KPK Periksa Jaksa Irwan Nasution Kawan Anggodo Widjojo
Bola penyidikan kasus Anggodo Widjojo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tampaknya, bakal menggelinding lagi. Tim penyidik KPK kemarin memeriksa jaksa Irwan Nasution. Jaksa yang bertugas di bagian intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) itu disebut-sebut sebagai pihak yang mengenalkan Anggodo Widjojo kepada Edy Soemarsono di ruang kerjanya. Edy diyakini bisa menjembatani komunikasi antara Anggodo dengan Ketua KPK (saat itu) Antasari Azhar.
Selain jaksa Irwan, penyidik KPK memeriksa Ari Muladi (pelapor kasus Anggodo) dan Direktur PT Masaro Radiokom Putra Nevo untuk mengembangkan penyidikan kasus Anggodo.
Irwan menjalani pemeriksaan selama lima jam. Setelah pemeriksaan, dia menolak berkomentar saat ditanya materi pemeriksaan. Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengungkapkan, Irwan diperiksa penyidik sebagai saksi tersangka Anggodo. "Kalau keterangannya akan membuat terang penyidikan, akan lebih didalami," jelas Johan di gedung KPK, kemarin. Johan tak menjelaskan lebih lanjut keterangan Irwan dalam penyidikan itu. "Semua keterangan menjadi bahan penyidikan," jelasnya.
Apakah setelah memeriksa Irwan, KPK akan memanggil mantan pejabat Kejagung yang disebut dalam rekaman penyadapan yang dibeber di Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Abdul Hakim Ritonga dan Wisnu Subroto? Soal ini Johan memberikan komentar singkat. "Bergantung keterangannya seperti apa," ujarnya. Yang pasti, fokus KPK saat ini sudah mengarah kepada pihak lain yang terlibat dalam kasus Anggodo.
Sementara itu, kemarin muncul desakan agar rekaman pembicaraan Ari (pelapor kasus Anggodo) dengan Deputi Penindakan KPK Ade Raharja saat penyidikan kasus Bibit S. Rianto-Chandra M. Hamzah dibuka. Desakan itu diungkapkan anggota Komisi III DPR Ahmad Yani. Dia bersama sejumlah pengacara menyatakan telah menerima surat balasan dari Mabes Polri. Surat tersebut merupakan jawaban atas desakan untuk membuka rekaman pembicaraan antara Ari dan Ade. ''Jawaban surat Kabareskrim Ito Sumardi itu menyatakan (rekaman) baru dibuka setelah ada perintah pengadilan. Logika jawaban seperti itu bahwa rekaman tersebut ada,'' jelas Ahmad Yani kepada wartawan kemarin.
Tapi, menurut Ahmad Yani, KPK membantah adanya rekaman pembicaraa tersebut dalam rapat kerja di DPR Senin lalu (25/1). Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menegaskan, rekaman itu tidak ada. Kemarin Wakil Ketua KPK M. Jasin menegaskan kembali soal misteri rekaman tersebut. ''Nggak ada rekaman itu. Nggak ada itu, bohong,'' kata Jasin di gedung KPK kemarin.
Untuk membuktikan adanya rekaman itu, jelas Jasin, pihaknya telah menghimpun informasi. Termasuk, menanyakan kepada pihak-pihak yang menyatakan rekaman pembicaraan itu ada. ''Ternyata tidak ada,'' ujar Jasin. KPK juga sudah mengecek kepada provider telepon seluler apakah Ade pernah bercakap-cakap dengan Ari. Semua juga (mengatakan) nggak ada,'' ungkapnya.
Apabila memang ada rekaman, jelas Jasin, kepolisian tentu sudah menyerahkan bukti itu ke KPK saat pelimpahan kasus Anggodo beberapa waktu lalu. ''Kalau memang ada, kami juga berkepentingan untuk menindak jajaran kami yang menyimpang. Tapi, semua itu (rekaman) juga nggak ada,'' tegasnya.
Setelah pemeriksaan, Ari kembali membantah adanya rekaman pembicaraan dirinya dengan Ade. ''Telepon nggak pernah, kenal juga tidak,'' ucapnya. Dalam pemeriksaan kemarin, Ari juga dicecar soal pertemuannya dengan Antasari di Hotel Tugu, Malang, pada Agustus 2008.
Sementara itu, karir I Ketut Sudiharsa dan Myra Diarsi di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hampir pasti berakhir. Rapat paripurna LPSK memutuskan menerima rekomendasi tim etik yang mengusulkan lembaga tersebut mengajukan pemberhentian keduanya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menyatakan telah menerima rekomendasi tim etik yang berisi bahwa Ketut dan Myra berbuat tercela. ''Sudah ada keputusan dari rapat paripurna. Kami menerima rekomendasi tim etik,'' katanya kepada koran ini kemarin (27/1).
Perbuatan tercela itu terkait dengan dugaan keterlibatan dalam kriminalisasi pimpinan KPK oleh Anggodo Widjojo. Berdasar rekaman pembicaraan yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK), memang terungkap pembicaraan antara Anggodo dan Ketut.
Meski demikian, usul pemberhentian Ketut dan Myra tidak bisa langsung disampaikan kepada presiden. Sebab, masih ada tahap untuk melangsungkan sekali lagi sidang paripurna. Hal itu sesuai perpres tentang pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK.
Selain itu, mekanisme pemecatan harus mengacu pada peraturan LPSK tentang tata cara pemberhentian anggota yang berbuat tercela. ''Sidang paripurna beda dari rapat paripurna,'' jelasnya.
Majelis pemeriksa dalam sidang paripurna beranggota lima orang. ''Dua orang dari LPSK dan tiga dari eksternal,'' kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta itu.
Saat ini Haris tengah menyusun surat perintah ketua LPSK tentang pelaksanaan sidang paripurna. Selambatnya Selasa (2/2) surat tersebut diterbitkan. ''Nama-nama dari eksternal sudah digodok dan sudah dihubungi. Mereka bersedia,'' terangnya. Namun, dia menolak menyebutkan nama majelis pemeriksa sebelum surat perintah itu terbit.
Selanjutnya, paling lama 30 hari sejak turunnya surat perintah, sidang paripurna harus menghasilkan keputusan. Kemudian, selambatnya 30 hari sejak dihasilkan, keputusan itu harus sudah disampaikan ke presiden. ''Tapi, kami tidak ingin berlama-lama. Begitu ada keputusan, segera kami sampaikan (ke presiden). Kami ingin proses cepat.''
Haris menjelaskan, majelis pemeriksa akan melanjutkan hasil kerja tim etik LPSK. ''Sidang juga akan memberi ruang kepada yang bersangkutan untuk membela diri,'' ujarnya. (git/fal/agm)
Sumber: Jawa Pos, 28 Januari 2010