KPK Didesak Periksa Gubernur Sultra
Koalisi Anti Korupsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambilalih penanganan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan genset untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Kabupaten Kendari dan Konawe senilai Rp 20,8 miliar yang selama ini ditangani Kejaksaan Tinggi Sultra.
KPK juga diminta segera memeriksa Gubernur Sultra Ali Mazi yang terkait dengan kasus tersebut.
Kasus ini akan di SP-3 oleh Kejati Sultra. Kami menduga SP-3 itu adalah upaya pihak tertentu agar kasus ini tidak terkuak. KPK perlu turun tangan, tutur Koordinator Koalisi, Andre Darmawan, kepada Pembaruan di Jakarta, Jumat (7/10).
Andre dan belasan aktivis dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Pro Demokrasi Sultra, dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) sudah menyampaikan desakan tersebut ke pimpinan KPK.
Manajer Divisi Informasi Publik ICW, Adnan Topan Husodo, mengatakan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sultra belum bisa menghitung kerugian negara atas proyek itu.
Pernyataan BPKP itu ditangkap lain oleh Kejati Sultra. Mereka malah menyimpulkan tidak ada kerugian negara, sehingga harus di SP-3, tambah Adnan.
Andre melanjutkan, kasus PLTD bermasalah dalam penunjukan langsung rekanan Pemprov Sultra dan adanya penggelembungan harga.
Dijelaskan, pada 7 Oktober 2003, Gubernur Sultra, Ali Mazi mengeluarkan SK 602/4411 Tahun 2003 yang menunjuk PT Pramindo Sapta Utama (PT PSU) melaksanakan proyek PLTD Tahap I di Kabupaten Kendari senilai Rp 7,5 miliar.
Lalu, 7 Juni 2004, Mazi juga mengeluarkan SK 218/2004 soal penunjukan langsung PT PSU untuk melaksanakan proyek Tahap II di Kecamatan Lambuya, Kabupaten Konawe, senilai Rp 20,69 miliar. Total anggaran proyek dua tahap itu Rp 28,1 miliar.
Masalahnya, lanjut Andre, dalam Keppres 18/2000 dan Keppres 80/2004 penunjukan langsung tidak bisa dilakukan untuk semua proyek.
Penunjukan langsung diizinkan untuk alasan mendesak dan dalam keadaan khusus tertentu. Namun ini sangat multiinterpretasi, banyak pengguna barang atau jasa menafsirkan, sebuah proyek berada dalam keadaan mendesak dan tertentu sehingga perlu diambil keputusan melakukan penunjukan langsung, papar dia.
Tapi jika mengacu pada UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keadaan tertentu adalah ketika negara dalam keadaan bahaya seperti bencana alam nasional dan dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Jadi apakah di Sultra sedang dalam keadaan bencana? Ini aneh, tambah Andre.
Keanehan lain, pada Tahap II, SK Gubernur masih menggunakan Keppres 18/ 2000 sebagai dasar penunjukan langsung. Padahal pada 2004, seharusnya dasar hukum dari pelelangan adalah Keppres 80/2003.
Dikuasakan
Masalah lain, penandatangan kontrak oleh pihak kedua untuk pekerjaan Tahap I dan II tidak dilakukan Direktur Utama atau penanggjung jawab PT PSU. Melainkan dikuasakan pada seorang bernama NG Rusdy.
Ini menjadi pertanyaan besar, apa proyek itu memang dilaksanakan langsung oleh PT PSU atau bendera PT PSU hanya dipinjam untuk pekerjaan proyek PLTD? tambah Andre.
Dijelaskan, pada dasarnya, proyek Tahap I dan II meliputi dua pekerjaan, yakni pengadaan genset serta asesorisnya dan pemasangan genset berikut instalasi.
Dalam kontrak kerja, tidak dijelaskan berapa jumlah genset yang perlu dibeli dan dipasang.
Namun dari dokumen comercial invoice No. 1000032877, disebutkan, jumlah mesin genset yang dibeli sebanyak empat unit merk Deutz kapasitas di atas 375 KVA dan 10.000 PK.
Mesin itu dibeli dari Jerman via agen Deutz di Asia Pasifik yang berbasis di Singapura dengan harga per unit 150.000 Euro. Total empat unit sebesar 600.000 Euro atau sekitar Rp 6,76 miliar (posisi Mei 2004, 1 Euro = Rp 11.275).
Juga asesoris genset merk Mistral, dalam invoice tertera senilai US$ 36.000 atau sekitar Rp 346,1 juta. Artinya total pembelian mesin genset dengan asesorisnya hanya sebesar Rp 7,1 miliar.
Berarti masih ada anggaran senilai Rp 20,8 miliar yang tidak jelas peruntukannya, kata Andre.
Masalah lain, kata Andre, mengacu pada tanggal diterimanya genset di Pelabuhan Tanjung Priok oleh PT PSU, yakni 14 Mei 2004, bisa dipastikan bahwa pengadaan genset dan asesorisnya menggunakan anggaran proyek Tahap I.
Hal ini mengingat bahwa proyek Tahap II baru ditandatangani kontrak pekerjaannya pada 12 Juni 2004. Karena itu ada kejanggalan jika pada perjanjian kontrak kerja Tahap II, item pekerjaan berupa pengadaan mesin genset dan asesorisnya masih diikutsertakan.
Seandainya dana pada proyek tahap II dipakai untuk pembangunan instalasi, maka besarnya dana Rp 20,6 miliar tidak masuk akal. Soalnya di daerah lain seperti di Provinsi Jambi, dalam proyek pengadaan dua unit genset dan pemasangan instalasinya hanya sebesar Rp 2,3 miliar.(Y-4)
Sumber: Suara Pembaruan, 8 Oktober 2005