KPK Panggil Tiga Pimpinan DRPD NAD; Sidang Dewan Tertunda [16/06/04]

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil tiga pimpinan DPRD NAD untuk dimintai keterangannya terkait dugaan kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 asal Rusia senilai Rp 12,6 milyar dan mesin genset senilai Rp 30 milyar. Akibatnya, agenda sidang tanggapan gubernur terhadap laporan Pansus DPRD NAD dan penghapusan aset milik daerah terpaksa harus ditunda, Selasa kemarin.

Seperti diberitakan Serambi Indonesia, Rabu (16/6), ketiga pimpinan dewan yang berangkat ke Jakarta, kemarin adalah Abu Yus, Bachrum Manyak, dan Moersyid Minosra. Sedangkan, Farid Wadjiji sedang di luar kota, kata sumber yang tidak mau menyebutkan namanya kepada Serambi, kemarin.

Pemanggilan ini, menurut sumber itu, berkaitan dengan kelengkapan berkas yang harus dipenuhi kembali sesuai permintaan KPK pada pemeriksaan sebelumnya. Dengan adanya pemanggilan ini, agenda sidang ditunda.

Padahal, kemarin sejumlah kepala dinas provinsi NAD sempat datang ke gedung DPRD NAD. Tapi setelah diperoleh informasi bahwa pimpinan dewan tidak ada di tempat, para kepala dinas tersebut satu-persatu meninggalkan gedung dewan. Demikian juga dengan para anggota dewan yang hampir seluruhnya hadir.

Almanar, salah seorang anggota DPRD mengatakan terdapat sejumlah agenda sidang yang terpaksa ditunda karena terkait dengan berbagai kasus korupsi baik di eksekutif maupun legislatif.

Di antaranya, agenda Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) gubernur yang terus molor. Pada awalnya ditetapkan pada Mei lalu, tetapi sampai pertengahan bulan ini juga belum ada tanda-tandanya kapan ada dilaksanakan.

Menurutnya, langkah yang diambil KPK sudah tepat untuk mencari duduk persoalan sebenarnya. Bila seseorang tidak bersalah, makanya namanya harus direhabilitasi dan bila terbukti bersalah maka harus diproses secara hukum. Semua sama di mata hukum, tak ada perbedaan baik si kaya maupun miskin, katanya.

Sementara itu, Taqwaddin, Ketua Pemuda Muhammadiyah NAD, mengatakan rumusan korupsi ini cukup sederhana. Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) sama dengan Rancangan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (RKKN). Artinya dalam RAPBD, eksekutif maupun legislatif tidak transparan karena tidak melibatkan publik, katanya.

Apalagi, kata dia, korupsi di NAD sudah dirancang dengan sistematis dan sinergis antara kedua pihak. Bagaimana tidak, DPRD memiliki kekuasaan besar dalam menetapkan RAPBD. Sehingga dalam kasus heli, Seulawah NAD Air, mesin genset dan lainnya, tentu saja melibatkan DPRD NAD, kata dia.

Walaupun demikian, tambahnya, semuanya harus diserahkan pada hukum dengan mengedepankan azas praduga tidak bersalah. Sebelum hukum memutuskan seseorang bersalah, maka publik tidak dapat memvonis seseorang, tambahnya. (Serambi Indonesia)

Sumber: Kompas, 16 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan