KPK Diminta Tegas dalam Korupsi Politik

Sejumlah kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi selama ini menunjukkan adanya korupsi politik di Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Karena itu, KPK harus tegas terhadap pejabat politik yang kebanyakan melibatkan partai maupun pejabat daerah. "Apalagi pembahasan anggarannya di DPR tak pernah terbuka," kata Peneliti Politik Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan dalam diskusi "Mengatasi Mafia Anggaran Dewan Perwakilan Daerah" di Jakarta kemarin.

Pembahasan anggaran itu disarankan untuk lebih transparan. Rapat kerja yang bersifat tertutup menjadikan korupsi politik sulit terungkap ke publik. Namun pengakuan politikus Partai Amanat Nasional di DPR, Wa Ode Nurhayati, menegaskan adanya mafia hukum di DPR. Selain itu, banyak kasus yang sudah terungkap mengenai permainan anggaran di DPR. Ia mencontohkan kasus Abdul Hadi Djamal dan Bulyan Royan.

Ketua Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang menyatakan mafia anggaran muncul karena partai politik belum mandiri soal keuangannya. Banyak politikus harus menyetor dana ke partai. Ada pula kebutuhan kampanye calon kepala daerah yang menguras duit. "Bahkan untuk mendaftarkan saja calon harus membayar," kata Sebastian. Setelah terpilih, kata dia, dua tahun pertama pejabat itu mengembalikan modalnya. Lalu tahun berikutnya mengumpulkan dana kembali untuk mencalonkan kembali. Persoalan ini dinilai sebagai salah satu penyebab munculnya mafia anggaran.

Wakil Ketua KPK Haryono Umar mengakui adanya dugaan mafia anggaran. Dia mencontohkan, pejabat daerah sudah sejak awal mengalokasikan 40 persen anggaran daerah untuk dirinya. "Sisanya ditenderkan," kata dia.

Menurut Haryono, sejumlah perilaku dan kebijakan pemerintah memang masih rawan merugikan keuangan negara. Ia mencontohkan aturan di Kementerian Keuangan yang potensial memunculkan tindak pemerasan dan suap. Potensi ini muncul karena aturan Kementerian tak cukup tegas dan terbuka ke publik. "Sehingga banyak pejabat daerah masih harus berkomunikasi dengan pejabat kementerian," kata Haryono. "Komunikasi ini bisa dimanfaatkan pejabat pusat." PURWANTO
Sumber: Koran Tempo, 28 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan