KPK Kaji Hasil Pemeriksaan Antasari

Bila terbukti melanggar kode etik, bisa diberhentikan dengan tidak hormat dari posisi ketua.

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah merapatkan hasil pemeriksaan Antasari Azhar bersama tim Pengawas Internal. Jika hasil klarifikasi menunjukkan ada pelanggaran kode etik, maka KPK akan segera membentuk Komite Etik untuk menentukan sanksi administratif bagi sang ketua non aktif.

"Pekan lalu sudah meminta keterangan Pak AA. Sekarang sedang dilaporkan kepada pimpinan. Nanti akan ditentukan apakah dibuat komite etik atau tidak," ujar Kabiro Humas KPK, Johan Budi kepada Jurnal Nasional, Senin (24/8).

Tanggal 19 Agustus silam, tim Pengawas Kode Etik KPK yang dipimpin oleh Direktur Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM), Chesna Fizetti Anwar telah memeriksa Antasari di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Pemeriksaan ini untuk meminta klarifikasi atas dugaan pelanggaran Kode Etik Pimpinan KPK yang dilakukan oleh Antasari selama menjabat sebagai ketua. Salah satu materi pemeriksaan yakni soal pertemuan Antasari dengan Direktur PT Masaro Radiocom Anggoro Wijaya di Singapura.

Johan membenarkan jika ada orang lain yang ikut diperiksa terkait pemeriksaan kasus pelanggaran kode etik pimpinan oleh Antasari. Namun, juru bicara komisi antikorupsi itu enggan menjelaskan identitas para pemberi informasi. "Ada beberapa yang dimintai informasi. Tidak termasuk empat pimpinan," lanjut Johan.

Formasi anggota Komite Etik yang akan mengadili Antasari terdiri atas dua orang pimpinan KPK, dua penasihat KPK dan dua pihak independen yang berasal dari luar komisi antikorupsi. Sanksi paling berat yang bisa dijatuhkan oleh komite yakni memberhentikan Antasari dari posisi ketua secara tidak hormat.

Gratifikasi

Pada kesempatan yang sama, Johan Budi juga mengiyakan bahwa pihak komisi antikorupsi sudah menerima uang Rp100 juta yang dikategorikan sebagai gratifikasi. Pihak pelapornya juga sudah diketahui, yakni anggota Komisi IV DPR dari fraksi PKB, Mufid Busyairi.

Menurut Johan, karena pihak pemberinya tidak jelas maka uang tersebut dianggap gratifikasi. "Sudah disimpulkan itu adalah gratifikasi, diserahkan kepada negara," lanjut Johan.

Mufid sendiri mengaku jika tidak mengetahui siapa pemberi uang termasuk apa motif di balik pemberian uang tersebut. "Tidak tahu. Sudah saya sampaikan ke KPK," kata Mufid singkat.

Mufid juga tidak mau menjelaskan perihal fungsinya sebagai anggota salah satu tim pembahasan di DPR. Ia hanya menghimbau kepada rekan-rekannya di DPR agar ikut mengembalikan uang tersebut jika memang menerimanya. "Yang hak diambil, kalau yang tidak ya dikembalikan," ujar Mufid.

Politisi PKB yang pernah diperiksa KPK sebagai saksi untuk kasus dugaan korupsi Tanjung Api-api ini menerima kiriman amplop berisi uang Rp100 juta pada tanggal 18 Agustus lalu. Kemudian sehari setelahnya, Rabu (19/8) Mufid segera menyerahkannya ke Direktorat Gratifikasi KPK.

Bagi legislator lain yang merasa menerima dana yang tidak jelas, KPK memberikan waktu selama 30 hari untuk melapor ke Direktorat Gratifikasi. Jika tidak melapor juga sampai batas waktu yang diberikan maka dapat ditindak sebagai penerima suap.[by : Melati Hasanah Elandis]

Sumber: Jurnal nasional, 25 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan