacam itu, fungsi KPK sebenarnya hanyalah menggantikan aparat hukum pidana biasa dalam memberantas korupsi. Dengan demikian, KPK harus menempatkan dirinya sebagai lembaga ad hoc. Di sinilah kemudian draconian power yang dimiliki KPK akan memenuhi prinsip matahari terbenam (sunset principle). KPK diberi kekuasaan yang sangat besar untuk memberantas korupsi dengan batasan waktu tertentu, di mana pada saat itu aparat penegak hukum biasa sudah bersih dari korupsi sehingga juga mampu memberantas korupsi.
Baik di dalam Rencana Strategis KPK yang disusun oleh pemimpin KPK periode pertama (2003-2007) maupun dalam Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 yang disusun oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kedua hal pokok di atas sama sekali tidak terlihat. Belum muncul sedikit pun satu urgency untuk menempatkan aparat penegak hukum sebagai sasaran utama dalam pemberantasan korupsi. KPK sendiri juga tidak mempertegas diri sebagai lembaga ad hoc yang berkonsentrasi pada pembersihan aparat penegak hukum dari korupsi.
Akibatnya, ada beberapa implikasi yang muncul dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia serta kerja kerja-kerja KPK di masa depan. Pertama, KPK akan menjadi komoditas politik, baik ditempatkan sebagai alat maupun sebagai obyek politik. Selama ini, isu korupsi sendiri sudah menjadi komoditas politik dan KPK akan dengan mudah digunakan oleh kekuatan politik untuk menjatuhkan lawan politiknya. Selama itu pula, proses rekrutmen KPK hingga pilihan-pilihan kasus yang diangkat oleh KPK akan ditentukan pula berdasarkan hasil dari pertarungan politik tersebut. Di sisi lain, KPK juga bisa menjadi subyek politik ketika kekuasaan besar yang dimilikinya tidak dibarengi dengan sunset principle.
Kedua, pemberantasan korupsi akan menjadi semacam business as usual bagi KPK. Korupsi akan terus terjadi di semua sektor, sementara KPK akan tetap bekerja dengan baik dalam memberantas korupsi. Hal inilah yang selama ini terjadi. KPK akan terus dan tetap bersinar karena membongkar korupsi di KPU, kemudian memblejeti kasus korupsi di Bank Indonesia yang diduga melibatkan anggota DPR, serta membongkar kasus-kasus korupsi besar di tingkat lokal.
Ketiga, KPK tidak akan memperoleh perluasan kewenangan yang signifikan, yang diperlukan dalam memberantas korupsi. Konstelasi politik (khususnya di DPR dan pemerintah) akan menentukan tingkat kewenangan KPK, di mana kewenangan tersebut dianggap aman dan tidak mengganggu status quo. Pembahasan di DPR dan pemerintah mengenai perluasan kewenangan KPK akan lain hasilnya apabila sejak awal KPK berkomitmen untuk berkonsentrasi pada korupsi di dalam sistem peradilan pidana.
Dengan demikian, apabila tidak segera dipertegas mengenai sasaran pokok KPK dalam pemberantasan korupsi serta sifat ad hoc KPK, pemberantasan korupsi di Indonesia akan sangat bergantung pada konstelasi politik. Perdebatan mengenai isu tebang pilih akan terus terjadi. Dan publik akan terus disuguhi tontonan mengenai keberhasilan KPK dengan kasus-kasus bernilai miliaran rupiah yang dibongkarnya.
Mestinya, tolok ukur keberhasilan KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dibubarkannya KPK. Bukan karena KPK dianggap sebagai ancaman oleh kekuatan politik tertentu, melainkan karena aparat hukum pidana biasa (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) sudah bisa berfungsi sebagaimana mestinya dalam memberantas korupsi.
Donny Ardyanto, Peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 Maret 2008