KPK Diminta Tuntaskan Kasus Korupsi Kehutanan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta segera menuntaskan penanganan kasus korupsi di sektor kehutanan. Sejumlah laporan kasus mafia hutan belum ditindaklanjuti secara serius.

Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho mengkritik terhentinya penanganan kasus korupsi kehutanan oleh KPK. Dalam kasus suap pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, misalnya, KPK hanya berhenti pada Wandojo Siswanto, mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Departemen Kehutanan dan anggota DPR RI Yusuf Emir Faisal dan Bachtiar Chamsyah.

Padahal, ada dugaan kuat keterlibatan Menteri Kehutanan Saat itu, MS Kaban, yang menunjuk langsung rekanan PT Masaro Interkom sebagai perusahaan rekanan. KPK juga seolah membiarkan pemilik PT Masaro, Anggoro Widjojo, yang sekian lama buron, serta tidak menyentuh nama-nama pihak yang disebutkan terdakwa di persidangan seperti Suswono, Muchtaruddin, Muswir, dan Sujud Sirajuddin yang menerima aliran dana dari Yusuf Emir Faisal.

"KPK punya kecenderungan membongkar tetapi tidak menuntaskan," tukas Emerson dalam konferensi pers di Warung Daun Cikini, Jakarta, Kamis (12/4/2012).

Selain kasus SKRT, sejumlah kasus kehutanan yang ditangani KPK juga terhenti. Emerson menyebut kasus Suap terkait pengalihfungsian hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau dan pemerasan terhadap dua perusahaan PT Almega Goesystem dan PT Data Script terkait proyek pengadaan GPS Geodetik, GPS Handheld, dan Total Station pada Departemen Kehutanan (Dephut). Juga, kasus penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) pada 15 perusahaan yang tidak kompeten dalam bidang kehutanan. "KPK harus mendalami keterlibatan semua pihak yang diduga terkait," tegas Emerson.

Tuntutan serupa diungkapkan Koordinator Jikalahari Riau, Muslim. Dia menyebut hasil temuan Satgas Pemberantasan Mafia Hutan mengenai janggalnya penerbitan SP3 terhadap 14 perusahaan yang diduga terlibat illegal logging di Riau. Kerugian negara akibat kekurangan penerimaan negara dari praktik pembalakan liar ini mencapai Rp 73,4 triliun.

Menurut Muslim, penghentian penyidikan terhadap 14 perusahaan ini janggal karena dari pantauan Jikalahari terhadap proses penanganan perkara, seluruh perusahaan tersebut terindikasi kuat melakukan penyuapan kepada kepala daerah untuk mendapatkan ijin pembukaan hutan. "Tidak benar bahwa perusahaan tidak terlibat, karena justru perusahaan lah yang menentukan sistem pembayarannya," kata Muslim.

Koalisi Anti Mafia Hutan meminta KPK segera menuntaskan kasus korupsi di sektor kehutanan. "SP3 ini bisa dibuka kembali,"tukas Muslim.  Farodlilah

klik di sini untuk mengunduh bahan yang berkaitan dengan konferensi pers ini...

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan