KPK Periksa Direksi Pertamina [22/06/04]

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) meminta keterangan direksi PT Pertamina (pesero), kemarin, terkait dengan penjualan dua tanker raksasa milik BUMN ini.

Pemeriksaan Direktur Utama PT Pertamina Ariffi Nawawi dan Deputi Direktur Keuangan Pertamina Andri Hidayat dilakukan di kantor KPTPK di Jl Veteran, Jakarta Pusat, kemarin.

Pemeriksaan berlangsung secara tertutup di ruang pimpinan KPK sejak pukul 14.00 sampai 16.30 WIB.

Menurut Ariffi, kepada KPTPK dirinya menjelaskan penjualan tanker VLCC (very large crude carrier) yang dinilai sebagai keputusan perusahaan.

Jadi saya dipanggil dan saya memberi penjelasan tentang itu, ungkapnya seraya bergegas menuju mobilnya.

Wakil Ketua KPTPK Erry Riyana Hardjapamekas menambahkan, dari pertemuan itu pihak KPTPK sudah mendapatkan penjelasan secara rinci dari direksi Pertamina atas penjualan tanker tersebut. Untuk itu, dalam waktu dekat KPTPK berencana memanggil direksi lama Pertamina untuk menjelaskan segala aspek yang berkaitan dengan pengadaan tanker tersebut.

Minggu lalu Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone juga menemui KPTPK untuk menjelaskan penjualan kapal yang kini menjadi polemik itu. KPTPK menindaklanjuti kasus penjualan kapal itu setelah ada laporan dari Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI) pimpinan Otto Geo Diwara pada 24 Mei 2004.

Laporan dari SPPSI terbagi dua, yakni dugaan tindak pidana korupsi dalam proses penunjukan langsung tanpa tender kepada Goldman Sachs selaku financial advisor (penasihat keuangan) dan arranger (pengatur) dalam penjualan dua tanker VLCC.Laporan kedua mengenai dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan penjualan tanker VLCC. Selain itu, SPPSI juga meminta KPTPK memerintahkan direksi Pertamina menghentikan proses penjualan selama pemeriksaan kasus ini dilakukan.

Penawaran Frontline

Sementara itu, sumber Media mengungkapkan, pemenang tender penjualan dua tanker VLCC bukanlah perusahaan pelayaran Norwegia Frontline Ltd yang sering-sering disebut belakangan ini. Melainkan perusahaan lain yang namanya jarang terungkap ke publik belakangan ini. Menurutnya, Frontline juga bukan merupakan penawar tertinggi. Ariffi membantahnya dan menegaskan Frontline merupakan penawar tertinggi sehingga wajar jika menjadi pemenang.

Jadi Frontline merupakan penawar tertinggi, ujarnya singkat. Namun, dokumen yang diperoleh Media menunjukkan bahwa Frontline memang bukan penawar tertinggi. Tawaran Frontline lebih rendah dibanding Essar Shipping Ltd, pesaingnya sesama shortlisted bidder (penawar yang sudah diseleksi).

Dokumen yang dimaksud adalah surat tertanggal 26 Mei 2004 dari Deputi

Direktur Perbendaharaan dan Pendanaan Pertamina Andri T Hidayat kepada direksi Pertamina. Dokumen ini berisikan tentang persetujuan shortlisted bidder divestasi dua unit VLCC.

Dalam dokumen itu dijelaskan tahapan-tahapan tender penjualan dua tanker raksasa Pertamina itu yang dilakukan oleh financial advisor Goldman Sachs.

Disebutkan, dari evaluasi Tim Divestasi VLCC dan Goldman Sachs terhadap delapan perusahaan yang berminat, ada tiga perusahaan yang berdokumen lengkap, sehingga berhak mengikuti tender. Tiga penawar yang berdokumen lengkap itu dievaluasi kembali berdasarkan bobot penawaran tertinggi.

Hasilnya, Essar Shipping Ltd berada di peringkat pertama, Frontline Ltd di peringkat kedua, dan Overseas Shipholding Group Inc (OSG) berada di urutan ketiga.

Menurut sumber, selisih harga penawaran antara Essar dengan Frontline cukup signifikan. Essar memberikan tawaran harga US$94 juta untuk satu unit kapal (total US$188 juta). Tawaran ini lebih besar dibanding Frontline Ltd sebesar US$94,5 dan US$89,5 juta (total US$184 juta).

Frontline bisa menang karena lembaga keuangan Goldman Sachs Intern Equity Nontreaty mempunyai 0,95% saham Frontline, selain Hemen Holding Ltd sebagai pemegang saham mayoritas sebesar 47,51%.Mengenai penjualan tanker ini, Menteri Keuangan (Menkeu) Boediono menjelaskan, Pertamina, sebagai BUMN, memiliki wewenang untuk melakukan aksi korporasi, tanpa persetujuan Menkeu. Namun, untuk pengambilan keputusan strategis, seperti penjualan saham, Menkeu harus dilibatkan.

Memang Pertamina sebagai perusahaan dapat mengambil tindakan sebagai korporasi. Ini misalnya dalam hal penjualan stok inventorinya, kata Boediono usai menghadiri rapat paripurna DPR, di Gedung MPR/DPR, kemarin.

Menkeu tidak secara tegas menyebutkan apakah penjualan tanker Pertamina itu merupakan tindakan strategis. Namun, bila mengacu pada Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 46 maka pelepasan aset negara senilai lebih dari Rp100 miliar harus seizin dari Menkeu. Saya tidak mau berkomentar mengenai hal itu. Apakah tanker itu termasuk aset atau tidak, tandas Boediono. (Wis/JA/Hil/X-8)

Sumber: Media Indonesia, 22 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan