KPK: Jangan Perdagangkan Perizinan

Berbagai bentuk perizinan di level pemerintahan apa pun jangan pernah diperdagangkan. Tindakan demikian selain berpengaruh buruk terhadap dunia investasi, juga membuka peluang terjadinya korupsi.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah menegaskan hal itu dalam seminar bertajuk ”Peningkatan Akuntabilitas Layanan Publik dengan Mewujudkan Zona Integritas”, Selasa (30/11) di Kota Surabaya.

”KPK bekerja sama dengan kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah daerah memberi saran terkait administrasi pemerintahan, terutama tentang layanan publik dalam menghindarkan tindak pidana korupsi,” tutur Chandra.

Surabaya merupakan salah satu dari tujuh kota yang menjadi proyek percontohan zona integritas. Upaya perbaikan dilakukan di antaranya melalui pelayanan publik, yang cepat, tepat, juga murah.

Persoalannya, kebanyakan pelayanan publik memiliki kelemahan, di antaranya prosedur tidak jelas dan berbelit-belit. Kerap persyaratan yang ditetapkan terlalu banyak, tetapi tetap memakan waktu lama tanpa kepastian.

Diskriminasi perlakuan juga sering terjadi, tergantung koneksi, kolusi, percaloan, atau faktor lainnya. Belum lagi lokasi pelayanan yang tidak nyaman, sikap petugas tidak baik, terlalu banyak meja, dan lokasi pelayanan kurang terjangkau.

Oleh karenanya, kata Chandra, KPK mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki prosedur pelayanan publik. Masyarakat jangan sampai kesulitan memperoleh informasi akurat dan menjadi korban praktik oknum yang berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat.

”Makanya perizinan jangan diperdagangkan. Ingat, bahwa PAD bukan berasal dari perizinan, melainkan beberapa pos, di antaranya retribusi dan pajak," kata Chandra.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membenarkan bahwa pihaknya perlu melakukan pembenahan pada berbagai aspek. ”Sebagian sudah kami lakukan, tetapi ada juga yang baru masuk rencana aksi daerah. Namun, semua kami proses termasuk perizinan,” ujar Risma.

Menurut dia, salah satu bentuk pembenahan oleh Pemkot Surabaya adalah melakukan penyempurnaan sistem pelayanan publik. Mekanisme perizinan yang semula berbelit-belit dipotong dan diganti dengan satu sistem informasi terintegrasi satu jendela berbasis internet. ”Kami menggunakan single windows permitt system yang disebut SWIPERS,” kata Risma.

Indeks persepsi korupsi
Pada kesempatan berbeda, Lembaga Bantuan Hukum Surabaya memaparkan indeks persepsi korupsi (IPK) 2010 oleh Transparency International Indonesia (TII). Lembaga tersebut menyurvei 9.237 responden pelaku bisnis mulai bulan April hingga Oktober 2010 untuk mengukur tingkat korupsi di 50 kota di Indonesia, 30 di antaranya ibukota provinsi.

Dalam peluncuran ke-4 IPK oleh TII, terlihat bahwa Surabaya tergolong lima kota dengan IPK terendah. Dengan skor IPK 3,94, Surabaya berada di bawah Jambi (4,13) dan Makassar (3,97). Dua kota yang berada di bawah Surabaya adalah Cirebon dan Pekanbaru yang sama-sama memiliki skor 3,61. (BEE)
Sumber: Kompas, 1 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan