Koruptor Serang Balik KPK

Serangan itu bisa merobohkan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sejumlah tokoh nasional kemarin memperingatkan adanya serangan balik dari para koruptor terhadap gerakan antikorupsi, termasuk menyerang lembaga pemberantasan korupsi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Para pemuka masyarakat itu akan menyampaikan keprihatinan ini kepada KPK dan DPR hari ini.

Corruptors fight back! kata Zainal Arifin Mochtar, dosen Universitas Gadjah Mada yang juga Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, dalam acara Diskusi Publik Mengatasi Serangan Balik Para Koruptor di Hotel Sahid, Jakarta, kemarin. Ini bukan isapan jempol. Para koruptor menggunakan berbagai cara untuk terbebas dari korupsi.

Selain Zainal, tokoh yang mencemaskan serangan balik itu antara lain Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, mantan Menteri Pertahanan Mahfud Md., mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bambang Widjojanto, Amien Rais, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Sjahruddin Rasul.

Serangan balik dari para penilap uang negara itu, kata Mahfud Md., guru besar hukum, bisa menggagalkan perang terhadap korupsi, yang diimpikan masyarakat sejak awal bergulirnya era reformasi.

Abdul Rahman Saleh mengatakan serangan para koruptor itu saat ini terbagi dalam dua kategori, yaitu legal lewat uji materi aturan-aturan pemberantasan korupsi ke Mahkamah Konstitusi serta ekstralegal yang dilakukan para pengacara, guru besar, dan saksi ahli. Melawan serangan itu, menurut Abdul Rahman, tak cukup hanya lewat jalur hukum. Tapi juga kemauan politik.

KPK memang sedang diserang oleh sejumlah terpidana kasus korupsi. Dua terpidana kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum, yakni Mulyana W. Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, ditambah mantan anggota KPU lainnya mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Itu merupakan serangan konstitusionalitas. Lebih dari cukup untuk merobohkan KPK dan bahkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kata Zainal.

Teten Masduki menuturkan keberadaan KPK memang tidak dikehendaki berbagai pihak, termasuk kepolisian dan kejaksaan. KPK merupakan anak haram yang dianggap sebagai pesaing polisi dan jaksa karena kasus korupsi merupakan sumber pendapatan yang besar, ujarnya. Namun, penjelasan ini dikoreksi Abdul Rahman. Saya tidak peduli siapa yang memberantas korupsi. Yang penting berhasil, ujarnya.

Saat ini, kata Jaksa Agung, yang juga perlu diwaspadai adalah serangan terhadap pemberantasan korupsi yang didukung kekuatan politik. Abdul Rahman tak mau memerinci partai yang mendukung serangan balik koruptor itu. Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, menengarai salah satu kekuatan itu adalah Golkar, yang melakukan perlawanan dengan menolak Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi.

Namun, hal itu dibantah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya Jusuf Kalla. Siapa yang mendukung (korupsi)? Partai politik mana? kata Kalla kemarin di sela-sela acara Rapat Pimpinan Nasional II Partai Golkar. TITO SIANIPAR | RINI KUSTIANI | SUTARTO

Sumber: Koran Tempo, 16 November 2006
-----------
Uji Materi Undang-undang KPK Mengada-ada

Cara konvensional tak cukup untuk memberantas korupsi.

Permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak berdasar. Argumen para pemohon terlalu mengada-ada, kata Eddy O.S. Hiariej, anggota staf pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam diskusi Expert Meeting di Jakarta kemarin.

Pendapat Eddy disampaikan menanggapi permohonan uji materi terhadap Undang-Undang tentang KPK yang diajukan sejumlah terpidana kasus korupsi, seperti bekas Ketua Komisi Pemilihan Umum Nazaruddin Sjamsuddin dan bekas anggota KPU, Mulyana W. Kusumah, kepada Mahkamah Konstitusi. Selain mempersoalkan lembaga KPK, mereka menggugat keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam undang-undang yang sama.

Para pemohon uji materi berdalih KPK tidak disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berada di luar sistem ketatanegaraan serta tidak memiliki pengawasan dan pertanggungjawaban yang akuntabel. Lembaga ini juga mereka nilai telah memangkas peran polisi dan kejaksaan. Ketentuan itu menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Wewenang menyidik dan menuntut sudah di tangan kepolisian dan kejaksaan, kata Sirra Prayuna, kuasa hukum Mulyana, kemarin.

Namun, pendapat itu ditentang oleh Eddy. Menurut dia, tidak semua lembaga harus tercantum dalam konstitusi, karena keberadaan dan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan telah dijamin oleh undang-undang khusus. Ia juga membantah tidak adanya pertanggungjawaban. Berdasarkan undang-undang, KPK wajib menyusun laporan tahunan kepada presiden, DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan, katanya.

Soal anggapan para pemohon bahwa keberadaan KPK meresahkan masyarakat, ini dibantah oleh pembicara lain, Mahfud Md. Ia justru mempertanyakan parameter yang dipakai untuk menjelaskan adanya keresahan itu. Kriterianya tidak jelas, kata mantan Menteri Pertahanan itu.

Eddy juga menolak ketidaksetujuan Mulyana atas penyadapan dan perekaman, yang dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan melanggar hak warga negara atas rasa aman. Menurut dia, penyadapan merupakan bagian dari kewenangan penyidikan sah yang diatur undang-undang. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa sehingga pendekatan konvensional tidak cukup untuk memberantasnya, katanya.

Tapi Mulyana membantah pernyataan bahwa pengajuan uji materi itu adalah usahanya untuk membubarkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau mengebirinya. Salah, saya justru berpikir pengadilan korupsi harus diperkuat dengan tiga hal, yaitu landasan hukum yang lebih kuat, terperinci, dan lengkap, independensi institusi, serta adanya parameter pemidanaan, ujarnya.

Mulyana mengajukan permohonan uji materi itu ke Mahkamah Konstitusi pada Juli silam, sedangkan Nazaruddin mengajukannya pada 10 Agustus lalu. Dua uji materi ini sedang disidangkan secara bersamaan oleh Mahkamah Konstitusi dan putusannya akan dibacakan pada 30 November mendatang. TITO SIANIPAR | AGOENG WIJAYA | IMRON ROSYID
-------------------
Serangan Telak terhadap Tim Antikorupsi

Usaha terpidana korupsi Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana W. Kusumah untuk memereteli taring Komisi Pemberantasan Korupsi lewat pengajuan hak uji materi ke Mahkamah Konstitusi bukan hal yang baru.

Usaha terpidana korupsi Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana W. Kusumah untuk memereteli taring Komisi Pemberantasan Korupsi lewat pengajuan hak uji materi ke Mahkamah Konstitusi bukan hal yang baru. Sebelumnya, upaya serupa dilakukan terhadap kewenangan lembaga sejenis.

Pada 2001, tiga hakim agung yang pernah menjadi tersangka kasus penyuapan bahkan berhasil membubarkan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lewat gugatan ke Mahkamah Agung.

Ceritanya, tim gabungan yang dibentuk pemerintah Megawati Soekarnoputri pada 1999 itu mendapat laporan dari Endin Wahyudin. Ia mengaku telah menyuap tiga hakim agung--M. Yahya Harahap, Marnis Kahar, dan Supraptini Sutarto--sebesar Rp 196 juta. Suap ini diberikan Endin untuk memenangkan kasasi kasus sengketa tanahnya yang ditangani para hakim itu.

Ketiga hakim itu tak terima dan balik menuntut Endin dengan tuduhan fitnah serta pencemaran nama baik. Surat jaminan perlindungan saksi dari Ketua Tim Gabungan Adi Andojo ternyata tak membantunya. Endin tetap diproses secara hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu memvonisnya bersalah dan menghukumnya 6 bulan percobaan. Adapun tiga hakim yang dia laporkan lolos dari jerat hukum.

Tidak cukup sampai di situ, mereka mengajukan hak uji materi ke Mahkamah Agung terhadap keberadaan tim gabungan yang beranggotakan 25 orang itu. Mahkamah Agung setuju dengan pendapat ketiga hakim itu bahwa peraturan pemerintah untuk pendirian Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sah.

Pada 23 Maret 2001, Mahkamah Agung lalu mengeluarkan putusan pembubaran tim gabungan tersebut. Mahkamah berpendapat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.

Mahkamah Agung juga menyatakan peraturan pemerintah itu bertentangan secara diametral dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Soalnya, peraturan pemerintah itu mengatakan tim gabungan tersebut bersifat permanen, sedangkan dalam undang-undang hanya dibolehkan bersifat sementara. Selain itu, dua tahun setelah Undang-Undang Antikorupsi itu disahkan, pemerintah harus membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang tugasnya sama dengan Tim Gabungan.

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung ini, Kejaksaan Agung akhirnya, mau tak mau, membubarkan Tim Gabungan. Sebuah serangan balik yang telak dari orang yang pernah disangka melakukan korupsi. QARIS

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan