KPK Ambruk karena Didesain Ambruk

Awal mula gerakan sosial melawan korupsi pastilah tak lepas dari kisah sukses di Padang, Sumatera Barat. Gabungan sejumlah elemen masyarakat sipil kala itu berhasil menghadapkan 43 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumbar periode 1999-2004 ke meja hijau. Ada sorak kemenangan ketika Pengadilan Negeri Padang menghukum mereka bersalah pada 2004 meski putusan tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung beberapa tahun kemudian.

Ada satu nama di balik konsolidasi masyarakat sipil tersebut. Tanpa menafikan kehadiran tokoh-tokoh lainnya, nama Saldi Isra pantaslah disebut. Dosen Universitas Andalas, Padang, ini fasih bicara korupsi, juga persoalan-persoalan ketatanegaraan aktual.

Akhir Oktober lalu, Kompas berbincang dengan Saldi mengenai kondisi terkini gerakan pemberantasan korupsi dan prediksi ke depan. Berikut ini petikan wawancara dengannya.

Bagaimana kasus Sumbar?

Kasus itu kan akhirnya tidak sampai klimaks. MA membebaskan mereka semua melalui peninjauan kembali. Bagi kawan-kawan di Sumbar, itu sungguh berita buruk. Semuanya jadi kandas. Pola ini akhirnya menjadi pola umum penyelesaian yang dilakukan pengadilan.

Ditambah lagi, kuatnya intervensi politik ketika itu. Anda masih ingat, kan, ketika Komisi II dan III melakukan sidang gabungan yang meminta Presiden memerintahkan Jaksa Agung menutup semua kasus yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 110/2000. Saya melihat, sikap MA juga tidak terlepas dari tekanan politik DPR ketika itu.

Apakah gerakan pemberantasan korupsi senantiasa mentok ketika berhadapan dengan kekuatan politik?

Betul. Pola nyaris sama kalau kita lihat dari kasus DPRD Sumbar itu sampai bergeraknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada resistensi dari lembaga-lembaga resmi kenegaraan. Lihat saja, misalnya, begitu tidak happy-nya kepolisian dan kejaksaan dengan sepak terjang KPK. Lalu ketika KPK mulai masuk ke tempat-tempat yang tidak pernah dijamah penegak hukum seperti DPR, pejabat eksekutif tertinggi, maka berkumpullah penegak hukum dan DPR untuk satu kepentingan yang sama, yaitu terganggu dengan sepak terjang KPK. Eksekutif, legislatif, mulai resisten ke KPK. Mulailah DPR mempersoalkan berbagai kewenangan KPK, penyadapan, penuntutan, dan lainnya.

Komitmen pemerintah?

Ada tren cenderung menurun. Sejak beberapa tahun terakhir, semangat untuk memberantas korupsi mulai melemah. Suara Istana semakin lembut dalam hal pemberantasan korupsi. Coba bandingkan, misalnya, kalimat-kalimat SBY menjelang 2004 sampai satu dua tahun SBY berkuasa. Ada penurunan semangat. Dan, yang kita lihat kemudian banyak kasus yang diselesaikan secara adat.

Padahal, di negara-negara yang praktik korupsinya masih kuat, sulit berharap ada kemajuan kalau pemberantasan korupsi tidak mendapat dukungan yang kuat dari parlemen dan pemerintah. Tidak mungkin pemberantasan korupsi di Indonesia bisa sukses kalau dukungan Presiden dan DPR tidak kuat. Sebab, mereka yang membuat legislasi.

Jadi, kalau mereka berdua bersepakat untuk melemahkan pemberantasan korupsi, seberapa pun besarnya dorongan dari luar sulit tembus ke DPR.

Dan, itu sebetulnya menjadi salah satu ancaman serius ke depan karena posisi eksekutif dan legislatif kan sebetulnya ada di satu tangan hari ini. Dengan posisi satu tangan, kita sulit berharap akan ada UU yang lebih progresif. Progresif untuk pemberantasan korupsi ke depan.

Dan, kita sudah mulai melihat gejalanya. Coba renungkan, bagaimana tiba-tiba suara Golkar menjadi redup ketika dia mau mendorong pembentukan angket kasus Bank Century. Bagaimana otoriternya Marzuki Alie (Ketua DPR) ketika ada beberapa komisi yang mau memanggil menteri untuk menanyakan beberapa persoalan.

Sebetulnya gejala yang paling berbahaya bagi kehidupan kita ke depan adalah kalau DPR hadir sebagai perisai dari eksekutif. Jadi, dia betul-betul menjadi tameng eksekutif. Dan, itu sudah mulai kelihatan dari perkembangan yang hanya beberapa hari setelah dilantik. Baru sebulan.

Lantas apa yang dapat dilakukan?

Saya kira yang harus dibangun ke depan adalah konsolidasi masyarakat sipil untuk mengontrol secara terus-menerus agenda kenegaraan. Dan, masyarakat sipil pun mulai dihadapkan pada persoalan-persoalan hukum serius. RUU rahasia negara, misalnya, kasus Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari yang dijadikan tersangka kasus pencemaran nama baik contohnya. Ini sebetulnya sinyal bahwa penegak hukum akan masuk menyerang siapa saja yang mempunyai perhatian khusus terhadap pemberantasan korupsi. KPK sudah diserang, aktivis antikorupsi sudah mulai diserang. Dan, saya kira bisa jadi kemudian akan sampai ke media.

Bagaimana konsolidasi dilakukan? Pertama, perlu dijelaskan bahwa korupsi itu berbahaya. Kalau masih banyak orang yang menganggap korupsi itu mengancam kehidupan untuk mencapai kesejahteraan, konsolidasi menjadi lebih mudah. Harus ada pemahaman bersama. Semua orang terus merasa perlu agenda pemberantasan korupsi. Itu kan memerlukan orang yang siap setiap saat menyuarakan itu. Dan, orang itu tidak boleh kurang hari ke hari, mestinya harus bertambah.

Dalam konteks itu juga saya sebetulnya mulai agak prihatin kalau orang-orang yang bersuara keras tiba-tiba pelan-pelan pindah ke tempat lain. Ada yang bergabung dengan partai politik dan pemerintah. Sampai hari ini, itu kan ternyata tidak efektif.

Kepada siapa lagi masyarakat bisa berharap?

Dengan situasi seperti hari ini, kita mungkin hanya bisa berharap ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tampil ke depan mengoreksi undang-undang yang merugikan agenda kenegaraan. Saya kira MK mempunyai ruang untuk itu dan konstitusi memberikan ruang untuk itu. Jadi, di negara di mana presiden dan DPR-nya berasal dari kubu yang sama, cara mengoreksinya melalui pengadilan melalui uji materi atau judicial review.

KPK ini ambruk bukan karena kesalahan mereka, tetapi didesain untuk ambruk. Lalu... kita berharap kepada MK. Sebagai harapan terakhir agar kita tetap bernapas kecil bahwa ini memang negara hukum.

Bukankah hakim MK juga terdiri dari unsur DPR dan pemerintah?

Memang betul bahwa enam hakim MK dari unsur DPR dan pemerintah. Tetapi, selama ini pendapat mereka kan tidak terkubu seperti itu. Sejauh ini mereka masih bisa dipercaya. Dan kita berharap ini dipelihara terus.

Oleh karena itu, kita juga berharap agar MK selalu menyelesaikan masalah-masalah yang muncul meski kecil. Misalnya, soal penggunaan surat palsu yang sempat muncul beberapa waktu lalu. Kalau MK ini tidak bisa menjadi lembaga yang bisa mengecek produk-produk DPR dan Presiden ke depan, kita sebetulnya kembali ke zaman baheula.

Secara teori memang disebutkan fungsi MK atau MA mempunyai kewenangan judicial review adalah sebagai external check antara eksekutif dan legislatif yang berselingkuh. Berselingkuh ini dalam pengertian berasal dari partai yang sama.

Susana Rita

Sumber: Kompas, 9 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan