KPK Diminta Hati-Hati soal Tanker Pertamina

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya perlu lebih hati-hati dalam menangani masalah penjualan dua kapal tanker very large crude carrier (VLCC) milik Pertamina, supaya jangan sampai masyarakat menilai pengadilan itu nantinya lebih bersifat balas dendam.

KPK perlu melihat bagaimana hukum pelepasan hak milik BUMN itu dan meneliti seberapa jauh kewenangan Pertamina melakukan penjualan dua kapal tersebut. Dengan melihat dua masalah itu, KPK akan menjadi lembaga yang dipercaya oleh masyarakat, kata dosen pascasarjana hukum bisnis Universitas Padjadjaran Yudha Bhakti, di Jakarta, kemarin.

Ia dimintai tanggapan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menilai proses penjualan dua kapal tanker itu melanggar Undang-Undang No 5/1999 tentang Praktik Monopoli dan Persaingan tidak Sehat. Keputusan KPPU itu kemudian diteruskan ke KPK untuk diproses lebih lanjut.

Yudha Bhakti mengingatkan agar jangan sampai masyarakat menilai, proses pengadilan yang akan digelar oleh KPK hanya bersifat pesanan. Artinya, KPK hanya menerima dan memproses pelanggaran ekonomi yang bersifat pesanan dari kelompok tertentu, katanya.

Jika proses penjualan itu sudah disetujui pemerintah, dalam hal ini Presiden Megawati, lanjut dia, tentu masalahnya akan menjadi lain. Yakni, tidak semata-mata bicara soal hukum pidana tetapi juga bisa bergeser pada hukum administrasi negara.

Ia mengatakan, siapa pun yang menjadi pejabat eksekutif, entah itu berasal dari partai maupun golongan, harus bersifat netral. Karena, sebagai pejabat publik mereka mewakili semua rakyat, tidak lagi mewakili partai dan kelompok.

Oleh karena itu, kata Yudha Bhakti, siapa saja yang sedang menjadi presiden atau menteri harus menghindari rasa balas dendam terhadap pemerintah sebelumnya, karena hukum Indonesia tidak mengenal sistem balas dendam.

Kejelasan sistem
Sementara itu, Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional/LSKN Hartojo Wignyowijoto mengatakan, terjadinya pro dan kontra soal penjualan tanker milik Pertamina itu merupakan fakta bahwa pemerintah belum mempunyai sistem jual beli yang jelas.

Akibatnya, siapa pun rezimnya, akan mudah mencari mangsa, siapa yang harus dijadikan sasaran tembak. Ia mengatakan, keuangan Pertamina kala itu tidak cukup baik, sehingga rencana penjualan itu disebut-sebut untuk memperbaiki kinerja keuangan. Tetapi, kata dia, di Indonesia hukum tidak lebih sekadar alat politik.

Contohnya, katakanlah saat ini Laksamana Sukardi akan dikorbankan. Bukan tidak mungkin jika PDIP pada Pemilu 2009 bisa berkuasa lagi, Preskom Pertamina saat ini juga akan dituntut atau dicari kesalahan-kesalahannya, paparnya.

Menurut Hartojo, pemerintah saat ini sebaiknya mengakhiri sistem manajemen BUMN yang bersifat personalized, yakni BUMN diarahkan sesuai dengan kehendak penguasa. Dulu zaman Orde Baru, BUMN dibuat secara personalized, kemudian diikuti oleh rezim berikutnya, sehingga semua BUMN tidak pernah akan baik karena dikendalikan oleh banyak kepentingan, katanya.

Jika penjualan dua tanker milik Pertamina dinilai melanggar UU monopoli, kata dia, mengapa ketika pemerintah Megawati berkuasa KPPU tidak mengoreksi bahwa penjualan tanker itu merupakan pelanggaran. Semua pihak sebaiknya berani melakukan perubahan dan meninggalkan sistem balas dendam terhadap sesamanya hanya karena sedang berkuasa, katanya. (Ant/E-1)

Sumber: Media Indonesia, 17 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan