KPK Harus Segera Supervisi Perkara Dugaan Korupsi Pengembangan Lahan di Kawasan Hotel Indonesia

KPK HARUS SUPERVISI PERKARA DUGAAN KORUPSI PENGEMBANGAN LAHAN

DI KAWASAN HOTEL INDONESIA

- Kejaksaan jangan “main-main” dalam penanganan perkara korupsi kelas kakap -

Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 23 Februri 2016 lalu meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengembangan lahan di Kawasan Hotel Indonesia. Kejagung meyakini adanya unsur pidana dalam pelaksanaan kontrak pembangunan kompleks di Kawasan Hotel Indonesia yang dibuat antara Hotel Indonesia Natour (HIN), dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) dan PT Grand Indonesia.

Proses penyelidikan kemudian penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung merupakan tindak lanjut atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit  PDTT BPK pada tahun 2015 lalu menyatakan ada potensi kerugian negara sebesar Rp 1,296 triliun yang dialami oleh BUMN PT Hotel Indonesia Natour (HIN), menyusul kerja sama yang dijalin dengan CKBI dan PT Grand Indonesia (GI).

Kerja sama yang dimaksud adalah pengembangan lahan yang berada di kawasan Hotel Indonesia melalui perjanjian Build, Operate dan Transfer (BOT). Dalam hal ini, CKBI sebagai penerima hak BOT dari Hotel Indonesia Natour, berkewajiban untuk membangun dan mengembangkan lahan Hotel Indonesia agar kualitas Hotel Indonesia dapat membaik dan dapat kembali bersaing di tengah perkembangan hotel-hotel swasta.

Dalam PDTT BPK 2015, BPK mendapati sejumlah temuan yang menjadi salah satu dasar bagi Kejaksaan Agung untuk mengusut perkara dugaan korupsi ini. Temuan tersebut adalah, pertama perjanjian BOT antara HIN dengan CKBI dan GI tidak sesuai dengan proses perencanaan awal. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari keterlibatan GI pasca proses perencanaan dilakukan tanpa persetujuan pemegang saham.

Kedua, HIN kehilangan kesempatan untuk memperoleh nilai kompensasi yang lebih besar dari perpanjangan hak opsi. Berdasarkan temuan PDTT BPK, ditemukan bahwa kompensasi dari hak perpanjangan opsi di tahun 2010 sebesar Rp400 miliar, HIN berpotensi kehilangan pendapatannya. Berdasarkan temuan BPK, besar potensi pendapatan HIN dari kompensasi perpanjangan hak opsi BOT adalah sebesar Rp1,296 T.

Penilaian tersebut dilakukan bukan hanya terhadap lahan yang dimiliki HIN, sebagaimana yang dilakukan oleh GI dalam penghitungan kompensasi terhadap HIN, melainkan juga terhadap 2 (dua) gedung baru yang didirikan oleh GI. Kedua gedung tersebut adalah Menara BCA dan Apartemen Kempinski, di mana kedua gedung ini tidak termasuk dalam objek perjanjian BOT yang ditandatangani oleh HIN dan GI.

Akibat dari perpanjangan hak opsi BOT ini adalah, GI berhak untuk mengelola Hotel Indonesia beserta fasilitas lain yang terdapat dalam kompleks Hotel Indonesia diperpanjang hingga 20 tahun. Dengan demikian, perjanjian BOT ini berlaku sejak 2004 – 2055.

Hingga saat ini proses penyelidikan dan penyidikan dalam perkara dugaan korupsi pengembangan kawasan Hotel Indonesia yang dilakukan Kejaksaan telah memangil dan atau memeriksa sejumlah pihak sebagai saksi. Mereka antara lain Laksamana Sukardi (mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara /BUMN), Edwin Hidayat Abdullah (Deputi Bidang Energi,  Logistik, Kawasan dan Pariwisata di Kementrian BUMN, Fransiskus (Direktur Utama PT Grand Indonesia) dan Johanies (Dirut PT Cipta Karya Bumi Indah). 

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencermati hasil audit BPK dan proses hukum yang dilakukan Kejagung dalam penanganan dugaan korupsi pengembangan lahan di kawasan Hotel Indonesia. Dalam hal ini ICW meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi terhadap langkah atau kinerja Kejaksaan dalam penanganan perkara dugaan korupsi pengembangan lahan di kawasan Hotel Indonesia.

Permintaan supervisi dalam perkara ini didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Pertama, adanya kejanggalan dalam penanganan perkara. Meski penanganan perkara dugaan korupsi dalam perkara ini telah ditingkatkan ke penyidikan, namun hingga saat ini pihak Kejagung belum menetapkan satu pun pelaku sebagai tersangka korupsi. Kenaikan status penanganan perkara ke tahap penyidikan tanpa penetapan tersangka merupakan suatu hal yang tidak lazim.

Kedua, nilai potensi kerugian negara yang  terjadi dalam perkara ini – berdasarkan auidt BPK- sangat fantastis mencapai Rp 1,29 triliun. Artinya perkara dugaan korupsi ini tergolong sebagai perkara korupsi kelas kakap yang perlu mendapat perhatian khusus.

Ketiga, institusi Kejaksaan saat ini diragukan independensinya. Keraguan ini muncul karena HM. Prasetyo,  Jaksa Agung saat ini merupakan politisi dan kader dari Partai Politik (Nasional Demokrat). Posisi Jaksa Agung yang tidak independen sangat rentan dan membuka potensi adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu temasuk dari Partai atau Pimpinan Partai yang dapat mempengaruhi penanganan perkara (bahkan dihentikan).

Keempat, muncul kekhawatiran proses hukum perkara ini dihentikan dan dialihkan ke proses perdata. Kekhawatiran ini muncul karena Kejaksaan memiliki reputasi menghentikan sejumlah perkara korupsi kelas kakap yang dinilai kontroversial. Sebut saja sejumlah penghentian penyidikan perkara korupsi seperti pemberian fasilitas kredit PT Texmaco yang diduga melibatkan Marimutu Sinivasan, pengadaan di PLTU Borang di Sumatera Selatan yang diduga melibatkan Edi Widiono, skandal cessie Bank Bali yang diduga melibatkan Setya Novanto.

Proses supervisi yang dilakukan oleh KPK sangat penting untuk memastikan atau mendorong agar Kejaksaan Agung tidak “main-main” dalam penanganan perkara ini sehingga proses hukumnya bisa dituntaskan hingga ke tahap penuntutan.

Selain itu dalam hal KPK melakukan supervisi, maka dalam kondisi tertetntu perkara yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan dapat diambilalih oleh KPK.  Berdasarkan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2002 disebutkan KPK dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan yang ditangani oleh Kepolisian atau kejaksaan dengan alasan:

a.             laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b.            proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c.             penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d.            penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e.            hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f.              keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan


Jakarta, 20 April 2016


Indonesia Corruption Watch

(CP: Lalola Easter – 081290112168)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan