KPK Didesak Tindak Praktik Calo Anggaran

Koalisi Anti Calo Anggaran mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut indikasi praktik calo anggaran di DPR RI.

Koalisi yang terdiri dari Indonesia Bugdet Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), LBH Jakarta, YLBHI, GPSP dan Aliansi Pembayar Pajak menyampaikan beberapa kejanggalan dalam penganggaran di DPR.

Anggota Koalisi dari ICW Abdullah Dahlan mengatakan, ada permasalahan dalam proses penetapan dana dan daerah penerima Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011 senilai Rp 7,7 triliun yang disetujui Badan Anggaran (Banggar) DPR.  Menurutnya, DPID tersebut tidak didistribusikan secara merata.

”Alih-alih didistribusikan secara merata kepada setiap daerah yang berhak, dana DPID ini justru diduga digunakan untuk kepentingan elite untuk kepentingan politik tertentu,”ujar Abdullah kepada pers di gedung KPK, Selasa (28/6).

Abdullah yang juga peneliti Korupsi Politik ICW mengaku koalisi mengantongi beberapa bukti yang menunjukkan kejanggalan dalam proses penetapan daerah penerima DPID. Salah satu kejanggalan itu yakni penetapan DPID sepihak tanpa mengikutsertakan, tanpa melibatkan Kementerian Keuangan.

”Kuat dugaan proses persetujuan dana DPID hanya disetujui oleh pimpinan Banggar tanpa melalui proses rapat kerja Banggar,” ujar Abdullah.

Dia memaparkan, kejanggalan lainnya dalam proses pembahasan DPID oleh Banggar DPR ditunjukkan dengan tidak sesuai dengan Pasal 107 ayat 2 UU No.27/2009 tentang MD3. Ketentuan itu menyebutkan bahwa kewenangan Banggar dalam pembahasan APBN hanya melakukan pembahasan mengacu hasil kerja komisi.

Pihaknya menduga Banggar DPR telah membatalkan kesepakatan dengan pemerintah pada rapat Panja penentuan daerah penerima DPID. Penganuliran kesepakatan itu menyebabkan daerah-daerah miskin yang memenuhi syarat tidak mendapatkan alokasi DPID.

Partai Dibuka
Sementara itu peneliti ICW Apung Widadi  juga meminta informasi atas lampiran keuangan partai politik yang kini ada di DPR dibuka. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk mendorong keterbukaan dalam pengelolaan dana partai.   

”Kami telah mengirimkan surat permintaan informasi kepada sembilan partai politik yang mendapatkan kursi di Legislatif yaitu Partai Demokrat, Partai Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Hati Nurani Rakyat. Surat ditujukan kepada Sekretaris Jenderal melalui sekretariat di Jakarta, pada Selasa (28/6),” kata Apung.

Dia mengatakan, berbagai praktik korupsi yang menjerat politikus seperti kasus pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang di Kemenpora, proyek di PMPTK Kemendiknas, alat kesehatan di Kemenkes, diduga merupakan bagian dari perburuan rente partai politik.

Proyek-proyek dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sasaran utama korupsi. Padahal partai telah mendapat subsidi dari APBN.

”Dengan permintaan informasi ini harapannya dapat membongkar ketertutupan partai politik sehingga informasi laporan keuangannya bisa diakses oleh publik sebagai konstituen,” ujarnya.

Disisi lain, kata Apung, hal ini juga merupakan uji komitmen partai politik untuk terbuka dalam hal pendanaan keuangan partai. Hal ini penting karena selama ini pusat terjadinya korupsi politik bermula dari ketertutupan dana politik.

Lebih lanjut Apung mengatakan, setelah partai politik menerima surat permintaan informasi laporan keuangan tersebut, sesuai dengan UU KIP bahwa jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan informasi wajib memberikan jawaban atas permintaan.

”Jika tidak maka kami akan mengajukan keberatan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan jika tidak dipenuhi pula maka sesuai UU KIP adalah keberatan atau gugatan ke Komisi Informasi,” tegas Apung.(J13-80)
Sumber: Suara Merdeka, 30 Juni 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan