KPK Didesak Usut Korupsi Finansial Krakatau Steel

Pelepasan harga saham Krakatau Steel (PT KS) yang berada di batas bawah standar harga saham perdana, dinilai merupakan salah satu indikasi tindak pidana korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW), mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menangani kasus ini, meski berada di ranah swasta, yang selama ini cenderung luput dari pengawasan KPK.
 
"KPK harus melakukan investigasi untuk membongkar terjadinya praktek korupsi di balik privatisasi PT KS," ujar Danang Widoyoko, koordinator ICW, di sela Konferensi Internasional Antikorupsi (IACC) Bangkok.

KPK, kata Danang, selama ini cenderung bergerak secara konvensional dalam mengusut kasus korupsi. Sementara, modus yang dilakukan koruptor semakin canggih, dan mulai mengarah ke sektor swasta, khususnya korupsi di pasar finansial. Praktek korupsi konvensional seperti menilap anggaran pemerintah, penggelapan atau penggelembungan harga akan mudah dideteksi oleh penegak hukum sehingga sangat beresiko, kata dia.

"Kasus privatisasi PT KS  adalah upaya yang cukup canggih untuk mengalihkan korupsi ke pasar finansial. Bila kemudian KPK menempatkan kasus ini sama dengan kasus korupsi konvensional lainnya, maka sampai kapan pun KPK tidak akan mampu mengungkapnya," ujar Danang.

Penetapan harga yang terlalu rendah, kata Danang, mengindikasikan adanya kerugian negara. Kerugian terjadi karena, akibat saham yang dijual terlalu murah, PT KS sebagai BUMN mendapatkan tambahan modal yang lebih rendah dari seharusnya.

Indikasi kedua, adanya unsur penyalahgunakan wewenang. Pejabat publik yang terlibat dalam penentuan harga yang terlalu murah dinilai telah menyalahgunakan kekuasaannya. "Dalam hal ini, Kementrian BUMN adalah pihak paling bertanggungjawab atas kekisruhan ini," ujarnya.

Ketiga, unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi terpenuhi karena ada pihak-pihak lain yang diuntungkan oleh penjualan itu. Bahkan pada hari-hari ini ketika harga saham PT KS diperdagangkan pada kisaran harga Rp. 1200/saham, sudah naik dari harga perdana yang sebesar Rp. 850/saham. Keempat, unsur pelanggaran hukum bisa diselidiki pada  praktek insider trading melalui penyembunyian informasi dan penjatahan. "Padahal dengan mekanisme IPO, semestinya semua pihak bisa mendapatkan saham di pasar perdana, tetapi praktek yang terjadi justru menunjukkan adanya penjatahan atau penjualan dengan mekanisme strategic sales," katanya.

Selain oleh KPK, indikasi pelanggaran dalam privatisasi KS ini juga harus diusut oleh pemegang otoritas pasar modal, Bapepam-LK (Badan Pemeriksa dan Pengawas Pasar Modal–Lembaga Keuangan). Farodlilah, Abid

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan