KPK Diminta Selidiki Korupsi Sukhoi

Dugaan korupsi dalam pengadaan pesawat Sukhoi dinilai merugikan negara sekitar Rp 800 miliar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menelusuri sejumlah kejanggalan dalam proyek pengadaan enam pesawat jenis Su-30 MK2 ini.

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Kontras, Imparsial, dan sejumlah anggota koalisi, Selasa (20/3/2011) melaporkan dugaan penggelembungan harga pembelian enam unit pesawat Sukhoi oleh Kementerian Pertahanan. Ada tiga kejanggalan utama dalam proses pengadaan perangkat Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) ini, dari mekanisme pembayaran yang menggunakan kredit komersial, pengunaan jasa broker, dan penggelembungan harga.

Direktur Program Imparsial, Al Araf, mengatakan, pemilihan sistem pembayaran melalui skema kredit komersial merugikan negara. Lebih efisien menggunakan skema kredit antarnegara yang memberikan bunga lebih rendah dan fasilitas cicilan. Dalam surat permohonan yang diajukan Kasau Marsekal Muda Edy Harjoko pada tahun 2010, diusulkan agar pembayaran dilakukan melalui kredit antarnegara dengan alasan efisiensi. Namun kemudian pada Maret 2011, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengajukan pembayaran dengan skema kredit komersial.

"Alasan yang diungkapkan Menhan, skema kredit antarnegara yang diajukan pemerintah Rusia dilengkapi sejumlah syarat yang memberatkan dan mengikat. Kalau memang memberatkan, mengapa MoU jual beli ditandatangani pada 2007 lalu?" tukas Al Araf.

Konsekwensi dari penggunaan skema kredit komersial, jangka waktu pengembaliah relatif pendek, yakni hanya 2-5 tahun. Selain itu, kredit ini juga menganut rate bunga tinggi sesuai rate pasar. Sementara, jika pembayaran dilakukan dengan skema kredit antarnegara, cicilan dapat diangsur hingga 15 tahun dengan bunga rendah, sekitar 5 persen.

Koalisi juga menilai janggal penggunaan jasa perantara (broker) dalam proyek ini. Pasalnya, proyek pengadaan barang dengan nilai besar seperti perangkat Alutsista biasanya menggunakan skema perjanjian antarnegara (G to G). Perusahaan yang ditunjuk Kemenhan sebagai perantara adalah PT Trimarga Rekatama, yang kemudian menerima fee sebagai perantara senilai 15-20 persen dari total nilai pengadaan barang.

Terkait penggelembungan harga, Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menjelaskan, ada sejumlah hal yang tidak wajar. Pertama, ada selisih USD 141,2 juta  dari anggaran yang diajukan kemenhan untuk pembelian 6 unit pesawat Sukhoi. Total anggaran yang dialokasikan untuk membeli 6 unit pesawat adalah USD 470 juta, sementara, sebagaimana dijelaskan Kemenhan, harga pembelian satu unit pesawat adalah USD 54,8 juta. "Ada selisih sisa senilai USD 141,2 juta yang perlu dijelaskan," kata Adnan.

Menurut versi pemerintah, sisa tersebut digunakan untuk membeli 12 mesin dan biaya pelatihan 10 pilot. Hitungan kasar biaya mesin dan pelatihan pilot adalah sebesar USD 78 juta. Ada selisih USD 56,7 juta atau setara Rp 538,6 miliar yang belum dijelaskan.

"Kami minta Kemenhan memberikan keterangan sejelas-jelasnya agar polemik ini segera berakhir. Kami akan ajukan permohonan informasi melalui mekanisme UU Keterbukaan Informasi Publik," tegas Adnan.

Selain melaporkan kepada KPK, sebelumnya koalisi telah menyampaikan sejumlah kejanggalan dalam pengadaan pesawat Sukhoi ini kepada Komisi I DPR Ri yang membidangi sektor pertahanan, Kamis (15/3/2012). Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan