KPK Harus Prioritaskan Kasus Korupsi Pajak

Koordinator Indonesian Coruption Watch (ICW) Teten Masduki, mengatakan, yang harus diprioritaskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menindak korupsi yang memiliki sumber keuangan negara paling besar dan bila ingin ada konteks penegakan hukum lembaga peradilan, maka lembaga itu harus diobrak-abrik oleh KPK.

Namun, KPK belum mengarah ke situ, dan ini yang menjadi masalah. Sebagai contoh, kasus korupsi di Badan Komisi Pemilihan Umum (KPU), meski pendekatannya bagus, namun mungkin bukan kasus prioritas sebab untuk menanganinya dengan 50 orang penyidik dari KPK, dua tahunpun tidak akan selesai, kata Teten di Bandung, Selasa.

Seusai Diskusi Nasional dan Launching Album tentang Anti Korupsi di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, ia menambahkan, padahal itu tidak telalu signifikan dalam konteks pemulihan ekonomi, namun yang harus diprioritaskan oleh KPK adalah kasus korupsi pajak karena pajak merupakan dana yang paling besar.

Menurut Teten, lemahnya atau lambannya KPK dalam menangani kasus korupsi di Indonesia karena sumber daya manusia KPK sedikit dan KPK yang lebih awal menerima laporan dari masyarakat, sehingga lebih awal pula diserbu dari beberapa daerah. Semestinya dari sejak awal KPK tidak menerima laporan dari masyarakat, tetapi memilih sendiri kasus mana yang memiliki prioritas dan kredibilitas, jelasnya.

Teten mengatakan, penilaian terhadap kinerja KPK tidak bisa dilihat dari jumlah perkara , tetapi harus dilihat penanganan kasus per kasus yang ditangani KPK signifikan atau tidak, yakni dari efek jera, besarnya hukuman dan siapa yang diadili.

Dikatakan, berdasarkan pandangan Bank Dunia, korupsi merupakan kegagalan pemerintah dalam memperbaiki sistem hukum, sistem parlemen dan sistem birokrasi. Untuk menghapus kasus korupsi di Indonesia, pemerintah harus memperbaiki sistem hukum yang ada dan memperbaiki birokrasi yang sering ada peluang terjadinya korupsi, ujarnya.

Selain itu, tidak hanya pemerintah saja yang harus turun tangan untuk memberantas korupsi, melainkan juga masyarakat itu sendiri untuk ikut serta membantu dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Contohnya saja, di Padang, kasus korupsi sangat banyak sehingga seringkali diabaikan oleh pemerintah dan kejaksaan, namun dengan adanya dorongan dan desakan dari masyarakat pihak kejaksaanpun mau tidak mau harus segera memberantas korupsi. Namun lain halnya di Jabar, masyarakat atau organisasi masyarakat indikasinya selalu membela para koruptor, sehingga sering kali kasus korupsi di Jabar terkesan lamban, bahkan tidak terpecahkan, katanya.

Teten mengatakan, dalam memberantas korupsi di Indonesia tidak hanya pemerintah pusat saja yang bertindak dan menyebarkan virus anti korupsi, tetapi juga harus didukung oleh aparat pemerintahan yang berada di daerah. Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering kali menyebarkan virus anti korupsi, namun tidak didukung oleh bawahannya, bagaimana memberantas korupsi di Indoneisa, demikian Koordinator ICW.

Sementara itu, terkait kasus korupsi yang saat ini marak terjadi di Indonesia, hingga kini KPK telah menerima sekitar 9.500 laporan dari masyarakat tentang adanya penyalahgunaan uang negara. Laporan tersebut masuk sejak tahun 2004 lalu, namun hingga kini baru 20 kasus korupsi saja yang sudah berhasil ditangani KPK dan sudah diserahkan kepada kejaksaan dan pengadilan, kata Wakil Ketua KPK Erry Riyana Harja Pamekas.

Menurut dia, tidak semua laporan dari masyarakat itu dapat ditindaklanjuti karena hanya berupa laporan-laporan saja tanpa adanya bukti-bukti yang akurat. Erry mengatakan, laporan itu berasal dari masyarakat di Indonesia yang dikirimkan melalui kantor pos, datang sendiri ke KPK dan melalui Short Message Service (SMS).

Menurut dia, kasus korupsi di Indonesia cenderung meningkat disebabkan oleh ketidakseimbangan hubungan aparat pemerintah dan masyarakat, birokrasi pemerintah sendiri yang dapat mengakibatkan terjadinya korupsi.

Oleh karena itu, pemerintah harus lebih berani memberantas korupsi, memperbaiki birokrasi pemerintahan dan memperbaiki sistem hukum di Indonesia, demikian Erry Riyani Harja Pamekas.(ant/mkf)

Sumber: NU Antikorupsi-Selasa, 17 Januari 2006 20:22:35

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan