Koter dan Anggaran Pertahanan

Pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letjen TNI Djoko Santoso tentang penambahan 22 komando teritorial (koter) yang terdiri dari tiga markas komando resort militer (makorem) dan 19 markas komando distrik militer (makodim) cukup mengejutkan banyak pihak. Keputusan tersebut dinilai bertentangan dengan wacana reformasi di tubuh TNI yang masih bergulir hingga hari ini. Penegasan komitmen TNI untuk melakukan reformasi yang tertuang dalam buku putih Dephan, yang salah satunya ditujukan untuk mewujudkan tentara profesional dalam memerankan diri sebagai alat negara di bidang pertahanan negara lalu dipertanyakan.

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dicermati dari pernyataan yang dilontarkan KSAD tersebut dalam konteks reformasi internal TNI. Pertama, dari aspek kesinambungan gagasan reformasi TNI. Reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 melalui Paradigma Baru Peran TNI itu, telah dipercayai sebagai pemicu semangat pembaruan sesuai tantangan dan dinamika lingkungan yang berlaku. Implementasi dari gagasan ini di antaranya pernyataan bahwa TNI tunduk pada otoritas politik pemerintah, melaksanakan kebijakan pertahanan sebagaimana diatur dalam pasal 10 UU RI No 3 Tahun 2002, melaksanakan kebijakan pertahanan negara dengan menyelenggarakan perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer serta memelihara kesiapsiagaan, sebagai bagian sistem nasional, tidak mengambil posisi eksklusif tetapi senantiasa memelihara keterkaitan dengan komponen bangsa lain, dalam menjalankan tugasnya sesuai aturan pelibatan yang ditetapkan oleh pemerintah dan beberapa perubahan struktural seperti salah satu di antaranya adalah penghapusan jabatan Kassospol TNI dan Kaster TNI, penghapusan dwifungsi ABRI, likuidasi fungsi kekaryaan serta sosial politik TNI. Perubahan yang cukup signifikan ini hendaknya tetap dijaga momentumnya dan konsisten dalam implementasi di lapangan.

Dengan penambahan 22 komando teritorial tersebut justru meredusir semangat pembaruan yang merespons dinamika perubahan lingkungan dan tantangan yang berlaku seperti yang ditegaskan oleh TNI. Melalui kondisi geografisnya seharusnya dipertimbangkan untuk kembali meletakkan postur pertahanan Indonesia yang bertumpu pada maritime based, bukan kekuatan darat melalui penambahan dan perluasan komando teritorial di wilayah Indonesia.

Kedua, melalui penambahan dan perluasan komando teritorial tersebut mempunyai konsekuensi logis pada meningkatnya jumlah anggaran pertahanan. Hal ini menjadi rumit mengingat saat ini kemampuan keuangan negara masih belum pulih sepenuhnya. Pada tahun 2004 misalnya, Dephan/Mabes TNI mendapat alokasi anggaran Rp21,421 triliun. Selain anggaran tersebut Dephan/Mabes TNI masih diberi tambahan dana untuk membiayai kegiatan operasi sebesar Rp2,083 triliun.

Pada tahun anggaran 2005 anggaran Dephan/Mabes TNI menjadi Rp21.977.629.824 dan baru-baru ini diusulkan penambahan sebesar Rp21 triliun melalui APBN-P 2005. Pada anggaran tahun 2005 dirinci sebagai berikut (1) program pengembangan pertahanan integratif Rp2.150.010.640 (2) Program pengembangan pertahanan matra darat Rp9.052.604.211 (3) Program pengembangan matra laut Rp3.187.952.828 (4) Program pengembangan matra udara Rp2.377.112.942 (5) Program penegakan kedaulatan dan penjagaan keutuhan NKRI Rp25.759.920 (6) Program pengembangan sistem dan strategi pertahanan Rp52.587.019 (7) Program pengembangan potensi dukungan pertahanan Rp5.016.172.184 (8) Program pengembangan industri pertahanan Rp19.314.956 (9) Program kerja sama militer internasional Rp40.789.490. (10) Program penelitian dan pengembangan pertahanan Rp28.756.549 (11) Program operasi Bakti TNI Rp26.569.085.

Model penganggaran dengan alokasi dana seperti di atas berdasarkan prosedur penganggaran baru yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Dalam UU tersebut telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam proses penganggaran. Proses penganggaran yang sebelumnya lebih berbasis input (input based-focused) menjadi anggaran yang berbasis kinerja. Untuk memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja maka mulai tahun anggaran 2005 pelaksanaan anggaran dilaksanakan secara terpadu (unified budget).

Dengan sistem penganggaran seperti di atas Dephan/Mabes TNI dituntut untuk mengembangkan indikator kerja dan sistem pengukuran kinerjanya serta meningkatkan kualitas penyusunan kebutuhan biaya sebagai persyaratan untuk mendapatkan anggaran. Selain itu, penyusunan anggaran yang diperlukan untuk menyusun kegiatan harus didasarkan harga per unit satuan atas keluaran atau kegiatan guna mencapai efisiensi.

Dalam konteks penambahan komando teritorial, dukungan anggaran perlu ditinjau kembali, apakah sudah proporsional pembagiannya antara antardepartemen, antarmatra angkatan, tentunya dengan perhitungan secara global dalam bentuk kriteria dan urgensi.

Dalam penentuan dan pemenuhan untuk pembagian anggaran perlu dibuat tabel dengan konstrain waktu, artinya daftar kegiatan yang disusun dengan skala prioritasnya, perlu dibedakan dengan tahapan tercapainya sasaran. Sehingga program menggambarkan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang yang berkelanjutan. Seberapa besar dan bagaimana anggaran dan pembiayaan pertahanan berkaitan dengan profesionalisme militer dan, secara lebih umum, kemampuan sistem pertahanan memang merupakan persoalan yang rumit. Dalam konteks pembangunan koter, sebagai bagian dari sistem anggaran nasional, sistem anggaran TNI harus dilakukan sesuai dengan prinsip pengelolaan anggaran nasional. Dan, sebagai bagian dari sistem anggaran nasional, pengelolaan anggaran TNI harus juga menjamin ketersediaan informasi yang benar dan terbukanya akses publik atas informasi tersebut. Untuk itu, perlu dipertegas batasan-batasan mengenai kerahasiaan yang dikecualikan dari informasi untuk publik. Dalam hal kerahasiaan, haruslah tunduk pada prinsip bahwa kerahasiaan tidaklah menyangkut hal-hal fundamental akan tetapi yang bersifat teknis.

Tantangan besar DPR adalah untuk mengevaluasi efektivitas program/implementasi anggaran oleh pemerintah/militer secara umum. Dalam kasus koter, DPR mungkin akan mengambil peranan yang sangat aktif dalam menekan pemerintah (termasuk militer) untuk mengimplementasikan prioritas yang ditentukan DPR.

Transparansi dan kepercayaan publik adalah penting terhadap proses tersebut. Pengawasan DPR harus meliputi evaluasi terhadap efektivitas program/pelaksanaan anggaran. Salah satu bentuk pengawasan adalah DPR melakukan dengar pendapat terhadap implementasi dan isu-isu yang muncul mengenai persoalan tertentu yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Pada akhirnya persoalan penambahan komando teritorial, bukanlah sekadar persoalan strategi pertahanan, postur pertahanan, dan kebutuhan dukungan anggaran, namun juga merefleksikan keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam upayanya mendorong reformasi di tubuh TNI, dan kebutuhan TNI untuk menjadi tentara yang profesional.(Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 30 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan