KPK dan Gesekan Penindakan Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk tahun 2003 dan diberi mandat luas oleh UU No. 30/2002. KPK berwenang melakukan penindakan terhadap korupsi, pencegahan korupsi, koordinasi dan supervisi lembaga penegak hukum, serta pemantauan lembaga negara. Mandat luas dalam pemberantasan korupsi tersebut menempatkan KPK sebagai superbody meski perannya "hanya" sebagai mekanisme pemicu (trigger mechanism).

Kedudukan tersebut mengharuskan KPK membuktikan integritas, kredibilitas dan akuntabilitasnya, lebih-lebih karena ia memiliki kekuasaan besar. KPK berkuasa menyadap dan merekam komunikasi, memerintahkan pencekalan, memerintahkan pemberhentian transaksi bisnis, membekukan rekening bank tersangka korupsi, memerintahkan pemberhentian sementara pejabat (Pasal 12). Tetapi KPK dilarang "mempermainkan" perkara dengan menghentikan penyidikan dan penuntutan (Pasal 40), sehingga harus pasti dalam menindak korupsi.

Politik Penindakan Korupsi
Keluasan mandat KPK terkait dengan politik pemberantasan korupsi dan lembaga pelaksananya. Apakah tugas besar pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998, harus dipikul sendiri oleh KPK? Haruskah KPK mengambilalih dan mengakumulasi semua kegiatan pemberantasan korupsi yang juga menjadi kompetensi berbagai lembaga negara?

Keluasan mandat dapat mendistorsi peran KPK karena fokusnya bercabang, misalnya bukan hanya tentang penindakan korupsi. Pada dasarnya tugas KPK "melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi" (Pasal 6 huruf c UU 30/2002) bersinggungan dengan tugas-tugas Polri dan Kejaksaan Agung. Tipikor merupakan kompetensi konvensional kepolisian maupun kejaksaan, meski ia didefinisikan sebagai tindak pidana khusus (di luar KUHPidana) dan sekarang disebut extra-ordinary crime.

Tugas koordinasi dan supervisi memberi KPK wewenang untuk mengawasi, meneliti, menelaah dan mengambilalih penindakan korupsi oleh penegak hukum lainnya. KPK mengambilalih jika, misalnya, penanganan oleh penegak hukum lainnya berindikasi menyembunyikan pelaku sesungguhnya, mengandung unsur korupsi, berlarut-larut, bahkan diintervensi oleh pihak eksekutif, yudikatif atau legislatif. Dalam konteks ini, penegakan oleh KPK bisa bergesekan dengan tugas-tugas pengawasan internal Polri dan Kompolnas (Komisi Kepolisian), tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan.

Gesekan dalam Penindakan
Kenyataan di atas menunjukkan, fokus KPK pada penindakan korupsi dan penguatan koordinasi-supervisi atas kepolisian dan kejaksaan membuka peluang gesekan dengan lembaga lain. Keberadaan berbagai lembaga penegakan hukum untuk masalah yang sama akan menimbulkan gesekan. Ruang gesekan semakin terbuka karena UU Tipikor 1999/2001 mengadopsi 30 jenis tipikor yang meliputi tujuh kategori (kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi). Suap-menyuap misalnya, merupakan jenis tipikor konvensional yang sudah terbiasa ditangani kepolisian dan kejaksaan.

Dengan demikian dibutuhkan crime policy yang lebih jelas dalam penindakan tipikor, dan dengan koordinasi-supervisi yang ketat antarlembaga sehingga ada rincian pembagian tugas yang jelas di antara berbagai lembaga penegak hukum. Tepatkah koordinasi-supervisi oleh KPK "hanya" dirumuskan melalui nota kesepahaman antara KPK dengan Kepala Polri maupun Jaksa Agung? Atau apakah koordinasi-supervisi tersebut harus diartikan sebagai "pengambilalihan" sementara wewenang penanganan tipikor dari Kepolisian dan Kejaksaan?

Kesementaraan tersebut dipahami dalam rangka memicu greget kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Dalam hal kepolisian dan kejaksaan bekerja "normal" maka peran KPK menjadi semacam watchdog penindakan korupsi, terutama kalau aparat kedua lembaga itu melenceng dalam menangani tipikor yang bernilai Rp.1,- miliar atau lebih (Pasal 11 UU No. 30/2002), seperti dicontohkan pada pencokokan Jaksa Urip dalam kasus Artalyta beberapa waktu lalu. Di sini Kepala Polri dan Jaksa Agung harus memaparkan kebijakan nasional dalam "menormalkan" fungsi pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan.

Akuntabilitas KPK
Meski dukungan masyarakat begitu kuat terhadap pemberantasan korupsi dan KPK, tetapi tidak mudah memelihara dukungan terhadap eksistensi KPK jika kinerja dan akuntabilitasnya bermasalah. KPK dikritik tebang pilih, misalnya, karena mencokok koruptor menurut selera sendiri meski dalam batas-batas normatif yang ada. Jadi, siapa dan bagaimana mengawasi KPK?

Akuntabilitas keuangan KPK diwujudkan melalui audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (bukan BPKP). Akuntabilitas politik (kelembagaan) KPK diwujudkan dalam pelaporan secara terbuka kepada DPR dan Presiden. Tetapi akuntabilitas atas pelaksanaan wewenang penyelidik dan penyidik KPK (akuntabilitas profesional) tidak secara tegas diatur dalam UU KPK 2002. Sejauh ini KPK bersandar kepada kode etik dan mekanisme dewan kehormatan (Keputusan Pimpinan KPK No. Kep-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode Etik Pimpinan KPK). Dalam kode etik terdapat ketentuan tentang zero tolerance terhadap pelanggaran kode etik.

Penegakan kode etik dilakukan oleh Komite Etik yang terdiri dari gabungan Pimpinan KPK dan Penasihat KPK serta seorang atau lebih nara sumber dari luar KPK. Komite Etik KPK dibentuk sendiri oleh Pimpinan dan Penasihat KPK, dan sejauh ini bersifat ad hoc dan kasuistik. Titik lemah pada akuntabilitas profesional ini dapat diperbaiki agar lebih dapat dipercaya (credible), misalnya ditegaskan tentang jumlah nara sumber yang lebih banyak dari unsur KPK. Cara lain adalah pembentukan panitia penyelidik yang bersifat ad hoc dan berkedudukan independen, serta beranggotakan unsur DPR, pemerintah, Komisi Yudisial dan nara sumber yang tidak terkait dengan ketiga institusi maupun KPK.

Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta.

Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 23 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan