Kotak Pandora KPU

Rakyat Indonesia pantas berterima kasih kepada Komisi Pemilihan Umum yang berhasil menyelenggarakan pemilu raya secara langsung dalam suasana damai dan sukses untuk pertama kali di Indonesia. Lebih dari itu kita berharap, apa pun motif dan penyebabnya, ditahannya beberapa pejabat KPU dengan tuduhan korupsi bisa menghidupkan optimisme untuk perbaikan negeri ini di hari esok.

Baik sebagai warga negara, teman, maupun mantan Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwas), saya sedih dan amat menyayangkan mengapa cerita sukses pemilu tahun lalu harus diikuti drama antiklimaks yang diperankan teman-teman Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang secara amat dramatis dan menyakitkan justru ketua sendiri yang harus ditahan dengan tuduhan korupsi.

Fenomena semacam inikah yang disebut the failure of success?

Tentu saja banyak sudut pandang untuk beradu argumentasi mengapa skandal KPU bisa terjadi. Sejauh ini yang muncul ke permukaan adalah mereka secara normatif telah melanggar sumpah jabatan dan menerima uang di luar gaji dan honor resmi. Dana yang jumlahnya sampai miliaran itu dihimpun dari rekanan pengadaan logistik. Pertanyaannya, apa implikasi lebih lanjut dari skandal KPU terhadap eksistensi dan kewenangan KPU di masa depan jika dikaitkan dengan agenda demokratisasi? Mau merembet ke mana bola panas yang sedang digelindingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Akan sampaikah hal ini ke beberapa teman di BPK, DPR, dan anggota. Kabinet akan ikut hangus atau sekadar lecet?

ANDAIKAN begitu Mulyana tertangkap tangan oleh KPK karena tuduhan melakukan penyuapan kepada petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lalu Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin mengambil alih dan menyatakan bertanggung jawab atas semua kesalahan teman-teman KPU, ceritanya akan lain. Tetapi kini kotak pandora sudah terbuka, bau busuk sulit ditutup dan dikendalikan. Dampak moral-psikologisnya meluas.

Teman-teman intelektual kampus, khususnya Universitas Indonesia, merasa terkena getahnya. Begitu pun kalangan KPU daerah tiba-tiba merasa wibawa dan kebanggaan yang melekat selama ini rontok. Saya sendiri amat berat membayangkan, bagaimana teman-teman KPU pusat harus menjelaskan kepada keluarga, tetangga, dan teman dekatnya saat nama mereka selalu tampil di televisi dan dikaitkan dengan korupsi. Sebagai seorang ayah dan suami, saya berempati betapa berat beban psikologis mereka di hadapan keluarga, khususnya anak-anak.

Pangkal dari skandal ini adalah teman-teman anggota KPU yang datang dari kampus, naif dalam hal birokrasi pemerintahan, khususnya menyangkut pengadaan jasa logistik. Sebagai Ketua Indonesia Procrurement Watch (IPW) dan pernah duduk sebentar dalam birokrasi pemerintahan, saya yakin kebocoran dan penyimpangan uang negara yang terbesar adalah melalui proyek pengadaan barang. Kebocoran anggaran ini berkisar antara 20 persen-30 persen. Semasa Orde Baru, dalam kasus pembangunan gedung SD inpres bahkan ada yang mencapai 40 persen. Hitung saja sendiri, jika tiap tahun pemerintah mengeluarkan dana pembangunan Rp 300 triliun, misalnya, betapa fantastik uang negara yang salah saluran dan dikorup?

Kalau saja para birokrat dan rekanan proyek mau jujur, hampir semua departemen pemerintah melakukan hal yang sama, yaitu mengumpulkan dana taktis berupa uang setoran dari para rekanan. Hanya saja jumlah dan prosedurnya berbeda-beda. Yang paling lunak adalah sebagai tanda terima kasih dan berbagi rezeki dari keuntungan proyek, tanpa ikatan dan janji apa pun sebelumnya.

Uang itu lalu dikumpulkan untuk membantu kesejahteraan karyawan golongan bawah. Namun, yang sering terjadi adalah permainan antara rekanan dan pejabat pemberi proyek untuk memainkan anggaran dan laporan akhir proyek yang melibatkan jasa pemeriksa keuangan untuk memanipulasi pembukuan.

Beberapa teman berkomentar, teman-teman KPU itu pada dasarnya orang baik, tetapi naif dan terlalu percaya diri padahal mereka masuk wilayah pertempuran baru yang penuh muslihat, binatang buas, dan ranjau yang sebenarnya bukan habitat mereka. Semula mereka masuk wilayah pengadaan logistik pemilu karena niat baik untuk mengamankan uang negara. Tetapi karena miskin pengalaman dan kurang hati-hati, akhirnya malah terjerat hanyut ke dalamnya. Secara kuantitatif sebenarnya penyimpangan anggaran yang dituduhkan relatif kecil. Tetapi mengingat mereka selama ini dikenal sebagai pejuang moral dari kampus, maka secara politis-kualitatif dosa mereka menjadi amat besar dan mengecewakan para aktivis kampus.

SAMBIL merancang langkah-langkah perbaikan, keberadaan KPU yang bersifat independen harus dipertahankan. Jika lembaga ini diambil alih pemerintah atau diisi wakil parpol, belum tentu akan lebih baik dari yang ada sekarang. Kecelakaan yang menimpa beberapa anggota KPU dengan dugaan korupsi tidaklah fair jika kesalahannya ditimpakan kepada mereka semua. Iklim birokrasi yang demikian carut- marut dan korup ikut andil terhadap berbagai penyimpangan dalam mengelola uang. Belum lagi perilaku sebagian rekanan yang target akhirnya hanya mengejar keuntungan tanpa peduli batasan halal-haram.

Kepada teman-teman anggota KPU, tetap sabar dan kepala dingin. Kalaupun nanti Anda terbukti menerima dana taktis, itu semata karena Anda naif dan jumlahnya pun relatif kecil dibandingkan dengan anggaran pembangunan yang dikorup pejabat negara selama ini. Belum lagi korupsi yang menimpa dunia perbankan.

Pernyataan ini tidak berarti menoleransi korupsi. Sama sekali tidak. Tetapi saya amat sedih andaikan hukuman masyarakat terlalu kejam kepada anggota KPU yang sebagian besar masih muda dan menjadi aset bangsa. Saya yakin, pemberitaan media selama ini sudah merupakan hukuman sosial yang amat pedih bagi mereka. Benarkah kita akan lebih baik dari mereka andaikan dalam posisi dan situasi yang sama?

Secara psikologis, dampak positif dari pemeriksaan terhadap teman-teman KPU sudah mulai dirasakan baik di lingkungan BUMN maupun birokrasi pemerintah. Orang mulai berpikir ulang untuk melakukan korupsi. Jika iklim ini dipelihara terus, perlahan namun pasti bangsa ini akan kian baik dan sehat. Bagi pemerintahan SBY tak ada cara lain kecuali membuktikan janjinya untuk memberantas korupsi jika ingin terpilih lagi pada Pemilu 2009. Kendaraan parpol boleh kecil, tetapi jika prestasinya besar, rakyat pasti akan memihak SBY. Kita tunggu dan lihat hasilnya.

Untuk membantu akuntabilitas kinerja KPU ke depan, sebaiknya lembaga-lembaga terkait, misalnya DPR, BPK, dan kepolisian, harus transparan dan sinergis. Posisi Panwas mungkin lebih baik jika sejajar dengan KPU dan memiliki legalitas untuk ikut mengawasi seluruh aspek penyelenggaraan pemilu, termasuk jika terjadi penyimpangan yang dilakukan anggota KPU. Sejak awal, saya sebagai Ketua Panwas waktu itu sudah memperoleh informasi berbagai kejanggalan, namun tidak memiliki kewenangan untuk mengungkapkan.

Sekali lagi, saya salut kepada anggota KPU yang telah menunjukkan prestasinya dalam menyelenggarakan pemilu raya dan berempati saat mereka harus memperoleh kritik, gugatan, dan pemberitaan yang amat melukai harga diri. Marilah semua yang terjadi ini kita terima sebagai pembelajaran untuk perbaikan ke depan. Meminjam ungkapan Thomas Alfa Edison, dalam kerja tak ada istilah kegagalan. Kegagalan sebenarnya merupakan keberhasilan, yaitu berhasil menemukan dan mengidentifikasi lubang-lubang agar orang lain tidak menapaki serta membuang energi untuk hal-hal yang tidak berguna, bahkan merugikan. It is not the end of the world!(Komaruddin Hidayat Mantan Ketua Panwas; Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 11 Juni 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan