KPK Minus Antasari
Komisi Pemberantasan Korupsi kembali dilanda musibah. Setelah Suparman, penyidik KPK, menerima suap dalam menangani korupsi PT Industri Sandang Nusantara, kini musibah menghadang Ketua KPK Antasari Azhar terkait dengan kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Meski status tersangka tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas KPK, kejadian yang menimpa Antasari memberikan beban psikologis berbeda bagi KPK jika dibandingkan dengan kasus suap yang dilakukan Suparman. Dan, beban itu kian berat dengan posisi Antasari sebagai Ketua KPK.
Dengan musibah ini, banyak kalangan khawatir kejadian Antasari potensial dimanfaatkan untuk mendiskreditkan sekaligus mendelegitimasi KPK. Kekhawatiran itu masuk akal karena para perampok uang negara tidak pernah merasa nyaman dengan KPK. Bahkan, beberapa episentrum korupsi yang selama ini sulit disentuh penegak hukum merasa terancam dengan kehadiran KPK.
Abaikan ”warning”
Pada pengujung 2007, saat proses seleksi dan fit and proper test pimpinan KPK generasi kedua sedang berlangsung, sejumlah kalangan yang concern dengan pemberantasan korupsi berupaya me- warning tim seleksi dan DPR untuk berhati-hati dalam memilih pimpinan KPK. Dalam Menjemput Kematian KPK (Kompas, 5/12/2007) saya pernah mengemukakan, jika gagal memahami signifikansi kehadiran KPK sebagai extraordinary body dalam pemberantasan korupsi, hasil seleksi dan fit and propert test akan menjadi kereta mayat yang bergerak menjemput kematian KPK.
Meski tulisan itu tidak eksplisit menyebut nama, warning itu salah satunya ditujukan kepada Antasari. Bahkan, hasil rekam jejak (tracking) yang dilakukan Juli-Oktober 2007, ICW dan sejumlah kalangan meminta Antasari untuk tidak diloloskan. Namun, warning dan permintaan itu tidak mampu mengubah keputusan politik saat itu. Celakanya, di tengah penolakan itu, DPR justru memilih Antasari menjadi Ketua KPK.
Kejadian ini menambah panjang catatan kegagalan DPR dalam memilih pejabat publik. Apalagi pada proses fit and proper test pimpinan KPK generasi kedua, isu suap amat menyengat ke permukaan. Karena itu, menjadi masuk akal jika ada pendapat yang mengatakan, ketidakmampuan KPK menuntaskan skandal korupsi yang melibatkan anggota DPR merupakan buah ketidakberesan proses fit and proper test.
Isolasi
Sebagai bagian dari upaya menyelamatkan institusi KPK, langkah cepat pimpinan KPK yang lain dengan memberhentikan sementara Antasari menjadi pilihan tak terelakkan. Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang KPK menyatakan, dalam hal pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya. Maka, pemberhentian sementara itu harus dibaca sebagai langkah isolasi agar kewenangan besar yang dimiliki KPK tidak disalahgunakan ketika pimpinan KPK tersangkut tindak pidana.
Agar tindakan isolasi berjalan efektif, sesuai dengan perintah Pasal 32 Ayat (3) UU KPK, Presiden harus segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara Antasari. Surat pemberhentian presiden itu menjadi penting agar langkah cepat pimpinan KPK tak dimaknai sebagai cuti. Sebagaimana dilansir Kompas.com (3/5), Antasari menyampaikan permohonan cuti kepada pimpinan KPK. Karena itu, pimpinan KPK dilaksanakan secara presidium. Perlu dicatat, tidak ada istilah cuti bagi pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana. Apalagi, secara hukum, ”cuti” dan ”diberhentikan sementara” punya makna dan konsekuensi berbeda.
Selain itu, langkah hukum terhadap Antasari harus dilakukan dengan lebih intensif. Dalam kaitan itu, kepolisian harus segera menyelesaikan proses awal agar lebih cepat diserahkan ke tahap berikut. Dari spektrum yang ada, bisa jadi banyak pihak berkepentingan dengan kasus Antasari. Karena itu, agar kasus ini tidak ”masuk angin” penyelesaian cepat dan tepat menjadi keniscayaan.
Tidak hanya itu, agar kasus Antasari tidak terlalu lama membebani KPK, jika bukti-bukti keterlibatan cukup kuat, kasus ini bisa segera dilimpahkan ke pengadilan. Sekiranya hal itu dilakukan, Antasari segera diisolasi permanen dari KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK mengamanatkan, pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan apabila menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.
Minus Antasari
Kesepakatan pimpinan KPK untuk sementara waktu ”melepaskan” kewenangan Ketua KPK tepat dilakukan untuk memberikan demarkasi tegas antara Antasari dan KPK guna mempertahankan citra KPK dalam pemberantasan korupsi. Dengan langkah itu, ke depan KPK akan berjalan tanpa Antasari. Bahkan bukan tidak mungkin sekiranya kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, keberadaan Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK segera akan menamatkan karier Antasari di KPK.
Meski tindak pidana kejahatan yang disangkakan tidak langsung terkait dengan tugas KPK, kasus yang menimpa Antasari tetap akan memberikan image negatif bagi KPK. Agar hal itu tidak berdampak lebih buruk, pimpinan KPK harus bekerja ekstra keras. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir, performance KPK cenderung menurun. Dari sejumlah perbincangan di antara sesama penggiat antikorupsi, Antasari dinilai memberikan kontribusi atas penurunan kinerja KPK.
Terlepas dari penilaian itu, sebagai bagian dari penyelamatan KPK, pimpinan KPK minus Antasari harus mampu memulihkan kepercayaan publik dengan menuntaskan penyelesaian semua skandal korupsi yang terbengkalai selama ini. Misalnya, kasus aliran dana YPPI Bank Indonesia yang melibatkan sejumlah mantan petinggi BI dan elite politik di DPR. Sejauh ini, KPK seperti kehilangan nyali menyentuh anggota DPR yang terindikasi menerima aliran dana itu. Atau, penyelesaian kasus Agus Condro yang untouchable tidak tentu rimbanya.
Sekiranya pimpinan KPK minus Antasari mampu menyelesaikan aneka skandal korupsi yang tidak tuntas karena tebang pilih, harapan dan kepercayaan publik tidak akan pernah pudar kepada KPK.
Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi FH Unand, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 5 Mei 2009