KPK: Selesaikan secara Hukum; Pengurus Tolak Serahkan Aset Yayasan Soeharto

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus mantan Presiden Soeharto melalui mekanisme hukum. KPK mengimbau presiden agar tidak menyelesaikan kasus hukum terhadap mantan penguasa Orde Baru tersebut dengan cara-cara politis.

Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menegaskan hal tersebut setelah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, kemarin. Dalam pertemuan itu, Ruki didampingi Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

Saya hanya merekomendasikan kepada presiden penyelesaiannya harus hukum. Ini sesuai Tap MPR Nomor XI Tahun 1998 yang menegaskan masalah Pak Harto adalah masalah hukum, bukan masalah politik. Jadi, apa pun harus diselesaikannya dalam koridor hukum, tegas Ruki.

Menurut Ruki, keputusan politis yang diambil pemerintah untuk menghentikan seluruh proses peradilan perkara hukum Pak Harto akan berdampak luas pada komitmen penegakan hukum.

Saya katakan, keputusan yang Bapak (SBY) ambil akan berdampak cukup besar bagi pemberantasan korupsi dalam arti luas. Semangat pemberantasan korupsi jangan diintervensi politik. Hukum yang harus menentukan. Presiden setuju dengan rekomendasi kami, kata Ruki.

Ruki menilai, keputusan SBY yang mengendapkan kasus Pak Harto bukan keputusan politis. Sebab, SBY belum mengambil langkah politis apa pun. Penjelasan pemerintah tentang status hukum Pak Harto justru berasal dari pernyataan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra.

Keputusan tentang masalah itu adalah keputusan hukum. Karena itu, presiden tidak akan mengambil keputusan apa pun, ujar Ruki.

Ditanya soal penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus dugaan korupsi di tujuh yayasan yang dipimpin Pak Harto, Ruki mempersilakan masyarakat menilai sendiri. Yang jelas, presiden belum mengambil keputusan apa pun, katanya.

Ruki membantah kabar adanya silang pendapat antara Presiden SBY dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengenai penerbitan SKPP Pak Harto. Nggak ada. Jaksa agung kan anak buah presiden. Tentu (jaksa agung) tidak akan mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan hokum.

Aset Yayasan
Penyerahan aset tujuh yayasan yang diketuai mantan Presiden Soeharto bisa jadi tinggal wacana saja. Pengurus menolak menyerahkan aset yayasan ke negara karena dianggap menyalahi UU Nomor 28/2004 tentang Yayasan.

UU Yayasan tidak mengatur penyerahan aset ke pemerintah. Aset yayasan hanya bisa dialihkan ke yayasan lain. Kalau itu (penyerahan aset kekayaan ke negara), justru melanggar UU Yayasan, kata Haryono Suyono, salah seorang pengurus harian Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), kemarin.

Dalam akta pendirian, Soeharto bersama Haryono mendirikan YDSM yang bergerak dalam pengentasan kemiskinan bersama Sudwikatmono dan Sadono Salim.

Haryono mengaku belum tahu permintaan pemerintah agar Pak Harto menyerahkan aset yayasan sebagai kompensasi penerbitan SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan). Saya tidak tahu apakah (aset yayasan) diserahkan atau tidak, jelas Haryono. Yang terpenting, lanjut dia, masyarakat sudah bisa merasakan manfaat yayasan yang diketuai Pak Harto itu.

Dia mengatakan, sejatinya operasional tujuh yayasan itu telah diserahkan Pak Harto kepada negara melalui Kantor Menko Kesra pada era pemerintahan B.J. Habibie. Saya atas nama pemerintah yang menerimanya. Sebab, kala itu saya menjadi Menko Kesra, ujarnya.

Menurut dia, penyerahan operasional berbeda dengan penyerahan aset. Penyerahan operasional lebih terfokus pada bagaimana kegiatan tujuh yayasan itu tetap berjalan sesuai AD/ART sekaligus manfaatnya bisa dinikmati masyarakat.

Tujuh yayasan itu adalah Supersemar (bergerak di bidang pendidikan), Dharmais (kesehatan), Dakab (santunan kepada Golkar), Amal Bhakti Muslim Pancasila/ABMP (keagamaan), YDSM (pengentasan kemiskinan), Dana Gotong Royong (sosial), dan Trikora (santunan anak tentara). Nilai aset tujuh yayasan tersebut kala itu disebut-sebut mencapai Rp 4 triliun.

Dijenguk Prabowo
Kondisi Pak Harto dilaporkan semakin baik. Selain sudah sadar penuh, mual yang dirasakan mantan penguasa Orba itu mulai berkurang. Fungsi paru-paru juga berangsur membaik.

Namun, fungsi ginjal masih terganggu. Perkembangan tersebut disampaikan tim dokter saat konferensi pers di ruang auditorium RSPP, kemarin.

Pak Harto (kini) kelihatan lebih enak. Sudah bisa tersenyum, ungkap Direktur RSPP Adji Suprajitno. Bahkan, Soeharto mulai bisa memasukkan makanan lewat mulut meski baru terbatas makanan ringan yang lunak.

Kemarin, Prabowo Subianto menjenguk Pak Harto. Prabowo adalah mantan suami Siti Hediati, putri Pak Harto.

Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus itu datang bersama dua pengawalnya. Juga seekor anjing herder yang dibawa dalam mobil berpelat B 1007 PR.

Pensiunan tentara dengan pangkat terakhir letnan jenderal itu langsung menuju ke ruang perawatan Pak Harto di lantai 5. Prabowo keluar dari ruang itu 15 menit kemudian.

Prabowo bercerita kepada wartawan bahwa dia hanya sempat bersalaman dengan mantan mertuanya itu. Pak Harto masih sangat lemah dan belum dapat berbicara. Tadi saya lihat malah sedang ditransfusi darah, ungkapnya.

Dia mengaku tidak bertemu dengan anggota lain keluarga Cendana. Di dalam hanya ada Ibu Titik, ungkapnya menyebut nama mantan istrinya itu.

SKPP Tak Tepat
Penerbiatan SKPP Pak Harto terus mendapat protes. Tak tanggung-tanggung, kali ini, protes tersebut datang dari mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Choirul Imam. Dia menilai penerbitan SKPP oleh kejaksaan agung tidak tepat, karena rakyat masih menginginkan Pak Harto diadili.

Kalau Jaksa Agung ingin menghentikan seharusnya pakai deponering, demi kepentingan umum. Jaksa agung memiliki hak prerogatif untuk men-deponering (mengesampingkan, Red) perkara, kata Choirul yang ikut menghadiri deklarasi Garakan Masyarakat Adili Soeharto di kantor Kontras, kemarin.

Dengan deponering, menurut dia, Jaksa Agung dapat meminta Pak Harto mengembalikan kerugian negara demi kepentingan umum. Sekarang Pak Harto sakit permanen. Dari pada tidak bisa diadili, (yang penting) asal duit balik sehingga bisa dimanfaatkan oleh negara, papar mantan jaksa yang pernah meneken surat penahanan kota Pak Harto ini.

Selain itu, dengan adanya SKPP, barang bukti yang disita kejaksaan harus dikembalikan. Kalau nanti kasus ini dibuka lagi, dikhawatirkan barang bukti yang sudah dikembalikan itu, termasuk dokumen-dokumen, sudah dihancurkan. Jadi, penuntutan berikutnya akan sangat sulit.

Dia juga menyarankan agar Pak Harto diadili secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa). Dia mempunyai pendapat berbeda dengan Ketua MA Bagir Manan yang menyatakan Pak Harto tidak bisa diadili in absentia karena menurut dokter menderita gangguan otak permanen itu.

Selama ini, menurut undang-undang Tipikor, kata dia, persidangan in absentia dilakukan apabila terdakwa sudah dipanggil berkali-kali tapi tidak hadir tanpa alasan yang sah.

Tapi, menurut dia, pengertian in absentia ini bisa diperluas lagi. Yaitu, dipanggil berkali-kali, tapi tidak bisa hadir karena kendala fisik maupun mental.(noe/agm/ein/yog)

Sumber: Jawa Pos, 17 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan