Kotak Hitam Demokrasi
PENJELASAN dan rekomendasi kebijakan yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century masih menyisakan beragam ketidakpuasan banyak pihak. Yang ditunggu-tunggu publik ternyata tidak sesuai dengan harapan. Banyak pihak yang kecewa dengan penjelasan normatif tersebut. Sebab, yang disampaikan Presiden SBY dinilai tidak konsisten dengan statemen sebelumnya ketika presiden melakukan pertemuan dengan sejumlah pimpinan media massa nasional Minggu, 22 November 2009.
Penyelidikan kasus dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century mencerminkan betapa sulitnya transpansi dan akuntabilitas penegakan hukum di negeri ini. Bisa dibayangkan jika nanti Tim Delapan tidak membeberkan temuannya secara terbuka. Jika presiden juga tidak mampu memberikan klarifikasi secara terbuka terkait dugaan kriminalisasi KPK dan DPR benar-benar tidak mampu menggulirkan hak angket skandal Bank Century, demokrasi kita akan terus mengalami kemunduran.
Demokrasi tidak lagi mampu mekar karena sikap elite yang cenderung tertutup. Tanpa adanya UU Rahasia Negara pun, rezim kerahasiaan kian telanjang dipraktikkan oleh elite. Nilai-nilai demokrasi segera runtuh karena tersedot dalam kotak hitam sang penguasa.
Kotak Hitam
Dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century hanyalah salah satu kasus di balik perilaku tidak transparan para elite penyelengara pemerintahan di negeri ini. Problem penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan kekuasaan yang lain tentunya lebih banyak dan beragam. Maka, benar jika sebagian pengamat meyakini bahwa kasus dugaan kriminalisasi KPK dan skandal Bank Century hanyalah kotak pandora belaka. Sebab, transaksi kekuasaan masih terus berlangsung dalam lorong-lorong gelap rimba raya sistem politik dan pemerintahan di negeri ini.
Almond dan Verba (1967) meyakini bahwa dalam sebuah sistem politik, ada area interaksi kekuasaan yang tidak dapat diketahui publik secara telanjang. Ruang itulah yang kemudian disebut black box (kotak hitam). Skala fluktuasi kotak hitam tentu saja ada mulai sistem politik dalam pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Selain itu, kotak hitam itu juga terus eksis di berbagai institusi politik dan pemerintahan.
Eksistensi kotak hitam dalam sebuah sistem politik akan sangat dipengaruhi dua hal. Pertama, watak dan karakter rezim politik yang berkuasa. Ketika sebuah rezim politik dan pemerintahan semakin bersifat otoriter dan tertutup, kotak hitam itu pun semakin luas. Sebaliknya, jika sebuah rezim politik dan pemerintahan semakin demokratis dan transparan serta akuntabel, kotak itu pun bakal menyempit.
Kedua, eksistensi kotak hitam juga dipengaruhi watak dan perilaku para aktor yang berkuasa dalam sebuah rezim politik dan pemerintahan. Jika para aktor memiliki watak yang transparan dan akuntabel, kotak hitam itu pun akan semakin sempit. Sebaliknya, jika para aktor yang berkuasa tersebut memiliki watak yang cenderung otoriter dan tertutup, kotak hitam itu akan meluas.
Di negara mana pun, pintu masuk kepentingan ekonomi-politik dan kepentingan yang lain dari para mafia selalu tak tersentuh karena berlangsung di balik dinding tebal kotak hitam tersebut. Rezim politik bahkan adakalanya tidak mampu menguasai arena transaksi kekuasaan yang berlangsung di ruang tersebut. Lebih berbahaya lagi adalah jika para mafia mampu mengendalikan para aktor dan rezim politik yang berkuasa melalui remote control yang digerakkan dalam ruang kotak hitam sistem politik kita.
Butuh Transparansi
Indonesia telah menobatkan diri sebagai negara demokratis. Presiden juga telah dipilih melalui jalan demokrasi. Keberanian dan ketegasan presiden sangat dibutuhkan. Sebab, presiden memililiki legitimasi yang sangat kuat. Sudah jelas, di dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden tidak hanya kepala pemerintahan. Namun, presiden juga telah dinobatkan sebagai kepala negara. Presiden tidak hanya memiliki area kekuasaan di level eksekutif. Namun, presiden juga memiliki area kekuasaan di level legislatif yang melekat secara bersamaan.
Saya yakin, Presiden SBY memiliki komitmen yang kuat terhadap peningkatan kualitas demokrasi di negeri ini. Karena itu, Presiden SBY mestinya harus lebih berani membongkar dan mempersempit transaksi gelap kekuasaan dan jual beli keadilan yang berlangsung di balik kotak hitam politik negeri ini. Resistan memang datang dari berbagai aktor yang berkepentingan. Namun, dengan kekuasaan yang sangat besar, presiden memiliki otoritas yang memadai.
Jika transparansi dan akuntabilitas tidak bisa ditegakkan, reformasi birokrasi jelas-jelas telah menemui kegagalan. Jika ini yang terjadi, akan terus menjadi mimpi buruk dalam sejarah demokrasi kita. Sebuah panggung sejarah demokratisasi tanpa keadilan.
Demokrasi akan meningkat secara substantif jika rezim politik dan pemerintahan dan juga para aktor di dalamnya memiliki komitmen serius untuk mempersempit arena transaksi kekuasaan yang berlangsung dalam kotak hitam tersebut. Di sinilah kemudian transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kekuasaan di mana pun tempatnya sangat dibutuhkan.
Jelas, publik tidak mampu menembus kotak hitam dalam sistem politik kita. Padahal, sangat banyak arena transaksi kekuasaan yang terus berlangsung dalam kotak hitam itu. Hanya para pimpinan rezim politiklah yang mampu membongkar apa saja yang terjadi dalam kotak hitam tersebut. (*)
Ahmad Nyarwi, staf pengajar Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 November 2009