KPK Jangan Berhenti; Rokhmin Dahuri Divonis Tujuh Tahun Penjara

Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri terbukti korupsi, sehingga divonis tujuh tahun penjara, hendaknya menjadi dasar pengusutan lebih lanjut bagi Komisi Pemberantasan Korupsi.

Siapa saja yang ikut menerima dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan, termasuk para politisi, baik atas nama pribadi maupun partai politik, harus diusut.

Demikian ditegaskan Koordinator Program Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Ibrahim Zuhdi Fahmi Badoh yang dihubungi Kompas, Senin (23/7). Ia menanggapi vonis yang dijatuhkan hakim Pengadilan Tipikor kepada Rokhmin.

KPK jangan hanya berhenti pada Andin H Taryoto (mantan Sekjen DKP) atau Rokhmin. Perkara ini sudah menjadi isu publik. Putusan ini sudah cukup menjadi bekal bagi KPK menelusuri lebih lanjut ke mana saja dana nonbudgeter DKP mengalir, kata Fahmi.

Dalam sidang sekitar tiga jam, majelis hakim yang diketuai Mansyurdin Chaniago memvonis Rokhmin tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta, yang jika tidak dibayar diganti dengan enam bulan kurungan.

Barang bukti uang tunai Rp 1,323 miliar, tanah dan tambak di Lampung atas nama Pigoselpi Anas (istri Rokhmin), serta satu mobil Toyota Camry, dirampas untuk negara. Putusan itu lebih berat daripada tuntutan jaksa Suwarji, yakni enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Sambil bersandar di kursinya, Rokhmin menggeleng-gelengkan kepala saat putusan dibacakan. Saya berkeyakinan, saya tidak salah secara hukum. Ini bukti majelis hakim ditunggangi, kata Rokhmin.

Setelah sidang ditutup, pendukung Rokhmin di ruang sidang berteriak-teriak dan beberapa perempuan menangis histeris. Istri Rokhmin dan dua anaknya menangis. Salah satu di antaranya malah pingsan di ruang sidang, yang kemudian digotong ke ruang tunggu terdakwa.

Hadir mengikuti sidang di antaranya Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier.

Putusan majelis yang beranggotakan lima hakim diwarnai dissenting opinion atau beda pendapat dua hakim karier, yakni Mansyurdin Chaniago dan Moerdiono, dengan tiga hakim nonkarier, yakni Dudu Duswara, I Made Hendra, dan Andi Bachtiar.

Seusai sidang, Rokhmin Dahuri menggelar jumpa pers didampingi istri serta pengacaranya, Mohammad Assegaf. Saya akan banding, bahkan kasasi, kata Rokhmin.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gayus Lumbuun, berpendapat, vonis hakim terlalu berat. Putusan hakim adalah putusan populer untuk menyenangkan masyarakat saja dan tidak memerhatikan legal justice. Ini berbahaya untuk kepastian hukum di masa depan, ujarnya.

Vonis itu juga diprotes ratusan nelayan di Cirebon dengan membakar perahu dan menutup jalan raya pantai utara. Protes serupa juga terjadi di Lamongan, Jawa Tengah. (IDR/ACI/NIT)

Sumber: Kompas, 24 Juli 2007
----------
Rokhmin Seret Freddy Numberi

Saya yakin tak bersalah.

Rokhmin Dahuri, yang kemarin divonis tujuh tahun penjara, berusaha menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam kasus dana nonbujeter. Setelah mendengar vonis, kepada wartawan di luar sidang dia mempertanyakan alasan Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum memeriksa Freddy Numberi--yang menggantikannya sebagai menteri.

Rokhmin menilai Freddy juga menggunakan dana nonbujeter yang sama untuk kepentingan pribadi. Kalau Pak Freddy mengatakan tidak tahu, saya juga bisa seperti itu, katanya.

Majelis hakim Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada Rokhmin Dahuri dalam kasus pengumpulan dana nonbujeter di Departemen Kelautan dan Perikanan. Mantan menteri itu juga dikenai denda Rp 200 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.

Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi, ujar ketua majelis hakim Mansyurdin Chaniago. Vonis ini lebih berat satu tahun daripada tuntutan jaksa. Hukuman ini juga lebih berat dibanding vonis atas mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan Andin H. Taryoto dalam kasus yang sama, yakni 18 bulan penjara.

Sebelumnya, Rokhmin juga pernah menuding KPK diskriminatif karena tidak menahan Freddy. Menurut Rokhmin, Freddy menggunakan dana nonbujeter lebih banyak daripada dirinya, seperti untuk perjalanan ke Roma dan perbaikan rumah.

Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean membantah jika dikatakan telah bertindak diskriminatif. Dia menegaskan Komisi sudah berencana memanggil Freddy Numberi guna mengembangkan kasus ini.

Freddy juga membantah tudingan Rokhmin. Dia mengaku tidak pernah memerintahkan pengumpulan dana itu. Saya justru yang menghentikan dan merapikan, katanya kepada Tempo beberapa waktu lalu. Dia mengakui, hingga 2006, masih ada pengumpulan dana. Maka, Untuk memutus rantai dana, saya bersihkan semua staf saya. Yang salah, saya ganti. (Koran Tempo, 13 Juli).

Kemarin Rokhmin meminta banding atas vonis yang disebutnya aneh itu. Hingga kini saya masih yakin tidak bersalah, ujarnya. Ia juga melayangkan surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas peradilan dirinya itu. Tapi Rokhmin belum menerima balasan. Dia mengatakan hanya Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi yang pernah menelepon.

Kemarin, begitu hakim selesai membacakan vonis dan mengetuk palu, para pendukung Rokhmin, yang mengaku dari wilayah Pantai Utara Jawa, histeris. Beberapa ibu menangis dan dua orang lelaki mengamuk. Mereka membanting pembatas ruang sidang dan mengancam akan memblokir jalan raya di Pantai Utara.

Pengadilan kemarin juga dihadiri para tokoh berbagai kalangan, antara lain Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin; Ketua Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Fuad Bawazier; Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring; sastrawan W.S. Rendra; dan tokoh Nahdlatul Ulama, Salahuddin Wahid. Mereka menyatakan memberi dukungan moral kepada Rokhmin.

Ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai kehadiran para tokoh itu dapat memberikan pesan moral buruk kepada publik. Bisa-bisa disalahartikan sebagai dukungan, ujarnya. YUDHA SETIAWAN | KARTIKA CHANDRA | TITO SIANIPAR
_____________________________
Siapa Menyusul Rokhmin

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri akhirnya diganjar vonis tujuh tahun penjara oleh pengadilan korupsi karena dana nonbujeter yang dia kumpulkan di departemennya. Sebelumnya, dua anak buah Rokhmin juga telah divonis.

Komisi Pemberantasan Korupsi pun telah memeriksa sejumlah nama yang diduga menerima kucuran dana ini--dari Amien Rais hingga Akbar Tandjung. Akankah mereka bernasib seperti Rokhmin? Inilah yang sudah divonis dan yang sedang dibidik:

Yang sudah Divonis

1. Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan
Mengumpulkan dana Rp 31,7 miliar dan uang saku Rp 15 juta.
Vonis: 7 Tahun

2. Andin H. Taryoto, Mantan Sekretaris Jenderal Departemen
Tugas: membagi-bagi duit ke anggota DPR
Vonis: 18 bulan

Yang Dibidik

1. Freddy Numberi, Menteri Kelautan
Diduga masih mengumpulkan dana nonbujeter 2004-2006 Rp 6 miliar.
Belum diperiksa KPK.

2. Chofifah Indar Parawansa, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan
Menerima Rp 50 juta pada 2004 dan Rp 30 juta pada 2006.

3. Akbar Tandjung, mantan Ketua DPR
Diduga menerima Rp 100 juta pada 2004.
Ketika diperiksa KPK, mengaku tidak menerima.

4. A.M. Fatwa, Wakil Ketua MPR
Mengaku menerima Rp 20 juta pada 2003-2004, sudah diperiksa KPK.

5. Fahri Hamzah, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera
Mengaku menerima Rp 150 juta pada 2002-2004, sudah dipanggil KPK.

6. Suswano, anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera
Menerima Rp 150 juta (sudah dikembalikan), sudah diperiksa KPK.

7. Slamet Effendi Yusuf, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar
Menerima Rp 25 juta pada 2002 dan Rp 62,5 juta pada 2004.

8. Amien Rais, calon presiden
Menerima Rp 200 juta.
Untuk bayar iklan TV, katanya.

9. Salahuddin Wahid, calon wakil presiden
Diduga menerima Rp 20 juta.
Untuk keperluan pribadi, katanya.

10. Abdurrahman Wahid, mantan presiden
Saksi menyebutkan Rokhmin menyerahkan Rp 60 juta langsung kepadanya.
Belum diperiksa KPK.

11. Hazim Muzadi, calon wakil presiden
Menerima Rp 10 juta pada 2002, sudah diperiksa KPK.

12. Munawar Fuad Nuh, mantan anggota staf khusus Susilo Bambang Yudhoyono saat pemilihan presiden
Mengaku menerima dana Rp 150 juta.

Sumber: dokumen pemeriksaan KPK dan dokumen yang diperoleh Tempo

Bahan: TITO SIANIPAR | AQIDA SWAMURTI | ERWIN DARIYANTO

Sumber: Koran Tempo, 24 uli 2007
------------
Dua Hakim Beda Pendapat

Putusan hakim yang memvonis Rokhmin 7 tahun, ternyata, tidak bulat. Dua hakim karir, Mansyurdin Chaniago dan Moediono, memilih berbeda pendapat (dissenting opinion). Menurut Moerdiono, pendapat tiga hakim ad hoc (I Made Hendra Kusuma, Dudu Duswara, dan Andi Bachtiar) bahwa terdakwa memenuhi unsur pasal 12 e UU Antikorupsi dinilai tidak tepat.

Menurut dia, unsur memaksa pada pasal tersebut tidak terbukti dalam fakta persidangan. Tidak ditemukan unsur paksaan, baik secara fisik maupun psikis, ujarnya. Dia lebih sependapat jika Rokhmin dihukum berdasar pasal 11 UU Antikorupsi.

Namun, tiga hakim lainnya punya pertimbangan sendiri untuk menghukum Rokhmin. Rokhmin dinyatakan melanggar dan memenuhi unsur pasal 12 e UU Antikorupsi yang merupakan dakwaan primer. Menurut Dudu Duswara, perbuatan terdakwa memenuhi unsur memiliki maksud menguntungkan diri sendiri dan orang lain. Meski sebagian dana yang dihimpun dari pejabat eselon I dan dinas-dinas DKP itu digunakan untuk kegiatan sosial dan membiayai program-program DKP yang tidak masuk mata anggaran APBN, fakta persidangan menunjukkan, Rokhmin pun memetik manfaat dari dana Rp 14,6 miliar tersebut.

Ada kepentingan terdakwa dan keluarga serta adik terdakwa yang dibiayai dana tersebut, ujar Dudu lantas menyebutkan rincian Rp 15 juta untuk ongkos naik haji Rokhmin, Rp 300 juta untuk orasi ilmiah Rokhmin di IPB, dan Rp 400 juta untuk pembelian mobil Toyota Camry yang diatasnamakan adik terdakwa.

Hakim berkacamata itu menambahkan, sebagai menteri, Rokhmin juga menikmati fasilitas yang dibiayai dana tersebut. Sebagai menteri, terdakwa juga menguntungkan orang lain, yaitu pihak-pihak yang diberi dana itu. Misalnya, para nelayan, calon presiden, tokoh-tokoh masyarakat, dan anggota DPR, jelas Dudu dalam sidang yang dimulai pukul 10.20 kemarin.

Perbuatan Rokhmin juga memenuhi unsur melawan hukum. Ada fakta-fakta hukum bahwa unit-unit kerja DKP melakukan upaya penyisihan dari dana pembangunan dan dana dekonsentrasi sehingga kualitas pembangunan tidak optimal, ujar Andi Bachtiar.

Selain memungut dana dari internal DKP, terdakwa terbukti memungut dana dari rekanan dan pihak ketiga yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan DKP. Apa yang dilakukan terdakwa, tambah dia, jelas tidak sesuai dengan asas umum penyelenggara negara yang baik sesuai UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Perbuatan terdakwa berimplikasi pada kurangnya dana APBN. Yang seharusnya untuk pembangunan disisihkan untuk membiayai kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan DKP, jelas hakim asal Makassar tersebut. Mendengar itu, Rokhmin tampak gelisah di bangku terdakwa. Guru Besar IPB tersebut berganti-ganti posisi duduk.

Unsur substansial dalam pasal 12 e UU Antikorupsi, yakni memaksa seseorang, juga dianggap terpenuhi. Imbauan terdakwa diartikan sebagai perintah atau instruksi seorang pimpinan. Lebih-lebih disampaikan dalam forum resmi sehingga tidak ada pilihan lain (bagi bawahan, Red), meski dirasa sebagai hal yang memberatkan, membebani, dan keliru, ujar Andi. Meski tidak secara fisik, apa yang dilakukan Rokhmin dapat dikategorikan paksaan secara psikis.

Berdasar fakta persidangan, majelis hakim juga menolak kategorisasi Rokhmin sebagai pihak yang turut serta (medepleger). Unsur pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP dinyatakan terbukti, Rokhmin dan Andin dinyatakan memiliki peranan yang sama derajatnya. Alasannya, enam hari sebelum rapim DKP pada 20 Februari 2004 di Kantor DKP, Rokhmin memanggil Andin untuk membicarakan soal pungutan tersebut. Tidak manggil mulia, tidak manggil, bantah Rokhmin. Dia tampak cemberut, lantas melipat kedua tangannya di dada.

Usai memprotes hakim, Rokhmin terlihat mengirimkan SMS lewat comunnicator-nya. Entah apa isinya dan dikirim kepada siapa. Saya nggak kuat lagi karena sakit. Mohon izin, saya tidak tahan lagi, ujar Rokhmin usai tahu bahwa dirinya dinyatakan memenuhi semua unsur dalam dakwaan primer. Tapi, permohonan Rokhmin itu ditolak hakim.

Tak ada satu alasan pun yang membebaskan Rokhmin dari pidana. Menurut hakim, kalaupun menteri era Megawati itu merasa anggaran yang diberikan APBN kurang, dia seharusnya berkoordinasi dengan pemegang otoritas keuangan, atau bahkan dengan presiden. Apa jadinya negara ini kalau menterinya mengumpulkan dana sendiri-sendiri, apalagi menerima pemberian dari pihak ketiga, ujar I Made Hendra Kusuma. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 24 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan