KPK Cekal Pejabat KPU dan Rekanan Pengadaan Buku

Komisi Pemberantasan Korupsi mencekal beberapa anggota KPU dan orang-orang yang terlibat dalam proyek pengadaan buku Komisi Pemilihan Umum. Alasannya, dalam proyek pengadaan buku itu ada indikasi penggelembungan nilai (mark up) yang tidak tanggung-tanggung, sekitar 76 persen dari nilai proyek Rp 42,232 miliar.

Pencekalan itu disampaikan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Sabtu (11/6) di Jakarta. Proyek pengadaan buku merupakan kasus yang ditemukan KPK, di samping ada pula kasus lain, yakni proyek pengadaan jasa asuransi. Kedua kasus ini sudah matang dan segera ditingkatkan menjadi penyidikan. Sedangkan proyek pengadaan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan masih terus dilakukan, ujar Taufiequrachman.

Berdasarkan hasil audit umum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pemilu legislatif 2004, dalam pencetakan buku sosialisasi keputusan KPU dan petunjuk penyelenggaraan pemilu senilai Rp 42,232 miliar terdapat pemborosan Rp 33,365 miliar dan tidak dapat diketahui pasti jumlah buku yang sesungguhnya dicetak dan didistribusikan ke daerah. Dari Rp 33,365 miliar itu, penggelembungan nilai diduga sebesar Rp 23,663 miliar.

Pak Panggabean (Tumpak Panggabean, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Penindakan-Red) menjelaskan, ada beberapa orang yang dimintakan cekal. Mereka adalah orang-orang KPU dan juga orang-orang yang sedang diselidiki terlibat dalam proyek pengadaan buku, papar Taufiequrachman.

Ia menambahkan, dalam proyek pengadaan buku ini ada tiga lapis, yakni kontraktor, subkontraktor, dan sub-subkontraktor. Harganya hanya sepertiga dari nilai kontrak, bahkan ada kontraktor yang cuma dipinjam benderanya, katanya.

Pada pemeriksaan 6 Juni 2005 mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU Safder Yusacc membenarkan bahwa proyek pengadaan buku tidak melalui tender. Alasan Yusacc adalah keterbatasan waktu. KPK juga sudah memeriksa beberapa perusahaan rekanan KPU. Bahkan, pencetakan buku Panduan Pelaksanaan Pemilu senilai Rp 42,232 miliar dilakukan mendahului kontrak.

Tidak semua rekanan
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Ery Riyana Hardjapamekas Sabtu lalu menyatakan, kadar kesalahan para penerima suap atau gratifikasi yang diterima anggota KPU berlainan. Sebab, ada yang bertindak selaku motivator dan hanya menunggu atau menyesuaikan diri dengan sikap anggota KPU yang lain. Kami sedang memeriksa derajatnya ini. Kalau Nazaruddin (Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin-Red) jelas, yaitu sebagai motivator, ujarnya.

Erry juga menyatakan tidak semua rekanan KPU dapat disalahkan dan dikenai status tersangka korupsi KPU. Rekanan dikatakan menyuap bila untuk memperoleh tender pengerjaan logistik atau pekerjaan lain dalam kaitan Pemilu 2004 memberikan uang kepada KPU. Namun, jika uang diberikan ke KPU setelah pekerjaan selesai sesuai dengan spesifikasi, itu tidak bisa disebut penyuapan. Hal tersebut adalah tanda terima kasih. Dia tidak bermaksud mendapatkan pekerjaan, tetapi cuma bagi-bagi rezeki setelah proyek selesai, kata Erry.

Sejumlah rekanan KPU dalam Pemilu 2004 sudah mengakui memberikan uang kepada KPU. PT Asuransi Bumi Putera Muda, misalnya, memberi Rp 5 miliar dan PT Pos Indonesia memberi Rp 700 juta.

Presiden Direktur PT Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Madjdi Ali kemarin membantah keterlibatannya dengan KPU dalam kasus pemberian uang oleh KPU. Berita-berita itu merugikan AJB Bumiputera 1912, ujarnya.

Menurut Madjdi, perusahaan rekanan KPU yang dimaksud mungkin PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967. Meski kami berada dalam satu grup, tapi Bumida adalah entitas berbeda dengan Bumiputera 1912. Masing-masing menjalankan bisnisnya sesuai dengan regulasi pemerintah, ujarnya.

Madjdi menambahkan, pemberitaan yang salah itu menyebabkan pihaknya kini berhadapan dengan pertanyaan para stakeholder dari berbagai penjuru Tanah Air. Sebab, AJB Bumiputera 1912 adalah satu-satunya perusahaan mutual di Indonesia, dengan pemiliknya adalah seluruh pemegang polis.

Bongkar kasus asuransi
Anggota KPU Mulyana W Kusumah, yang masih ditahan, hingga kemarin masih aktif melontarkan komentar atas kasus korupsi di KPU. Kemarin dia meminta agar KPK membongkar tuntas kasus dana asuransi yang diterima KPU. Penelusuran kasus itu akan membentangkan pola korupsi di KPU sekaligus menunjukkan siapa corruption leaders di lembaga tersebut. Pernyataan itu disampaikan Mulyana melalui putri sulungnya, Gina Santiyana, Sabtu.

Desakan agar Ketua KPU Nazaruddin menjelaskan dana asuransi juga dikemukakan kuasa hukum Mulyana, Sirra Prayuna.

Mulyana mengaku tidak pernah mengetahui adanya permintaan diskon 34 persen dari perusahaan asuransi. Soal itu tidak pernah muncul dalam rapat pleno KPU. Dan, saya kira tidak seorang pun di antara 200.000 penyelenggara pemilu hingga ke tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang pernah mendapat manfaatnya, ujar Gina, mengutip Mulyana.

Mulyana mengaku telah siap menghadapi proses persidangan yang rencananya digelar mulai 16 Juni 2005. Jumat malam lalu di Rumah Tahanan Salemba, Mulyana menerima surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan dan surat dakwaan.

KPK belum maksimal
Ahli hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof Dr Romli Atmasasmita Sabtu lalu menyatakan, untuk menuntaskan kasus korupsi di KPU, mestinya KPK menggunakan semua kewenangannya sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Selama ini KPK belum maksimal menggunakan kewenangannya.

Penetapan dan penahanan tersangka baru menyentuh beberapa orang. Mereka yang tidak mengaku dan terus membantah tetap bebas. Logika umum saja, mana ada pencuri mengaku. KPK jangan tinggal diam dan harus memakai semua kewenangannya, ujar Romli.

Kewenangan KPU antara lain meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait serta melakukan penggeledahan dan penyitaan. Untuk meminta keterangan rekening, dalam posisi tidak sebagai tersangka juga bisa dilakukan KPK, paparnya.

Jadi, KPK seharusnya punya taktik dan strategi mengembangkan penyidikan dan tidak semata-mata berdasarkan pengakuan. KPK harus all out supaya di mata publik tidak terlihat diskriminatif, ujarnya.

Namun, Romli berpendapat, bisa saja ini merupakan bagian dari strategi KPK. Sebab, sekali KPK menyebut tersangka, perkaranya tidak boleh dihentikan di tengah jalan, harus sampai ke pengadilan. Itu mungkin yang membuat KPK berhati-hati. Atau bisa saja karena terbatasnya sarana dan prasarana serta kurangnya bantuan dari lembaga lain, ucapnya.

Oleh karena itu, KPK juga harus aktif berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Perpajakan dan Badan Pertanahan termasuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Soal rekening di bank, misalnya, kenapa sih pimpinan bank susah benar memberikan keterangan, ujarnya. (SON/ANA/IDR/VIN)

Sumber: Kompas, 13 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan