KPK dan Antasari Azhar

Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi dalam memberantas korupsi telah menumbuhkan dukungan publik yang besar. Gebrakan KPK, yang ditunjukkan dengan menangkap jaksa, anggota DPR, kepala daerah, dan aktor korupsi lainnya, berhasil menimbulkan decak kagum, baik di kalangan masyarakat domestik maupun internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2008 yang cukup signifikan, yakni dari 2,3 pada tahun sebelumnya menjadi 2,6.

Perasaan senang yang bisa disebut berlebihan ini sangat wajar, karena kita sebelumnya tidak pernah melihat langsung aksi penegakan hukum yang cukup keras terhadap para pelaku korupsi yang telanjur diyakini kebal hukum. KPK sedikit-banyak telah berhasil menaikkan tingkat kepercayaan publik terhadap keseriusan upaya memberantas korupsi di Indonesia.

Salah satu teman saya yang mengagumi KPK bahkan menyamakan Ketua KPK Antasari Azhar dengan Komisioner Polisi Jim Gordon di Gotham City, kota khayalan dalam film Batman, yang berperan aktif dalam membongkar kasus korupsi dan kejahatan yang sudah menggurita di sana. Barangkali publik secara luas juga memberikan penilaian yang hampir sama terhadap sosok Antasari Azhar. Sehingga, begitu mendengar kabar Antasari ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pembunuhan Nasrudin, ada perasaan tidak percaya sama sekali.

Ketidakpercayaan itu melahirkan banyak kesimpulan yang condong spekulatif. Di banyak media online, komentar pembaca terhadap kasus yang diduga melibatkan Antasari Azhar mengarah pada satu pendapat, yakni ada konspirasi besar untuk menghancurkan KPK. Opini lantas dihubungkan dengan agenda KPK yang telah banyak menyeret para politikus ke penjara, ataupun usaha KPK yang tengah menyelidiki pengadaan alat teknologi informasi KPU.

Salah kaprah yang lahir dalam memandang kinerja KPK adalah personifikasi KPK dalam diri Ketua KPK Antasari Azhar. Seakan-akan peran pemimpin KPK lainnya, yakni Chandra M. Hamzah, Bibit Samad Riyanto, M. Yasin, dan Haryono, dikesampingkan. Belum lagi kalau kita menghitung kerja keras para penyidik, penyelidik, dan investigator KPK yang selama ini telah mendedikasikan hidupnya demi kredibilitas KPK.

Pertanyaannya, akan seperti apa kesan yang timbul di masyarakat jika faktor determinan di KPK selain sosok Antasari Azhar tidak memberikan kontribusi penting dalam membangun KPK sebagai lembaga yang disegani. Tentu, menurut hemat penulis, tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap (Ketua) KPK tidak akan seperti sekarang.

Adanya penyempitan pandangan publik terhadap prestasi KPK sebagai prestasi Ketua KPK tentu tidak tepat. Posisi seorang pemimpin dalam organisasi memang penting. Akan tetapi, dalam konsep leadership di KPK, mekanismenya menggunakan pendekatan kolektif-kolegial. Artinya, semua keputusan yang diambil oleh KPK adalah keputusan seluruh pimpinan KPK.

Personifikasi KPK pada diri Antasari Azhar sebagaimana diyakini publik sesungguhnya akan menimbulkan masalah besar, terutama dalam situasi seperti sekarang. Bagaimanapun, KPK membutuhkan dukungan besar dari masyarakat luas untuk tetap memberantas korupsi pasca-Antasari. Supaya tetap eksis, KPK juga sangat bergantung pada kepercayaan publik terhadapnya. Sebab, tanpa kepercayaan dan dukungan publik, mudah bagi kelompok kontra-pemberantasan korupsi untuk menggilas KPK.

Penulis teringat kepada pesan salah satu deputi KPK di sebuah seminar beberapa waktu yang lalu. Ia berujar, jangan pernah berpikir jika kinerja KPK buruk kita menuntut pembubaran KPK. Menurut dia, KPK sudah dibangun dengan demikian sulit. Sumber daya yang dialokasikan untuk meningkatkan arti KPK dalam konteks pemberantasan korupsi sudah cukup besar. Capaian yang ditunjukkan KPK dalam memainkan peran utama sebagai lembaga antikorupsi mulai dirasakan masyarakat luas. Karena itu, jika suatu saat kinerja KPK menurun, cukuplah pimpinannya diganti.

Sekarang mungkin sekali publik tengah berhadapan dengan kebimbangan, terutama menilai KPK pasca-Antasari. Akan seberapa kuat KPK tanpa Antasari, akan seberapa kencang KPK berlari membongkar kasus-kasus korupsi besar, dan akan seberapa baik kinerja KPK setelah Antasari tersandung oleh masalah pembunuhan. Rasa gamang inilah yang perlu direspons oleh KPK sebagai institusi untuk menunjukkan kepada publik bahwa eksistensi KPK masih berlanjut, dan bahkan mungkin jauh lebih cemerlang.

Kawan atau lawan
Lahirnya personifikasi KPK pada diri Ketua KPK Antasari Azhar bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Di samping posisinya sebagai ketua, dominasi atas proses komunikasi KPK dengan masyarakat luas selama ini begitu kentara. Kesan positif yang paling mudah ditangkap dan disimpan dalam-dalam pada benak banyak orang adalah ketika KPK berbicara mengenai kasus korupsi yang ditangani.

Pada konteks di atas, siapa yang berbicara atas nama KPK akan segera mendapat simpati publik. Bisa dipahami jika kesan mendalam atas diri Ketua KPK telah mengakar. Pasalnya, pada mekanisme kepemimpinan KPK, ada pembagian tugas yang jelas.

Ketua KPK didukung oleh Wakil Ketua KPK (Chandra M. Hamzah) langsung membidangi kerja-kerja penegakan hukum. Sedangkan dua Wakil Ketua KPK, M. Yasin dan Haryono, menangani fungsi pencegahan. Bibit Samad Riyanto kebagian tugas menangani manajemen internal KPK. Masuk akal jika yang paling banyak tampil di media massa dalam kaitannya dengan penanganan kasus-kasus korupsi di KPK adalah Ketua KPK.

Sekarang Ketua KPK Antasari Azhar tengah menghadapi proses hukum atas dugaan kriminal, perbuatan pembunuhan berencana yang dapat dihukum mati. Sudah mulai banyak yang mencoba mengaitkan pembunuhan itu dengan masalah lain yang lebih besar. Kita boleh tidak percaya terhadap kasus yang menimpa Antasari Azhar. Kelak, di pengadilan, nasib dan kesan Antasari akan sampai pada kesimpulan, benarkah ia seperti Komisioner Polisi Gordon di Gotham City, atau justru sebaliknya, dia adalah musuh besar Batman dan kawan-kawan.

Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 14 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan