KPK Pertanyakan Grasi Yudhoyono

"Jika grasi sangat mudah diberikan, efek jera tak akan muncul."

Komisi Pemberantasan Korupsi meminta pemerintah memperbaiki aturan pemberian grasi kepada terpidana kasus korupsi. Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar mengungkapkan hal itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Syaukani, terpidana kasus korupsi di Kalimantan Timur. Apalagi pengurangan pidana bagi Syaukani terhitung besar, yakni menjadi tiga tahun dari enam tahun penjara.

"Kenapa bisa memberikan grasi yang begitu besar?" kata Haryono saat dihubungi Tempo kemarin. "Pemerintah harus bisa menjelaskan kepada publik tentang pemberian grasi kepada Syaukani tersebut," ia menambahkan.

Syaukani divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Desember 2007 dan diganjar hukuman 2,5 tahun penjara. Menurut majelis hakim, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam empat kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 6,273 miliar. Lewat putusan kasasi, Mahkamah Agung memperberat hukuman Syaukani menjadi enam tahun penjara pada Juli 2008 dan harus membayar uang pengganti Rp 49,367 miliar.

Haryono khawatir, jika pemberian grasi sangat mudah dilakukan seperti itu, efek jera yang diharapkan muncul bagi koruptor tidak akan terjadi. Menurut dia, seharusnya semua pihak memiliki visi yang sama dalam pemberantasan korupsi.

"Kalau kita memang ingin memberantas korupsi secara keseluruhan, maka dari level penyidik, jaksa, hakim, kepala lapas, hingga menteri harus memiliki visi yang sama," ujarnya. Haryono mengakui masalah grasi memang di luar otoritas komisi antikorupsi. "Ini sudah di luar wilayah penegakan hukum. Hal ini hanya akan menjadi atensi kami saja," ujarnya.

Sebagai satu dari tiga kejahatan luar biasa, Haryono menegaskan, para koruptor seharusnya diperlakukan secara luar biasa juga. Dengan begitu, tidak hanya pada level penyidikan dan penuntutannya saja yang luar biasa, tapi juga pada saat pelaksanaan hukumannya, kata Haryono, "Juga harus diperlakukan secara luar biasa."

Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Tjatur Sapto Eddy menyatakan pemberian grasi merupakan proses politik yang dilakukan presiden untuk memenuhi hak yudikatifnya. "Hak sepenuhnya dari Presiden. Keputusan itu harus dihormati," ujarnya.

Sedangkan anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, menyatakan, di masa mendatang Dewan ingin turut dilibatkan dalam pertimbangan pemberian grasi. Selama ini, menurut dia, pemberian grasi sepenuhnya berada di tangan presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif. "Kita ingin grasi diamati DPR juga, itu sebagai wakil rakyat. Apakah perlu seorang ini diberi grasi," kata Gayus, "Presiden agar berhati-hati saat memberikan grasi kepada seseorang."

Khusus untuk kasus pemberian grasi kepada narapidana kasus korupsi, Gayus melanjutkan, Dewan menuntut pemerintah konsisten melaksanakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. "Beliau (Yudhoyono) mengatakan sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Tapi, faktanya, justru banyak dipertanyakan," kata Gayus. FEBRIYAN | SANDY INDRA | MAHARDIKA SATRIA | DWI WIYANA
 
Sumber: Koran Tempo, 20 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan