KPK Perlu Lebih Tegas

Lebih dari setengah anggota Kabinet Gotong-Royong sudah menyerahkan laporan perubahan harta kekayaan mereka ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kamis lalu, KPK mengumumkan, 12 mantan menteri dan pejabat negara setingkat menteri telah memberikan laporan perubahan harta mereka sejak mulai menjabat menteri hingga tak lagi duduk dalam posisi tersebut. Sedangkan sembilan bekas menteri lain belum melaporkannya.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, para bekas penyelenggara negara memang diwajibkan melaporkan kekayaannya setelah usai menjabat. Laporan perubahan tersebut harus diberikan dalam tempo dua bulan.

Dari laporan yang disampaikan ke KPK tampaklah harta kekayaan para menteri bertambah dalam waktu 3 tahun. Kekayaan mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, misalnya, meningkat dari Rp 26,103 miliar pada 2001 menjadi Rp 42,473 miliar pada 2004. Hari Sabarno, bekas menteri Dalam Negeri, yang semula memiliki harta Rp 1,314 miliar, berkembang kekayaannya jadi Rp 6,417 miliar.

Yang berbeda cuma bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini M.S. Soewandi. Pada awal dia menjabat, hartanya Rp 73,987 miliar plus US$ 351.361. Tiga tahun kemudian, kekayaannya menyusut jadi Rp 48,072 miliar. Yang bertambah justru utangnya, dari Rp 41,1 miliar sebelum menjabat menjadi Rp 66,13 miliar ditambah US$ 1,45 juta.

Upaya para menteri Kabinet Gotong-Royong untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 itu patut kita hargai. Mereka bisa dijadikan contoh agar asas transparansi--satu hal yang membedakan masa reformasi dengan saat Orde Baru--dapat berjalan. Lewat keterbukaan kita tahu masih ada enam menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang belum menyerahkan laporan harta kekayaannya, atau hanya sebagian kecil anggota legislatif di seluruh negeri yang melaporkan kekayaannya.

Memang banyak yang kaget melihat harta para mantan menteri berlipat ganda dalam tempo singkat. Tapi ada baiknya kita jangan cepat berburuk sangka. Bila pejabat kerap digunjingkan karena laporan harta kekayaannya, jangan-jangan nanti tak ada pejabat yang mau melaporkannya. Tugas KPK-lah untuk melakukan verifikasi laporan tersebut--hal yang memang akan dilakukan KPK bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Ikatan Akuntan Indonesia. Laporan verifikasi tersebut harus segera diumumkan secara terbuka, sehingga masyarakat tahu bertambahnya harta Laksamana atau turunnya kekayaan Rini Soewandi terjadi secara wajar.

Yang mesti diwaspadai justru sembilan mantan menteri--juga enam menteri Kabinet Indonesia Bersatu--yang belum menyerahkan laporan harta kekayaannya. Untuk itu, KPK hendaknya jangan ragu menjalankan wewenangnya seperti yang tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 2002, di antaranya memerintahkan agar atasan memberhentikan sementara pejabat atau meminta data kekayaan dan perpajakan dari instansi yang terkait. Dengan begitu, tujuan pembentukan KPK untuk menutup peluang orang melakukan korupsi bisa tercapai.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Koran Tempo, 26 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan