KPK: Indonesia Darurat Korupsi; Istana, Cendana, dan Senjata Belum Disentuh

Serangan balik terhadap aksi-aksi pemberantasan korupsi, termasuk juga belum adanya upaya perbaikan sistem, menunjukkan masih belum adanya kesadaran Indonesia dalam kondisi darurat korupsi. Aneka terobosan untuk mengobati Indonesia kerap kali dicibir sebagai upaya mengada-ada.

Kesunyian dan kesendirian masih menemani niat baik melawan korupsi.
Hal ini disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki dalam pidato peringatan Hari Ulang Tahun Ke-2 KPK, Jakarta, Kamis (29/12). Taufieq menyebut pidatonya sebagai refleksi subyektif pimpinan KPK dengan judul Gerakan Antikorupsi, Sebuah Perang Sunyi di Belantara Curiga.

Hadir dalam acara itu antara lain Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) Hendarman Supandji, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, Direktur Jenderal Pajak Hadi Purnomo, anggota Komisi Yudisial Sukotjo Soeparto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Taufieq mengatakan, perang melawan korupsi selalu vis a vis dengan fitnah, kecurigaan, dan serangan balik. Serangan balik dilancarkan bila upaya pemberantasan korupsi mulai mengusik kepentingannya, orang-orangnya, dan/atau kelompoknya. Serangan pun kerap mengarah ke personal.

Kadang, katanya, modus serangan balik dibungkus rapi dengan penilaian akan adanya pelanggaran prosedur hukum dan pelemahan sistematis yang perlahan terhadap institusi pemberantas korupsi.

Pengalaman itu rasanya telah banyak dialami selama hampir dua tahun berdirinya KPK, pun waktu-waktu sebelumnya berbagai upaya pemberantasan korupsi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memimpikan Indonesia yang bersih, dan waktu pula telah mengajarkan bahwa hanya segelintir orang saja yang bermimpi Indonesia bebas korupsi kata Taufieq.

Hanya jadi penonton
Aksi-aksi penindakan yang dilakukan KPK seharusnya hanya menjadi pelecut untuk perbaikan sistem birokrasi di Indonesia. Namun, faktanya semua hanya menjadi penonton.

Semua itu, apakah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, tetap diam terpaku meski satu per satu fakta dipertontonkan. Tidak ada satu pihak pun yang menco- ba memanfaatkan momentum untuk perbaikan sistem, kata Taufieq tegas.

Akibatnya, aksi-aksi pemberantasan korupsi dari tahun ke tahun masih berkutat pada masalah yang sama. Misalnya, Ketua Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Sugiarto, sudah menangkap seorang pejabat Polri, mengobrak-abrik Dolog, Pertamina, maupun Departemen Agama. Namun, 37 tahun kemudian pemandangan tetap sama.

Minyak, gula, dan beras masih menjadi komoditas yang dikorupsi. Lembaga-lembaga negara dan BUMN masih menjadi ladang korupsi. Artinya, 37 tahun kemudian Indonesia masih tetap berjalan di tempat karena aksi penindakan yang bisa saja radikal ternyata tak membawa perubahan. Kuncinya satu, momentum penindakan tidak segera diikuti dengan perbaikan sistem yang bisa mencegah praktik-praktik korup, ujar Taufieq.

Realitas bahwa pemberantasan korupsi masih setengah hati, masih setengah niat, adalah realitas yang tidak bisa dimungkiri. Semua bersorak saat koruptor yang ditangkap adalah lawan politiknya, orang lain yang tak dikenal dekat, tetapi sikap ambigu muncul saat teman, sahabat, saudara, atau anggota separtai dikatakan koruptor. Ramai-ramai teriakan menghujat dilancarkan untuk menyerang aksi pemberantasan korupsi.

Di samping itu, semua kerumitan praktik korupsi menjadi problem tersendiri. Kerumitan tersebut menjadi sebuah komplikasi yang nyata karena upaya pengungkapan praktik korupsi belum didukung tiga UU yang dipersyaratkan seharusnya ada, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, dan UU Pembuktian Terbalik.

Dengan adanya ketiga UU itu, ditambah cara berpikir progresif dengan strategi aktif menjemput bola, maka upaya-upaya mencari alat bukti untuk mengungkap praktik korupsi bisa lebih cepat dan lengkap. Negara dalam darurat korupsi haruslah menjadi pemahaman bersama sehingga terobosan-terobosan agresif tidak membuat masing-masing kita terkejut-kejut dan berteriak menghujat, ucap Taufieq.

Belum luar biasa
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana, mengatakan, meski di tingkat regulasi pemberantasan korupsi sudah ada perbaikan, masih ada persoalan yang belum pernah diselesaikan dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk apa yang dilakukan KPK, Tim Tastipikor, Kejaksaan Agung, dan kepolisian.

Pemberantasan korupsi, lanjutnya, tidak akan punya efek jera jika yang terkena jaring hanya kopral ataupun orang-orang yang tak punya tameng politik.

Ada tiga wilayah berbahaya yang belum disentuh KPK, Tim Tastipikor, Kejaksaan Agung, dan kepolisian, yakni Istana, dalam hal ini elite atas, Cendana dan kroni-kroninya, serta senjata atau tentara. Tanpa melakukan tindakan progresif di wilayah-wilayah berbahaya ini, pemberantasan korupsi masih tak punya efek jera, kata Denny.

Meski komitmen pemberantasan korupsi sudah dimiliki pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemberantasan korupsi tidaklah luar biasa. Artinya, lanjut Denny, pemberantasan korupsi tak akan mungkin terkena pada orang-orang yang punya tameng politik.

Kasus Komisi Pemilihan Umum, kata Denny lagi, menunjukkan salah satu bukti. KPK bisa menyentuh serta memenjarakan Mulyana dan Nazaruddin, tetapi belum berhasil menyentuh dua mantan anggota KPU yang memiliki tameng politik. Artinya, pemberantasan korupsi masih biasa-biasa saja, kata Denny.

Problem utama dalam pemberantasan korupsi, lanjutnya, terletak pada nyali atau keberanian. Hal ini yang belum tampak, termasuk apa yang telah dilakukan KPK, Kejaksaan Agung, kepolisian, dan Tim Tastipikor selama ini. (VIN)

Sumber: Kompas, 30 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan