KPK dalam Kepungan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga sampiran negara yang memiliki reputasi paling menonjol dalam pemberantasan korupsi di republik ini, tengah menghadapi ujian paling berat sejak dibentuk melalui UU No 30/2002. Setelah sang ketua menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan, giliran selanjutnya adalah usikan pihak kepolisian terhadap dua komisioner lain, Chandra dan Bibit, dengan tuduhan penyalahgunaan kewenangan. Bahkan, update terakhir keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Hantaman terhadap KPK tidak hanya menimpa para komisionernya, tapi juga secara kelembagaan dan kewenangannya. Upaya mematisurikan KPK sedang terjadi secara sistematis dengan melibatkan seluruh institusi politik dan hukum tertinggi di republik ini.

Nasib institusi paling kredibel dan terbukti mampu menciutkan nyali para koruptor di republik ini memang tengah di ujung tanduk karena menghadapi kepungan dari berbagai lini. Ironisnya, peristiwa pengepungan ini terjadi dalam semangat antikorupsi yang secara lugas digemborkan presiden sebagai pemimpin politik dan pemerintahan di negeri ini.

Mengamati berbagai peristiwa yang bisa berujung pada kematian KPK, pertanyaan yang menyeruak di benak publik adalah, mengapa semua lembaga politik dan pemerintahan seolah bersekongkol untuk menjadikan (atau setidaknya membiarkan) KPK sebagai bulan-bulanan?

***

Dari sisi historis kelahiran KPK adalah inovasi kelembagaan paling berharga di era reformasi. KPK dilahirkan sebagai upaya menghentikan laju ganasnya kanker korupsi yang menjalar di seluruh sendi kelembagaan negara. Kronisnya korupsi di Indonesia dipandang tidak la­gi mampu ditangani oleh lembaga-lembaga klasik penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman). Sebab, dalam derajat tertentu lembaga-lembaga tersebut juga telah terinfeksi korupsi atau setidaknya kapasitas yang dimiliki dipandang tidak lagi mampu menanganinya.

Sebagai state auxillary institution, terbentuknya KPK memang kemudian mengambil sebagian kewenangan yang dimiliki institusi klasik penegak hukum tersebut, khususnya dalam hal penanganan kasus korupsi. Meskipun pengalihan kewenangan tersebut dilakukan secara konstitusional, bagaimanapun rasa kehilangan tetap dirasakan oleh lembaga-lembaga klasik penegak hukum tersebut. Sikap resistensi oleh karena itu wajar muncul, dan ekspresi keras resistensi atas pengalihan kewenangan tersebut menampakkan wujudnya sekarang ini. Kasus Antasari Azhar akhirnya memiliki rembetan luas dan tak terduga. Seolah menemukan celah, lembaga-lembaga penegak hukum justru terkesan sangat emosional dan penuh dengan euforia berkehendak menghancurkan KPK.

Setali tiga uang ditunjukkan wakil rakyat yang terhormat di DPR. Melalui pembahasan RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), KPK secara sistematis didorong untuk dilemahkan melalui penghilangan kewenangan untuk melakukan penuntutan. Nafsu DPR melemahkan KPK ini bisa jadi muncul dari kejengahan DPR terhadap KPK yang dalam beberapa tahun terakhir berhasil membongkar berbagai kasus penyuapan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan wakil rakyat, baik di pusat, provinsi, maupun daerah.

Sikap DPR yang demikian mendapat sambutan sangat menggembirakan dari Gedung Bundar, markas Kejaksaan Agung, dengan ekspresi-ekspresi yang juga terkesan emosional. Ekspresi yang justru menunjukkan betapa selama ini ternyata ada kebenciaan mendalam dari kejaksaan terhadap KPK.

Dalam usianya yang memasuki tahun ketujuh, KPK memang masih sangat muda. Meski demikian, ia mampu menjadi penambal atas bopeng-bopengnya penegakan hukum untuk kasus korupsi di negeri ini. Sayang, prestasi gemilang tersebut rupanya telah melahirkan berbagai benturan kepentingan antarlembaga negara.

Upaya mengepung KPK yang berpotensi melemahkan proses pemberantasan korupsi ini adalah ledakan paling keras atas konflik antarlembaga penegak hukum yang sudah terjadi selama ini. Ledakan konflik ini, jika tidak ditangani dengan tepat dan cepat, akan bisa melahirkan sikap saling bunuh di antara lembaga penegak hukum di negara ini.

Sangatlah jelas bahwa berbagai kasus yang menghantam KPK akan membuat konsentrasi pemberantasan korupsi menjadi buyar. Namun, semua lembaga negara seolah tidak peduli, dan bahkan dalam situasi di mana pelembagaan pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran. Sementara, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak bereaksi apa pun secara layak untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi.

Kesan yang tertangkap, KPK yang disindir sebagai "cicak" justru dibiarkan diaduk-aduk dan menjadi bulan-bulanan "buaya" dan "godzilla" tanpa ada perlindungan berarti dari pemimpin ter­tinggi di republik ini.

Kepungan terhadap KPK sekarang ini sudah bisa dikategorikan sebagai krisis kelembagaan negara, karena intervensi satu lembaga terhadap lembaga lain cenderung berkarakter menggunakan hukum rimba, tanpa pakem-pakem konstitusional yang disepakati bersama. Jika situasi semacam ini terus berlangsung tanpa penyelesaian yang layak secara konstitusional, rakyat Indonesia hanya akan menikmati kemunduran besar dalam upaya pemberantasan korupsi yang masih kronis. Dan, pemenang atas konflik kelembagaan yang belum jelas akhirnya tersebut bukanlah salah satu dari lembaga negara tersebut, melainkan para koruptor yang masih berkeliaran bebas.

Situasi ini semestinya disadari baik oleh presiden, kejaksaan, kepolisian, kehakiman, maupun DPR, dan kemudian segera mengembalikan good will bersama untuk memberantas korupsi sebagai amanat tertinggi reformasi penyelenggaraan negara yang bersih. (*)

*). Wawan Mas'udi, dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos,  17 September 2009 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan