KPK Perlu Selidiki Dana Bantuan bagi Pengungsi

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi turun ke Nusa Tenggara Timur untuk menyelidiki penyaluran bantuan eks pengungsi Timor Timur.

”Eksekusi anggaran pengungsi sangat rumit dan rawan. Kalau ada pejabat yang terindikasi, harus turun,” kata Laode, Rabu (23/6). Ia menanggapi keluhan sejumlah eks pengungsi Timtim yang sampai kini belum menerima bantuan memadai, padahal sudah berlalu hampir 11 tahun.

Anggota DPD dari Nusa Tenggara Timur, Sarah Lery Mboeik, menyatakan, pemerintah jangan hanya menginginkan suara eks warga Timtim dalam jajak pendapat tahun 1999 tanpa memedulikan pemenuhan hak dasar saat mereka menjadi WNI.

Pemerintah pusat tidak boleh lepas tangan dan melemparkan masalah ke pemerintah daerah. Jika tidak ada penanganan sistematis dan komprehensif dari pemerintah pusat, hal ini akan membebani Pemprov NTT yang miskin. ”Warga miskin di NTT mencapai 50 persen dari total penduduk 4,7 juta,” katanya.

Sekretaris Daerah NTT yang juga mantan Kepala Dinas Sosial NTT Fransiskus Salem menyatakan, 11.000 unit rumah yang diberikan kepada eks pengungsi Timtim dibangun oleh pemerintah pusat melalui TNI-AD.

”Sesuai kesepakatan awal tahun 2005, tanah diusahakan sendiri oleh pengungsi, kemudian dibangun pemerintah. Bagi warga tidak mampu, Pemprov melakukan koordinasi dengan pemkab setempat agar memberi bantuan kepada mereka,” katanya.

Salem membantah, tanah untuk pembangunan rumah disiapkan Pemprov. ”Tidak ada dana khusus dari Pemprov untuk membebaskan tanah bagi rumah warga eks Timtim,” katanya.

Seorang eks pengungsi Timtim di Oebelo Atas, Kabupaten Kupang, menuturkan, tahun 2008 TNI minta mereka meninggalkan kamp penampungan untuk menetap di perumahan.

”Saya kira tanah itu sudah dibebaskan pemerintah. Karena berpikir mendapat rumah dan tanah gratis, kami bersedia pindah meski rumah itu tidak ada listrik, air bersih, kamar mandi, dan akses jalan keluar-masuk lokasi pemukiman,” katanya.

Warga terkejut setelah 2-3 bulan tinggal, pemilik tanah datang menagih biaya pembebasan tanah sebesar Rp 5 juta. ”Siapa yang menentukan harga? Pemilik tanah hanya menjawab, tanyakan kepada tentara,” katanya.

Gubernur NTT Fransiskus Lebu Raya menyatakan prihatin atas nasib eks pengungsi Timtim. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena sebagian besar penduduk lokal juga masih miskin.

Di Jakarta, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Djoko Santoso menyatakan, meskipun TNI hanya membantu dan menjaga keamanan para pengungsi dan wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, pihaknya tetap mengantisipasi kondisi keamanan wilayah terkait berbagai persoalan yang muncul di kalangan warga eks pengungsi Timtim di NTT.

Tuntut sertifikasi
Sementara itu, eks pengungsi Timtim di Desa Puncak Indah dan Desa Harapan, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menuntut sertifikasi kepemilikan tanah. Mereka mendesak pemerintah agar melegalisasi status tanah transmigrasi seluas 2 hektar yang ditempati sejak tahun 2000.

Koordinator eks pengungsi Timtim di Malili, Muhammad Juari (41), yang dulu bernama Bonifaciu Fransiskus Moreira, Selasa di Makassar, mengatakan, hingga kini pemerintah daerah belum memberikan hak pengelolaan lahan. Akibatnya, permohonan sertifikat hak milik yang diajukan ditolak Badan Pertanahan Nasional.

Adapun 400 keluarga eks pengungsi Timtim yang bertransmigrasi ke Desa Sejati, Kecamatan Tobada’, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, sudah memiliki sertifikat hak milik atas tanah seluas 2 hektar yang kini ditanami kakao. (KOR/SUT/ANS/WNY/RIZ/HAR)
Sumber: Kompas, 24 juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan