KPK bagai Mikroskop; Hasyim Muzadi dan Sholahuddin Dimintai Keterangan
Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat kritik tajam terkait kinerja mereka. KPK dinilai ibarat mikroskop, hanya memeriksa kasus-kasus korupsi yang nilainya tergolong kecil.
Sementara yang besar karena kebesaran jadi tidak kelihatan. Kasihan. Akhirnya dia (KPK) mendapatkan sesuatu yang tidak ada kait-mengait dengan pemberantasan korupsi secara total, ujar mantan calon wakil presiden pada Pemilu 2004, Hasyim Muzadi, seusai dimintai keterangan oleh KPK, Selasa (19/6).
Selain Hasyim, KPK juga meminta keterangan mantan calon wakil presiden lainnya, yakni Sholahuddin Wahid. Mereka diperiksa terkait aliran dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.
Menurut Hasyim, KPK masih terkesan menjadi bagian dari kekuasaan. KPK belum menjadi bagian dari keadilan. Ditanya soal bukti pernyataannya, Hasyim mengatakan, Buktinya SBY belum pernah dipanggil. Kalau SBY dipanggil, baru KPK bagian dari keadilan.
Menurut Hasyim, pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK masih jauh dari ide yang mendasari gerakan moral antikorupsi. Gerakan itu dinilainya sangat ideal dan agung. Tapi jadinya seperti ini, kata dia.
Ia menambahkan, pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK saat ini menimbulkan/melahirkan dendam dan sakit hati.
Sementara Sholahuddin menyarankan agar KPK memeriksa semua yang menerima dana tersebut. Mengakui atau tidak mengakui, langsung atau tidak langsung, resmi atau tidak resmi, rasanya hampir semua capres menerima, ujar Sholahuddin.
Keduanya mengakui pernah menerima dana dari Rokhmin Dahuri. Hasyim mengaku pernah diberi amplop senilai Rp 10 juta yang disampaikan langsung oleh Rokhmin. Amplop itu diberikan seusai diminta mendoakan Rokhmin. Tidak lazim menanyakan ini dari mana uangnya. Dan itu menyinggung perasaan yang memberi, ujar dia.
Sementara Sholahuddin mengatakan, pihaknya menerima sumbangan sebesar Rp 200 juta untuk kegiatan sosial, kemanusiaan, dan keagamaan. Uang tersebut tidak diterima langsung, tetapi diterima oleh pendukung-pendukungnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia Tarmizi Taher dalam suratnya kepada Kompas membantah telah menerima uang DKP sebesar Rp 100 juta dari Rokhmin Dahuri. Yang sebenarnya terjadi, uang Rp 100 juta itu bukan untuk dirinya, tetapi digunakan untuk membeli mobil Avanza untuk sesepuh pesantren Buntet Kyai Abdullah Abas, tulis Tarmizi.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Gayus Lumbuun (F-PDIP, Jawa Timur V) menyebutkan, Rokhmin Dahuri akan memenuhi undangan BK DPR, Kamis (21/6), terkait dengan aliran dana nonbudgeter DKP ke DPR.
Selain itu, juga diundang mantan pejabat di DKP, yaitu mantan Sekretaris Jenderal DKP Andin H Taryoto serta Kepala Bagian Umum di Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP Didi Sadili. Majelis hakim kasus korupsi dana nonbudgeter DKP telah mengizinkan Rokhmin hadir di DPR.
Informasi yang diterima BK, telah terjadi setidaknya 30 aliran dana DKP kepada alat kelengkapan dan sejumlah anggota DPR. Informasi lain, dana nonbudgeter itu juga masih mengalir pada masa Menteri Freddy Numberi. Jika awalnya dana yang dialirkan pada masa Freddy disebut mencapai Rp 774 juta, kini jumlahnya disebut mencapai lebih dari Rp 2 miliar.
Selain itu, mulai Jumat (22/6) pagi, BK juga mengundang lima anggota DPR yang disebut telah menerima dana DKP, yaitu AM Fatwa (PAN), Awal Kusumah, Slamet Effendy Yusuf (Partai Golkar), Endin AJ Soefihara (PPP), dan Fachri Hamzah (PKS). Tidak tertutup kemungkinan para anggota DPR lainnya akan dimintai keterangan terkait kasus korupsi ini.
Dalam kesempatan terpisah, Andin H Taryoto meminta pemeriksaan BK pada Kamis itu ditunda. Pemeriksaan di BK DPR diharapkan dapat dilakukan setelah pembacaan putusan. Menurut rencana, Andin akan divonis pada Selasa (26/6).
Permintaan itu disampaikan oleh kuasa hukum Andin H Taryoto, Martin Pongrekun, dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa siang. Agenda persidangan adalah pembacaan duplik dari tim kuasa hukum Andin.
Ketua majelis hakim Masrurdin Chaniago menyarankan agar permohonan itu diajukan saja melalui surat ditujukan langsung ke DPR. Masrurdin mengatakan, Majelis tidak memiliki kewenangan yang berkaitan dengan itu. Ini sudah bukan kewenangan majelis lagi. (ana/dik/VIN/mzw)
Sumber: Kompas, 20 Juni 2007
-----------
Diperiksa KPK, Hasyim dan Gus Sholah Cokot SBY
Kasus Aliran Dana DKP
Dua mantan calon wakil presiden (cawapres), Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid, akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Keduanya diperiksa terkait pengakuan menerima aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Hasyim dan Gus Sholah (panggilan Salahuddin Wahid, Red) datang ke gedung KPK Veteran dalam waktu hampir bersamaan sekitar pukul 09.00. Usai diperiksa selama 1 jam 10 menit, Hasyim menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima aliran dana DKP. Yang terjadi, tambahnya, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri memintanya datang ke kantor DKP jauh sebelum pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan. Saya datang ke sana untuk ngobrol, lalu dia minta didoakan supaya selamat, sukses profesinya, ujar ketua PB Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Usai doa bersama, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah itu mengakui menerima amplop dari Rokhmin. Setelah dibuka di mobil, ternyata isinya uang Rp 10 juta. Untung kok di dalam mobil. Kalau di situ (di kantor Rokhmin, Red) saya buka, saya langsung minta lagi. Kok cuma sedikit. Doanya ketua PB NU kan mahal, kelakarnya. Uang itu, ujarnya, sebagian dia pakai dan sebagian lagi untuk pondok pesantren.
Hasyim mengaku tidak tahu jika uang tersebut hasil korupsi dengan modus pengumpulan dana ilegal di lingkungan internal DKP dan sumber lain. Proses uang itu begitu. Dan, tidak lazim orang dikasih amplop habis berdoa lalu tanya itu dari mana duitnya. Itu menyinggung perasaan orang yang memberi, tambahnya.
Seakan tak terima ikut dipersalahkan dalam kasus yang menjadikan Rokhmin menjadi pesakitan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Hasyim menyerang balik KPK. KPK ini masih bekerja pakai mikroskop. Jadi, yang kelihatan yang kecil-kecil. Sementara yang besar karena kebesaran ndak kelihatan, ujarnya.
Dia menambahkan, kerja KPK jauh kaitannya dengan pemberantasan korupsi secara total. Hasyim menilai, KPK belum independen, masih bagian dari kekuasaan, bukan bagian dari keadilan. (kerja KPK, Red) hanya melahirkan dendam dan sakit hati. Maka polanya harus diubah, saran Hasyim.
Apa bukti KPK masih bagian dari kekuasaan? Buktinya SBY belum dipanggil. Kalau SBY dipanggil, baru dia (KPK, Red) bagian dari keadilan, ujarnya dengan nada tinggi.
Senada dengan Hasyim, Gus Sholah juga menganggap pemanggilan SBY sangat penting karena akan membuktikan keseriusan KPK. Saya pikir sebaiknya begitu. Sebaiknya semua dipanggil, mengakui atau tidak mengakui, langsung atau tidak langsung, resmi atau tidak resmi, semua capres menerima, ujarnya ketika keluar dari ruang pemeriksaan pukul 11.30.
Jika tidak memanggil semua pihak yang diduga menerima aliran dana DKP, tambahnya, KPK sama saja melakukan tebang pilih. Bukan tebang pilih, tapi pilih yang kecil, ujarnya diikuti senyum.
Sama dengan Hasyim, adik Gus Dur itu menolak dianggap menerima kucuran dana DKP, meski sebelumnya mengaku menerima Rp 200 juta untuk kepentingan yayasan. Saya katakan secara langsung saya tidak menerima. Tapi, secara hakikat yang menerima saya kan? Yang menerima orang lain, tapi yang dituju saya kan? tambahnya. Gus Sholah juga mengaku tak ingat persis jumlah uang yang diterimanya dan kapan diberikan.
Meski menurut bukti milik KPK, pihaknya menerima dana pada 18 Juni 2004, Gus Sholah mengaku tak ingat. Dia pun menolak dikatakan melakukan gratifikasi. Pasalnya, saat itu dia tidak berkedudukan sebagai penyelenggara negara. Saya meletakkan jabatan sebagai waket Komnas 11 Mei. Jadi, jabatan saya rakyat biasa, ujarnya. Dia menambahkan, dirinya siap mengembalikan uang itu jika diputuskan melalui pengadilan. Kalau pengadilan yang memutuskan, siapa yang bisa menolak, tambahnya lantas memasuki mobil Nissan Elgrand Nopol B 518 MG yang menantinya di pelataran lobi KPK.
Mendapat kritik dari Hasyim dan Gus Sholah, KPK tak tinggal diam. Humas KPK Johan Budi SP menegaskan, pihaknya independen dan bukan bagian dari kekuasaan. Berpendapat boleh-boleh saja. Tapi sekali lagi, KPK bukan bagian dari kekuasaan, ujarnya.
Soal permintaan Hasyim dan Gus Sholah agar KPK memanggil semua pihak yang diduga menerima dana DKP, Johan mengungkapkan, pihaknya tidak bisa memeriksa semua orang sekaligus. Demi kepentingan penyelidikan kasus tersebut agar lebih mudah, ujarnya, yang dipanggil adalah pihak-pihak yang sudah memberi pengakuan di media massa.
Kami justru mengundang Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid untuk memberi klarifikasi sekaligus agar mereka memberi informasi tambahan terkait kasus itu, ujar Johan. Sebagai permulaan, KPK memanggil 12 nama, termasuk Hasyim Muzadi, Amien Rais, Gus Sholah, serta beberapa nama anggota DPR RI. (ein)
Sumber: Jawa Pos, 20 Juni 2007